Kamis, 25 Februari 2016

KESADARAN MANUSIA MERAJUT KEHARMONISAN

http://www.pikirreview.com/kesadaran-manusia-merajut-keharmonisan/

Oleh: Kamaruddin Hasan

SUDAH sangat jelas petunjuk Allah SWT,  masalah kodrat manusia, dalam  urusan merajut, membangun atau mengharmoniskan suatu kehidupan manusia secara bersama baik dalam konteks kehidupan antar individu, kelompok, suku, bangsa, bahkan antar negara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, yang terjemahannya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. Al Hujaraat: 13)

Allah SWT memberi pedoman kepada kita manusia yang mau berpikir, meluangkan waktu merenung, berintrospeksi diri, melakukan kontemplasi, melakukan komunikasi intrapersonal, “lhouh droe” (bercermin diri–red) bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma yang secara kodrati melekat sebagai suatu keniscayaan universal.

Logikanya, kehidupan manusia yang berkelompok-kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi, komunikasi efektif, interkoneksi, jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti, saling memahami dan merajut kebersamaan secara bersama dalam memperkuat identitas diri sebagai manusia yang memancarkan keharmonisan Ilahi dalam hidup bersama.

Sehingga tercermin suatu kewajiban yang mesti dilakukan sebagai makhluk yang mengaku beragama, makhluk komunikatif, makhluk sosial, makhluk berbudaya, atau makhluk berpolitik, yang diantaranya keharusan saling tolong menolong, jiwa berkorban, saling toleransi, saling menghargai, memahami selisih pendapat sebagai rahmat, saling akomodasi,menjauhkan sikap etnosentrisme, saling terbuka terhadap masukan/kritikan yang konstruktif, yang dalam bahasa komunikasi diistilahkan adanya saling pengertian dan kesepahaman bersama. Karena hal-hal tersebut berperan penting dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama yang harmonis, saling mengayomi dan mendamaikan.

Dari realitas sejarah kehidupan manusia yang panjang ini, seygyanya membentuk kita dari berbagai unsur alam pikiran dasar yang meliputi: world-view, common sense, kepercayaan, tata-nilai, prinsip-prinsip, sistem kebudayaan, mitologi, totemisme atau ritual, dan sebagainya.

Sejumlah konteks tersebut disepakati, dipercayai, dipegang-teguh serta diyakini secara bersama sebagai kaedah-kaedah  normatif yang mengikat dan menjadi elemen-elemen dasar bagi konstruksi kehidupan bahkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan sebagai salah satu landasan menjalani kehidupan, tentu yang utama adalah prinsip-prinsip agama yang kita yakini.

Sehingga kaedah-kaedah normatif ini, terkadang memiliki tingkat sakralitas yang dapat mengharmoniskan kehidupan, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, latar filosofi kehidupan dalam menata kehidupan bersama, yang kemudian dianggap agung, dimuliakan dan muncul menjelma ke dalam dan mewarnai pola-pikir dan pola prilaku, pola sikap yang pada gilirannya menjadi kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan.

Kesadaran Sebagai Upaya Menuju Keharmonisan

Pendapat dari Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, bisa menjadi kajian lanjutan, menyebutkan bahwa; hidup begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai mahluk manusia itulah yang paling sulit. Manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri.

Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, seperti hasra berkuasa dalam konteks politik yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan. Kesadaran, akan menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.

Syarat yang ditawarkan oleh Kierkegaard, untuk menjadi diri sendiri adalah keheningan. Di dalam keheningan, orang dapat menggunakan kesadarannya untuk berefleksi. Kemampuan untuk menjadi hening, merupakan elemen yang sangat penting bagi perjalanan untuk berani menjadi diri sendiri. Hanya orang yang hening dapat berbicara secara benar dan mendalam, karena ia sepenuhnya sadar akan apa yang dibicarakannya.

Disisi lain, banyak pakar berpendapat bahwa yang harus diubah adalah realitas sosial, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya yang dianggap merusak tatanan sosial/kapital sosial, yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Tapi yang penting sebenarnya yang harus diubah tahap awal bukanlah realitas tersebut, melainkan sudut atau cara pandang manusia secara individu, cara manusia melihat dirinya sendiri dan dunianya.

Artinya jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas tersebut, melainkan manusia perlu tahu jati diri dan identitasnya. Jangan sampai, manusia secara individu menjadi bagian dari permasalahan yang tengah merajai realitas tersebut. Mungkin saja, kita sebagai individu bagian dari realitas tersebut yang harus diubah. Thomas Hidya Tjahya menulis, “Refleksi diri, dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting sebelum kita berintensi dan bertindak untuk mengubah realitas yang destruktif”.

Mahluk individu yang dinamai manusia, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun terhisap di dalam “altar besar” dunia manusia, sehingga manusia banyak yang kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga pertanyaan tentang hakikat, kodrat dan makna hidup manusia hanya dapat dijawab dengan mengalisa ke dalam subyektivitas dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah manusia itu sendiri.

Subyektivitas, menurut filsuf Perancis Descartes, terletak di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah. Masalah tentang subyektivitas dan otentisitas yang berkaitan dengan hakikat, kodrat, makna hidup sudah menjadi problem sepanjang sejarah filsafat. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan selalu saja dari sudut pandang global, abstrak, metafisik, sehingga kehilangan dimensi personalitasnya.

Dalam dunia politik, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya, manusia secara individu dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan system-sistem tersebut, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya. Dominasi dan hegemoni kekuatan kelompok, negara/pemerintah atas individu, merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup individu. Resikonya adalah kehilangan jati diri. Yang terjadi, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya.

Dalam menumbuhkan kesadaran diri manusia sebagai mahluk yang senantiasa berupaya merajut keharmonisan hidup, tentu selain petunjuk Agama, seyogyanya, manusia mesti belajar dari sejarahnya, karena sejarah bisa dijadikan landasan berpijak untuk melangkah lebih jauh. Yang tidak diharapkan manusia ini terbuai dengan sejarahnya. Karena sejarah merupakan wacana yang selalu aktual. Sejarah tidak kenal kadaluarsa atau expired. Kecuali, jika sejarah dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Kaisar Akihito mengatakan: “…tugas utama setiap manusia adalah mengenal sejarah agar mengetahui asal-usulnya”. Pemimpin Cina Jiang Zemin menyebutkan: “.. sejarah itu ibarat cermin dan kita manusia harus belajar untuk memahami latar belakang permasalahan guna melangkah ke masa depan. John Elliott juga mengungkapkan hal senada: “Sejarah itu sangat mustahak, tanpa suatu perspektif yang diperoleh dari kejadian-kejadian masa lalu, bagaimana kita dapat menghadapi masalah-masalah hari ini ataupun hari esok?”

Selain itu, dalam Social Theory and Psychoanalysis in Transition (1992), John Elliot, mencoba memberi solusi sekaligus kritikan, bagaimana melihat impian, imajinasi sosial politik mahkluk manusia yang lenyap atu dilenyapkan. Bahwa memang harus dilihat secara jernih konteks teori psikoanalisis terlebih dahulu atas masalah kesadaran manusia yang tidak berdaya, dan bukan langsung mempersiapkan strategi kebijakan semisal komunikasi yang tepat untuk menyelesaikannya. Karena permasalahan terletak pada ketidaksadaran dan bukan pada strategi-strategi kebijakan.

Penguatan Kesadaran ini tentu saja mempertimbangkan faktor budaya dan sejarah sebagai sumbu nyalanya. Artinya Individu yang telah lama tertindas harus dikembalikan harga dirinya dengan membuka eksemplar sejarah dan kebudayaan yang pernah dimilikinya dahulu. Sekaligus manusia harus dijauhi dari  fiksasi subjektif bahwa menuntut hak bukanlah dosa. Dosa ketika membiarkan kebohongan berubah menjadi kebenaran. Meminjam pendapat Teuku Kemal Fasya, dosa kita ketika melihat kezaliman berlaku seperti kesalehan, diulang-ulang dan dipuja-puja di atas altar, tampa berbuat apapun.

Dalam hal ini diperlukan, Interaksi antar-blok publik yang kita sebut gerakan sosial baru (New Social Movement), yang dianggap masih netral, seperti element akademisi, ulama, aktifis, mahasiswa, budayawan, LSM, lembaga adat,  lain-lain,  yang akhirnya akan menjadi pemenang karena mampu berperan, mengakomodir, mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral dalam menumbuhkan kesadaran dan eksistensi individu.

Interaksi positif antar-blok merupakan kesempatan kunci pada lahirnya proses kesadaran ini. Element ini mesti didorong dan terus melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya, identitas manusia, menumbuhkan kesadaran yang mampu mencapai cita-cita dalam merajut keharmonisan hidup bersama. Semoga.[]

Penulis: Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unimal Lhokseumawe, dan Direktur DeRE-Indonesia; Email: kamaruddinkuya76@gmail.com

Editor: Safta
Comments