Jumat, 05 November 2010

REINTEGRASI DAN SPIRIT JANDA KONFLIK ACEH


Saya tidak sanggup membayangkan, mengapa dunia tempat kita berpijak ini senantiasa dipenuhi oleh hujan air mata, bermandikan darah, penuh dengan nyayian kepedihan, teriakan kesakitan, jeritan minta tolong dan jeritan kematian. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan secara individu maupun kolektif seolah menjadi tradisi baru, tradisi yang keluar atmosfir ketidakpastian dalam banyak hal di negari ini. Perang dan konflik, yang salah satunya disebabkan oleh rangsangan pemikiran, telah menjadi ruang efektif untuk menghabiskan atau meminimalisir kuantitas dan kualitas manusia. Lihatlah kekerasan yang dipamerkan manusia abad ini, mulai dari sudut Balkan sampai ke wilayah tanduk Afrika, dari negara-negara latin seperti Kolumbia, sampai ke Fasifik seperti Fiji atau daratan Aborijin Australia. Dari Asia Selatan seperti Srilangka hingga ke ke Chechnya di kawasan Kaukasus. Tetangga kita Thailand, Myanmar, Malaysia, Filipina dan dari Aceh, Jakarta  sampai ke Papua. Kekerasan, tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong kita pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban bangsa.
Kita memang dipaksakan untuk menyaksikan berbagai kekejaman dan ketidakbenaran ini. Ketidakbeneran ini mesti dilawan sekuat tenaga oleh masing-masing generasi. Generasi yang cinta akan perdamaian. Aceh damai, Indonesia damai dan dunia juga damai, mengutip Karl May Dan Damai di Bumi: ”bawalah warta gembira ke seantero dunia, tetapi tanpa mengangkat pedang dan tombak, dan jika engkau bertemu rumah ibadah, jadikanlah ia perlambang damai antarumat”.
 Dan Aceh menjadi salah satunya, yang telah ratusan tahun menjadi ladang subur eksperimen para aktor tangan besi yang haus darah. Berbagai data diperlihatkan bahwa perempuan menjadi komunitas paling dirugikan ketikan perang dan konflik berkecamuk. Wajar ketika dikatakan bahwa wajah kemanusiaa Aceh mengalami keretakan hebat; perempuan kehilangan suami, kemiskinan, anak-anak tanpa orang tua, kekerasan, pembunuhan menjadi bahasa verbal dan non verbal keseharian. Perempuan dan dara-dara rupawan terpaksa melawan dan bahkan mengangkat senjata dalam pasukan atau armada Inong Balee.
 Pasukan yang asal mulanya di bentuk Oleh Srikandi Aceh Laksamana Keumalahayati saat perang dan konflik dengan Portugis pada masa pemerintahan Sultan Alaidin RiayatsyahAl-Mukammil, kalau tidak keliru antara tahun 1589-1604. Keumalahati telah membuktikan ketangguhan perempuan dalam berbagai bidang tak kecuali bidang kemiliteran. Perempuan menjadi pasukan perang sudah biasa terjadi di bumi Aceh dalam mengkonstruksi realitas sejarahnya masing-masing. Mungkin bagi srikandi ini, kemungkinan untuk hidup di dalam rumah dan di luar rumah sama saja. ”Tak ada hormat terhadap jiwa manusia dan tak ada empati untuk menjaga manusia secara manusiawi”, ungkap Sulaiman Tripa suatu ketika di Banda Aceh.
Azhari, sastrawan Aceh yang menerima hadiah Free World Award pada bulan Mei 2005 lalu, menulis: ”Dan saya sebagai si terkutuk dilahirkan dan tumbuh di tanah yang buruk itu, namun saya begitu mencintai Aceh dengan segala alamnya yang elok dan masyarakat yang ramah untuk menyambung hikayat lama dan menyampaikan kepada dunia!”. Bagaimanapun kondisi dan situasi Aceh, yang jelas mereka telah mampu mengukir sejarah dalam mempertahankan identitas kebangsaan dan keagamaannya.
Saya berani mengatakan bahwa, dalam percaturan sejarah Aceh memberikan relatif banyak cerita khas tentang perempuan. Terutama tentang keterlibatan perempuan dalam aktifitas politik praktis dalam pemerintahan dan peperangan dalam mempertahan identitasnya. Aceh telah melahirkan perempuan-perempuan tangguh dan utama. Keberanian dan kesatriaan perempuan Aceh melebihi segala perempuan yang lain dalam mempertahankan kebangsaan dan keagamaan.
Kalau kita baca buku sejarah Aceh, salah satunya buku Wanita utama Nusantara dalam lintasan sejarah tahun 1994, Misalnya menyebutkan Ratu  Pasai Malikah Nur Ilah yang mangkat tahun 1380, tidak saja menjadi raja Pasai tapi juga Kedah diseberang selat Malaka. Sekitar 585 tahun silam hidup seorang ratu penguasa tertinggi kerajaan Pasai, yaitu Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih dari 20 tahun, dengan monumen makam terindah di asia tenggara yang terdapat di Aceh Utara tepatnya Geudong Samudera Pasai sekarang. Kemudian seorang perempuan yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam lebih dari 35 tahun Tajul alam Safiatuddin Syah dari tahun 1641-1675 M. Setalah mangkat Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah pada hari Rabu 23 Oktober 1675, bukan kedudukan perempuan sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Aceh berakhir. Masih terdapat tiga perempuan lagi yang menjadi sultanah. Yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688) dan Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Kalau kita menelusuri sejarah perlawanan Aceh terhadap kolonialisme dan imperialisme yang melibatkan banyak srikandi Aceh dalam bahasa Zengraaff menyebutkan ”Grandes Dames” (wanita-wanita besar) ketika melawan kolonialis Belanda antara tahun 1873-1942. Seperti Cut Nyak Dhien atau Cut Nyak Him yang bergelar Teuku di Bitai, kuburan beliau terdapat di Sumedang Jawa Barat,  Cut Nyak Meutia Aceh Utara, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Bagaimana Putro Phang mampu menginisiatifkan struktur lembaga perwakilan di Aceh yang mewajibkan penglibatan perempuan dan masih banyak terdapat perempuan-perempuan utama di Aceh yang terkadang tidak tercatat dalam sejarah di negeri ini.   
Perempuan Aceh menjadi fenomenal. Perempuan Aceh dalam masyarakatnya sejak masa kerajaan Aceh Darussalam, dimasa perang, konflik atau damai, hingga sebelum dan sesudah tsunami adalah fenomena unik yang nyaris tak ada padanannya di tempat lain. Dalam sejarah dunia Islam, bahkan sejarah dunia secara umum, hanya di Aceh lah perempuan bisa berperan utama hingga menjadi sultan, legislator, panglima perang, dan admiral disamping terkenal lewat peran tradisionalnya. Dalam sejarah Aceh kontemporer, perempuan menjadi pivot keberlanjutan komunitasnya dalam masa perang dan konflik serta bertahannya komunitas. Dan meraka mampu bertahan sampai saat ini, trend feminisme dan gender mereka kunyah dengan landasan akidah dan agamanya.  Mereka tidak terjebak dalam kapitalisme libidonomi yang membabi buta, seperti yang terlihat saat ini yang melanda hampir seluruh negeri.
Sebagai ilustrasi saja, untuk kita renungi bersama; nilai keperempuanan yang pernah di wujudkan oleh perempuan-perempuan Aceh dari masa kesultanan sampai saat ini. Sudah mulai terkikis oleh ekploitasi libidonomi kapitalisme. Bayangkan  tubuh perempuan akan bernilai ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat berbagai bahasa tanda (bodily sign), yang dapat menyertai tawaran sebuah komuniti – mobil, motor, lemari es, makanan, sepatu, baju dll. Semakin seksi dan berani cover girl  dalam sebuah iklan misalnya, maka nilai tukarnyapun tinggi  dalam pasar libido secara ekonomis dengan prinsip capital.
Yang terjadi adalah budaya ketelanjangan, tubuh menjadi obyektifitas ektrem yang meninggalkan batasan moral, batasan social, batasan spiritual. Tidak ada lagi nilai subyektifitas, seperti privasi, rahasia, rasa malu, tabu, risih atau rasa berdosa. Batas-batas antara ruang privat dan ruang public yang selama ini membatasi, kini telah didekonstruksi. Domain privat seperti aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks kini dipertontonkan sebagai domain public dan menjadi milik public, jadilah kita sebagai masyarakat cabul – society of the obscene. Richard Harland menyebutnya antisocial yaitu tidak bertanggungjawab secara social.
Celakanya, budaya posmodernisme dekonstruksi mendapat respon yang antusias dari berbagai kalangan dinegeri ini; anak muda (youth culture), dengan seks bebas, pesta seks ABG, seks sekolahan, pelacuran diberbagai sudut kota, narkotika menjadi pelampiasan. Para pengusaha (kapitalis) menggunakan untuk mengikatkan daya tarik komoditi; gadis iklan, foto model, gadis pajangan, prostitusi, gadis pangilan, pantipijat plus-plus.
Media mengunakan untuk meningkatkan daya tarik dan rating. Bahwa sesungguhnya ada berbagai dimensi yang hilang dalam masyarakat kita; dimensi rahasia, rasa malu, tabu, norma, adat, rasa berdosa, dan dimensi spiritual. Digantikan dengan dimensi ketelanjangan, ketidakacuhan, sekularitas, materialistis, individualistis.
Meminjam pendapat Idi Subandi Ibrahim dalam sebuah buku Hegemoni Budaya 1997, bahwa dari berbagai peristiwa  yang kita saksikan  lewat prisma berita global, ternyata dunia  yang kita bayangkan  bukanlah wajah dunia  yang penuh kedamaian  dan tanpa kegelisahan. Tapi, malah kejutan-kejutan yang kita dapatkan.
 Fenomena seksualitas, misalnya dalam budaya media merupakan penanda dari kreativitas dekonstruktif pekerja media untuk membentuk citra sosial. Bahwa seksualitas adalah energi tanpa batas dari media yang menutup rasa kebosanan. Dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas adalah energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan.
Pilliang dalam Postrealitas 2004, mengungkapkan bahwa fenomena pornogafi, mistik-klenik dan kekerasan dalam prisma kaca televise kita, semakin meluas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana berbagai prinsip, konsep, pandangan dunia (world view), makna dan nilai-nilai yang berasal dari filsafat modernisme bahkan postmodernisme memberi bentuk pada media. Sehingga ia melampaui (hyper)- melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama.
Penggunaan tubuh perempuan juga tidak bisa terlepas dari kapitalisme-sebagai sebuah ideology ekonomi, kearah apa yang disebut sebagai libidonomi, yaitu system ekonomi yang didalamnya terjadi eksploitasi secara ekstrim segala potensi libido sebagai komunity, dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme menjadikan tubuh dan segala potensi libido-nya- sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan capital. Bahwa ada sebuah efek sinergis yang kuat antara kapitalisme sebagai system ekonomi politik dan postmodernisme  sebagai sebuah system pemikiran budaya menjadi sebuah elemen yang sentral dalam produksi benda-benda komoditi dalam media.
Tubuh perempuan khususnya tidak saja dijadikan komoditi, akan tetapi juga sebagai metakomoditi yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi lainnya. Dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksploitasi nilai gunanya (use vilue)-pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange vilue) seperti gadis model, gadis peraga, hostess, dan juga nilai tandanya (sign vilue) seperti erotic magazine, erotic art, erotic video, erotic photogafi, erotic film, erotic vcd, majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porno dan lainnya. Eksploitasi tersebut berlansung mengikuti model-model pembiakan atau pelipatgandaan secara cepat, baik dalam cara, bentuk, varian, teknik, maupun medianya.
Identitas perempuan di negeri ini, mulai runtuh pelan-pelan ketika, yan menjadi figur-figur atau tokoh-tokoh yang dibanggakan adalah tokoh kapitalis; yang dapat merusak nilai-nilai dan tatanan sosial cuktural perempuan. Kembali pada figur perempuan Aceh, ada yang berpendapat bahwa, walaupun peran perempuan Aceh sangat pivotal, tingkat peran, domain dan sasaran peran itu sendiri naik-turun, berbeda dan berubah dari masa ke masa dan antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Suatu kali perempuan Aceh bisa terlihat dominan di bidang hukum atau politik, di waktu lainnya, perempuan Aceh lebih menonjol peran sosialnya. Ini menjelaskan bahwa perempuan Aceh sangat menyatu dan berkembang dengan lingkungannya. Perempuan Aceh tidak hidup dalam ruang kosong tanpa dimensi.
Demikian uniknya posisi perempuan dalam masyarakat Aceh sehingga telah menjadi bahan debat yang bersemangat antara feminis-liberal yang keblinger disatu pihak, dan kalangan konservatif-dogmatif dipihak lainnya. Ironisnya, pelaku dan asal ide pada dua ujung paling ekstrem ini biasanya adalah non-lokal. Perempuan Aceh sendiri jalan terus dengan kiprahnya. Perempuan Aceh sepertinya enggan bermain di tingkat isu, tapi terus berjuang pada aras aksi. Jika melakukan advokasi pun seringkali yang dipilih adalah moderasi.
Perempuan Aceh telah mencoba menghilangkan mitos bahwa wilayah politik dan militer hanya milik laki-laki. Mereka telah membuktikan kepada generasi saat ini, bagimana mereka yang pergi meninggalkan ”rumah yang damai“, untuk berperang  dengan mengembara di hutan-hutang yang sunyi, yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk sebuah perjuangan yang hasilnya waktu itu tak pernah pasti.
Mereka inilah yang mempertahankan identitas ke Acehan berupa Islam dan meraka telah menjadi motivator, dan spirit perempuan Aceh sampai dengan saat ini. Ya, memang ketika perang berkecamuk dan konflik menjadi hiasan hidup, Aceh selalu melahirkan perempuan-perempuan tangguh.
Semuanya perang dan konflik yang melanda Aceh ber abad-abad lamanya, boleh dikatakan upaya mempertahankan identitas ke Acehan atau kebangsaan dan keagamaan. Sekali lagi, secara periodic akar masalah dari konflik Aceh adalah karena tidak teraktualisasikannya identitas keacehan dalam wadah nation state yang dijalankan dengan system politik yang mendominasi, sentralistik, militeristik dan otoriter oleh pemerintah pusat. Dapat dimaklumi juga bahwa mengapa ultimatum perang pemerintah Hindia Belanda pada 26 Maret 1873 disambut dengan perlawanan yang gigih oleh seluruh konponen masyarakat Aceh saat itu. Selama berpuluh-puluh tahun mereka sanggup berperang. Tujuannya amat jelas untuk mempertahankan identitas keacehan yaitu Islam.
Munculnya gerakan bersenjata Teungku Daud Beureueh periode 1953-1959, juga ditandai dengan menghilangkan identitas keacehan oleh Soekarno berupa janji penerapan syariat Islam yang tidak ditepati. Bahkan mencabut status propinsi Aceh dan menggabungkannya dengan Sumatera Utara. Yang kemudian memunculkan protes. Dalam konteks itu pemerintah malah melakukan tindakan militerisasi.
Pemberontakan Hasan Tiro/GAM sejak tahun 1976, tidak semata-mata masalah syariat Islam dalam pengertian ritual belaka tapi menyentuh aspek politik, ekonomi social dan budaya. Dalam pandangan GAM proses aktualisasi identitas keacehan tidak mungkin bias terwujut dalam sebuah Negara yang dari segi ideology dan system pemerintahannya dianggab salah. Identitas Aceh dan daerah lain dari dulunya sudah terbentuk dan masing-masing memiliki definisi dan karakteristik sendiri-sendiri. Hanya mungkin teraktualisasi jika ideology Indonesia bukan pancasila dan system negaranya adalah federasi. Pemberlakuan UU No.5 Thn. 1974 tentang pemerintahan daerah, UU No. 5 Thn. 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan yang dilahirkan Orde Baru adalah bukti kuat adanya politik dominasi/sentralistik. Yang dipraktekan dengan melakukan tekanan  ekonomi terhadap daerah lewat kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Kehadiran industri-industri besar di Aceh, bukan malah terberdayanya masyarakat. Yang terjadi justru memunculkan kantong-kantong kemiskinan, kesenjangan antara penduduk local dengan pendatang, Bahkan tertutupnya partisipatif politik local yang menyebabkan institusi, aturan, norma dan masyarakat local terpinggirkan termasuk elit-elit lokal.
Munculnya berbagai gerakan protes sipil sejak periode 1989-1999 adalah juga akibat langsung dari system tersebut. Dengan dalih menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pemerintah sejak tahun 1989 menjadikan Aceh  sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)  khususnya untuk tiga daerah utama yang dianggab basis GAM daerah ini juga tempat beroperasinya mesin-mesin ekonomi pemerintah bersama mitranya  yaitu Aceh Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur.  Dalam cacatan investigasi masa DOM inilah berbagai praktek tindak kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) bahkan terjadi pembunuhan besar-besaran (the crime of genocide). dilakukan oleh militer di sepanjang Operasi Jaring Merah I hingga VIII. Akibat praktek pelanggaran HAM ini telah menimbulkan berbagai efek. Efek psikologis misalnya terjadi perubahan kepribadian (tidak ada harga diri, tidak percaya orang lain, merasa tidak berarti dan hilang tujuan hidup). Gangguan kognitif seperti gangguan pikiran, intelegensia, hilangnya konsentrasi, bingung, disorientasi atau kesukaran memori. Efek lain adalah terjadinya perubahan afektif berupa panik, cemas, takut, depresi, iritabbe dan problem kehidupan lainnya.
Bahkan setelah DOM ditarik rupanya tidak hanya tiga wilayah tersebut eskalasi kekerasan meningkat tapi wilayah Aceh selatan, Aceh Barat, Bireun, Aceh besar dan Aceh Tengah. Adanya tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlansung secara terus menerus baik masa DOM maupun pasca DOM inilah yang menjadi akar dari munculnya konflik baru antara gerakan sipil dengan pemerintah pusat dan daerah. Walaupun ketiga bentuk perlawanan rakyat ini memiliki latarbelakang dan akar masalah yang berbeda tapi tetap dalam kerangka identitas keacehan. Identitas disini lebih dipahami dalam konsepsi psikologik yaitu system kehidupan orang Aceh, seperti cara pandang, cara bersikap, cara bertindak, dan cara menjalankan kehidupannya.
Saya melihat identitas keacehan lebih kepada membentuk citra diri; sebagai sitem social, budaya, agama, politik dan ekonomi. Juga bentuk harga diri; lebih kepada cara masyarakat Aceh dalam melihat harkat dan martabatnya. Seperti sebutan masyarakat yang religius, pantang menyerah, kritis, atau berani.
Kita juga mesti melihat,  suatu identitas politik, sosial budaya dan ekonomi sudah lama terbentuk sejak awal abab ke XVI (1520 M). Yang ditandai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah.  Dua pilar yang mendasari dan mewarnai identitas masyarakat Aceh adalah Islam dan perdagangan. Menurut J.C.Van Leur, melihat masyarakat Aceh yang egaliter termasuk masyarakat ideal maritim yang tentunya amat berbeda dari ideal type masyarakat agraris.
Apapun alasannya, perang dan konflik yang terjadi di Aceh dalam berbagai masa, senantiasa menyingkirkan hakikat dan martabat kemanusiaan. Rekayasa sosial lewat perang dan konflik telah membunuh karakter kemanusiaan dan manusia itu sendiri sebagai khalifah di muka bumi. Itulah bahasa kemanusiaan dipertontonkan pada setiap generasi. Thomas Hobbes dan Machiavelli, relevan ketika mengatakan hakikat kehidupan manusia memang perang, walau punya keinginan damai. Eksperimen rekayasa sosial lewat perang dan konflik terus berlangsung di negara ini. Cukup sudah eksperimen rekayasa sosial ini dipraktekan oleh Vladimir Ilyic Lenin dalam Revolusi Oktober 1917 dengan catak biru Marxisme-Leninisme. Mereka tidak memperdulikan hakikat kemanusiaan bahkan tidak menghitung jutaan manusia mati sia-sia; tangan besi terkadang apa yang dilakukan sering tak lebih dari kepentingan dan klaim kebenaran ideologi; kapitalis, komunis, liberalis dan sebagainya, ya.. sekali lagi kepentingan ideologi. Padahal, dalam Al Quran- kitab suci umat Islam. Allah SWT berulangkali menegaskan: Bahwa segala kerusakan bumi, disebabkan oleh tanga-tangan manusia. Manusialah yang memanisfestasikan keraguan Malaikat ketika Tuhan menegaskan akan menciptakan manusia.
Atau lebih jauh, dalam Kitab umat Islam Al Quran surat Al-Ahzab:58 dan An-Nisa’:93 Allah berfirman: “orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kedustaan dan dosa yang nyata.”  Dan ayat berikutnya Allah mengatakan: ”Dan barang siapa yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya ialah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah itu murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
Kekecewaan peradaban kemanusiaan di ungkapkan oleh Kahlil Gibran dalam salah satu bukunya, ”Aku mencari kesunyian, pengasingan dan kesendirian karena aku benci akan istana yang besar dan hebat yang disebut peradaban, karena bangunan dan arsitakturnya yang bagus dan berdiri tegak diatas bukit tengkorak manusia”. Ya, itulah noda hitam dalam sejarah kemanusiaan terus berlalu dengan alasan kemanusiaan pula, tak mudah dihapuskan. Paling tidak, segala kekejaman manusia kepada manusia yang terjadi dalam setiap peradaban, menjadi catatan sejarah kelam. ”Memang dalam Millenium ini, yang paling berbahaya adalah perilaku (destruktif) manusia”, ungkap Dino Patti Djalal dalam suatu diskusi di tahun 1999.
Atau simaklah bait-bait syair dalam lagu Ebit G. Ade; ”bila masih mungkin kita menolehkan batin, atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas. Mungpun masih ada kesempatan buat kita mungumpulkan bekal perjalan abadi. Kita mesti ingat tragedi yang memilukan. Kenapa harus mereka, yang terpilih menghadang, tentu ada hikmah, yang  harus petik. Atas nama jiwa, mari heningkan cipta. kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu entah sampai kapan, tak ada yang bakal dapat menghitung. Hanya atas kasih-nya, hanya atas kehendak-nya kita masih bertemu matahari. Maka yang terbaik hanyalah segeralah bersujud mumpung kita masih diberi waktu”.
Mungkin, makna-makna yang tersimpan dalam syair lagu ini bisa mengetuk ketulusan dan keihklasan hati kita dalam melihat masa depan Aceh yang damai. Aceh yang memiliki identitas dan kekhasan tersendiri.
Kita patut bersyukur perjanjian Damai Pemerintah RI dan GAM (MoU) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinky (Finlandia), merupakan momentum mengakhiri kekerasan selamanya dari bumi Iskandar Muda. Semoga ini menjadi akhir dari sebuah sejarah kekerasan (the end of violence history) yang ada dimuka bumi. Akhir dari sebuah sejarah, walau dalam bentuk berbeda bagian dari tesis The end of history Fukuyama. Kalau di Aceh, berakhirnya sebuah sejarah melahirkan kedamaian sebagai pemenangnya. Sedangkan Fukuyama, akhir sebuah sejarah ditandai dengan munculnya kapitalisme sebagai pemenang. Namun satu hal yang pasti, ada impian banyak orang di Aceh yang sudah lama terpendam, bahwa bangun besok pagi tidak ada lagi berita surat kabar tentang kematian yang tak wajar, tak ada lagi ribuan nyawa terkubur sia-sia, tak ada lagi anak-anak sekolah ditengah tembak menembak, tak ada lagi bangkai manusia berceceran di pinggir jalan, tak ada lagi pemerkosaan secara bergilir, tak ada lagi pelecehan dan penghinaan yang menisbikan hakikat kemanusiaan.
Perjanjian dan kesepakatan akan terselamatkan bila melihat keberadaan manusia sebagai  tujuan. Sudah lama Aceh mengiginkan damai. Damai yang itu bukan sekedar selera, tapi kebutuhan. Kalau damai sudah menjadi kebutuhan, maka implementasi dan praktek di lapangan juga sesuai dengan MoU yang sudah disepakati. Maka untuk mengkoordinir perencanaan dan pelaksanaan proses reintegrasi ini, berdasarkan instruksi pemerintah  No. 15 Tahun 2005, maka pada  pada Februari 2006 melalui SK Gubernur No. 330/213/2006 dibentuklah Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang kemudian berubah nama menjadi  Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). BRA mengemban misi antara lain: mengakomodir perencanaan dan pelaksanaan antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah, baik domestik maupun asing untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi dalam rangka reintegrasi Aceh, sesuai dengan MoU Helsinki; melaksanakan program dan kegiatan yang berkaitan  dengan reintegrasi Aceh  menuju perdamaian  yang berkelanjutan  di Aceh; mengakomodir dan memantau pelaksanaan pemberdayaan di kabupaten/kota agar realisasi program sejalan  dengan upaya pemenuhan kesepakatan MoU; memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang telah disepakati; dan mengkompilasi dan mendistribusikan laporan atas realisasi program yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga pelaksana kepada institusi terkait. Badan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu Badan Pelaksana (Bapel), Forum bersama (Forbes) dan Badan pengawas. Jelas, misi yang di emban oleh BRA sangat kompleks dan berat.
Dalam sebuah Lokakarya Nasional untuk menyusun Rencana Strategis BRDA tahun 2008-20010, di Jakarta pada 3 Oktober 2008, salah satu isu penting adalah belum tuntasnya penanganan terhadap perempuan korban konflik, Inong Balee dan anak-anak korban konflik. Sebelumnya diskusi terbatas  yang diprakarsai oleh Ma’arif Institut – UNDP September 2007 di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, sempat saya usulkan untuk mendesak semua stakeholders yang terlibat dalam damai Aceh lebih memperhatikan janda korban konflik dan inong balee. Seminar dan dialog di Banda Aceh september lalu, juga sempat dimunculkan wacana untuk dibahas kembali tentang rekomendasi dari Duek Pakat Inong Balee (DPIA I dan II).
Kita tahu, bahwa dalam perang dan konflik Aceh perempuan yang mengalami dampak paling berat. Musibah tsunamipun mayoritas korban meninggal adalah perempuan. World Vision memperkirakan 60% dari korban meninggal adalah perempuan, sementara rasio yang selamat adalah 1:3 antara perempuan dan laki-laki. Penelitian yang dilakukan Flower Aceh juga menunjukkan bahwa 75 % dari pengungsi yang ada di beberapa barak adalah laki-laki.
Dalam sebuah seminar “Perempuan dalam perdamaian Aceh“ Banda Aceh 16 Agustus 2006, Syarifah Rahmatillah salah seorang perempuan Aceh yang aktif memperjuangkan gender mengatakan; “adalah merupakan suatu kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan masyarakat jika mereka mengabaikan peran dan suara perempuan dengan menutup kesempatan dan tidak memaksimalkan peran perempuan dalam proses perdamaian di Aceh“.  Tabrani Yunis mengatakan “saat ini, tidak ada lagi alasan untuk tidak melibatkan perempuan dalam segala proses pembuatan kebijakan. Panggung perpolitikan sebetulnya tidak elok dan ideal ketika hanya laki-laki yang mendominasi. Harus ada perempuan yang berperan penting. Jika kita mau kita dapat melakukannya. Tidak ada demokrasi apabila perempuan tidak sepenuhnya dilibatkan”.
Banyak organisasi perempuan yang berjuang semasa konflik sampai pasca tsunami, sebut saja RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), Flower, KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh), Solidaritas Perempuan, MISPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia), ‘Aisyiah Muhammadyah, Perempuan Islam adalah LSM dan ormas perempuan Aceh yang sangat aktif sejak masa darurat. Sebagian besar aktifis garis depan People Crisis Center (PCC) adalah perempuan, demikian juga dengan Yayasan Matahari. Dua lembaga ini termasuk yang paling aktif dalam misi kemanusiaan pada masa darurat di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Yayasan An-Nisa adalah LSM perempuan yang aktif di Aceh Barat bersama Meulaboh Crisis Center (MCC), yang meski bukan organisasi perempuan tapi sangat sensitif terhadap perspektif gender. Di Aceh Utara terdapat LBH-APIK yang aktif dengan advokasi kasus perempuan dan Yayasan Hati Nurani di Lhoksukon yang aktif dengan kegiatan livelihood untuk perempuan korban konflik. Di Pidie ada PASKA pimpinan Faridah Hariani, pemenang Yap Thian Him Award karena kerjanya mendampingi perempuan korban konflik, yang kini sibuk dengan kegiatan membantu korban tsunami bersama CHSE (Center for Humanitarian and Economic Empowerment) .
Terdapat juga aktifis perempuan yang handal di Forum LSM Aceh, HMI dengan Kohati-nya, serta lembaga-lembaga nasional dan internasional lainnya. Dalam kapasitas yang lebih terbatas, Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pusat Studi Perempuan Universitas Syiah Kuala,  IAIN Ar-Raniry  Unimal juga ikut berkiprah lewat mesin birokrasinya.  Perempuan Aceh menjadi staf-staf tangguh di berbagai LSM lokal, nasional maupun internasional. Mereka mengepalai kantor, menangani teknologi informasi, logistik dan pendistribusian bantuan kemanusiaan. Perempuan Aceh bisa memimpin rapat-rapat penting, membuat keputusan-keputusan strategis, mengepalai gudang bahan bantuan, menjadi car dispatcher, sampai menjadi tenaga evakuasi manyat.
Masih ingat “Bukit Janda?, itulah lokasi yang identik dengan Farida, korban konflik dan tokoh perempuan Aceh sampai saat ini masih aktif membantu janda-janda korban konflik. Terus terang saya angkat salud sepuluh jari diatas kepala. Perempuan pemberani yang tak kenal takut dan lelah. Kisahnya pernah dimuat oleh Kompas 21 Agustus 1998. Farida berjuang untuk pemulihan nasib kaum perempuan yang kehilangan suami, diperkosa, serta anak-anak yatim piatu yang kehilangan orangtuanya akibat tindak kekerasan di Aceh pada kurun waktu 1990-1998.
Perempuann tidak selamanya makhluk lemah. Setidaknya telah dibuktikan oleh Farida Ariani. Dari misi sosial-ekonomi untuk pemulihan para janda dan anak-anak korban kekerasan di Bukit Janda ini, Farida pun bergabung dengan Forum Peduli HAM Banda Aceh yang jangkauannya mencakup masalah pelanggaran HAM terhadap orang-orang sipil yang terjadi di Propinsi Aceh. Di Forum Peduli HAM ini Farida menunjukkan keberaniannya melakukan investigasi, konseling, perlindungan dan pendampingan terhadap korban yang dilakukannya sendirian meski ada puluhan relawan mahasiswa-mahasiswi Aceh yang siap membantu. Ia menghabiskan waktu berhari-hari masuk ke desa terpencil. Sifat kewanitaannya dengan segera membuat wanita-wanita desa korban berbagai bentuk tindak kekerasan termasuk penyiksaan dan pemerkosaan, membuka semua pengalaman buruk yang menimpa mereka.
Farida pula yang membawa ke Jakarta tiga wanita korban kekerasan yang diperkosa dan suaminya dibunuh atau hilang untuk mengadukan kekejaman oknum aparat kepada Ketua DPA, Komnas HAM, Kontras, dan Mabes POM ABRI di Jakarta. Ia tak peduli lagi pada teror lewat telepon setelah mengungkapkan kasus-kasus itu.
Siapa yang tidak terenyuh ketika ketika seorang gadis remaja menceritakan bagaimana oknum pemeriksa menelanjanginya secara paksa dan kemudian memasukkan pisang ke dalam alat vitalnya. "Bukankah itu peristiwa paling keji? Itulah yang dialami oleh puluhan wanita di Aceh,". Berapa jumlah korban tindak kekerasan terhadap wanita di Aceh? Yang terliput baru belasan kasus. Namun saya yakin, jumlah korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan di Aceh, jumlahnya ratusan.  Ya, semoga tidak akan pernah terulang lagi perbuatan biadab di bumi Serambi Mekkah. Seorang Farida dan ratusan Farida-farrida lain akan muncul menyuawarakan kebenaran dan berjuang demi hak asasi manusia.
Ketangguhan perempuan Aceh juga dapat direkam dalam beberapa acara; masih ingat, acara “Duek Pakat Inong Aceh” (DPIA) tahun 2000 lalu. Para aktifis perempuan dari Jakarta sekalipun angkat salut melihat proses-proses pengorganisasian yang dilakukan perempuan Aceh. Debra Yatim, tokoh perempuan dan media nasional, menyatakan tak ada pertemuan sebesar dan se-egaliter yang dilakukan perempuan Aceh yang pernah dihadirinya di tempat lain.
DPIA pertama tahun 2000, meskipun diwarnai usaha memblokir isu referendum yang diusung oleh sejumlah kalangan perempuan Aceh, telah menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis. Salah satunya adalah permintaan agar 30% anggota legislatif berasal dari kalangan perempuan. Rekomendasi ini telah menjadi semacam kebijakan nasional di Indonesia dan secara normatif diperjuangkan oleh semua partai politik.
Betul memang kampanye 30% anggota legislatif perempuan belum sepenuhnya berhasil. Hanya PKS, menariknya, partai politik berbasis Islam, yang menuhi janjinya tentang quota ini.  Tapi perempuan Aceh telah sekali lagi membuktikan pentingya Aceh sebagai “modal” bagi perkembangan Indonesia.  Aktifnya peran perempuan dalam ranah politik ditabalkan sekali lagi dari negeri Serambi Mekkah ini.
Menyadari strategisnya peran perempuan Aceh sebagai tulang punggung komunitasnya, UNIFEM, United Nations Development Fund for Women  atau Badan Dana Pembangunaan PBB untuk Perempuan, tak ragu mendukung pra dan pelaksanaan DPIA II 16-19 Juni 2005. Didahului Pertemuan Konsultasi, 3-5 April 2005 yang sepenuhnya didukung UNIFEM, DPIA II telah merumuskan 36 rekomendasi penting dalam 6 bidang penting, mulai dari masalah hukum Islam sampai masalah politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Salah satu rekomendasi terpenting kongres perempuan Aceh tersebut adalah perlu diaktifkannya kembali dan pendirian ulang balai-balai perempuan Aceh (balee ureung inong) di setiap kampung. Balee ini masih dijumpai di sejumlah gampong di Aceh, tapi telah banyak berkurang selama konflik dan hancur di daerah yang tersapu tsunami.
Perempuan Aceh menjadikan balai-balai tersebut tempat untuk mengaji, berdiskusi, berbagi informasi dan saling membantu sebagai bagian dari komunitas kampung. Balee inong adalah pusat kegiatan perempuan yang telah ada bahkan sebelum aktifis gerakan perempuan modern bicara tentang balai PKK, women center  atau  women crisis center. Adalah sangat tepat jika konsep balee inong ini diadopsi kembali sebagai bagian rekonstruksi setiap kampung pasca konflik dan tsunami. Perempuan Aceh dapat menjadikan balai-balai mereka sebagai focal point untuk meningkatkan kontribusi peran dan memastikan hak-hak mereka dalam proses perdamaian yang sedang bergulir dan rekonstruksi Aceh yang akan menentukan wajah Aceh ke depan.
Perempuan Aceh menyuarakan aspirasinya untuk perdamaian dan Aceh yang lebih baik di masa depan tanpa harus khawatir tentang ruangnya. Perempuan Aceh semakin piawai berpolitik di tengah usaha politisasi dan depolitisasi, semakin baik keber-agama-annya justru ditengah himpitan dua kutub pandangan yang bertolak belakang. Pemain isu dan agen-agen kepentingan, masih tetap orang-orang non-lokal, boleh kecewa karena tak pernah mendapat tempat dalam gerakan perempuan Aceh.  Perempuan Aceh terus aktif dengan kerja nyatanya.
Namun sungguh disayang, dalam proses Kesepahaman antara Perintah Republik dan GAM, perempuan tidak dilibatkan secara formal. Hal ini berlanjut dalam implementasi perjanjian damai tersebut. Salah satu pelaksanaan dari kesepahaman tersebut yang juga diamanatkan dalam UU no. 11 tahun 2006, adalah pembentukan Komisi Rekonsiliasi. Pembentukan Komisi ini seharusnya membuka peluang keterlibatan perempuan di dalamnya, tetapi sampai saat ini masih terhambat. Reintegrasi sendiri masih dipahami dalam konteks pemberian kompensasi dana semata, sementara pemberian dana saja tidak cukup untuk memulihkan trauma korban kekerasan. Sampai saat ini, menunjukkan adanya pengabaian tehadap perempuan korban kekerasan dalam konflik sebagaimana yang terdokumensikan oleh KOMNAS Perempuan (2007).
Baik di BRA maupun KPA, tidak ada satu perempuanpun yang dilibatkan dalam tingkatan pengambilan keputusan. Ini merupakan salah satu sebab terjadinya distorsi peran perempuan. Distorsi lainnya adalah kurangnya pengakuan terhadap Inong balee sebagai bagian dari Teuntra Nanggroe Atjeh (TNA), seperti tidak ada nama perempuan inong balee sebagai bagian dari TNA yang menerima kompensasi.
Padahal dalam berbagai publikasi, GAM selalu mengakui bahwa mereka mempunyai pasukan perempuan yang bukan hanya bekerja di garis belakang namun juga ikut berperang bersama laki-laki lain. Ada anggota Inong balee yang selama berada di hutan tidak bisa menjaga higienisasi saat menstruasi menyebabkan terganggunya kesehatan reproduksinya. Tidak adanya data perempuan kombatan pada 3.000 nama yang terdaftar merupakan tanda bahwa sensitifitas berbagai pihak terhadap perempuan masih minim. Namun perempuan Aceh tidak berhenti karena tidak punya posisi. Perempuan Aceh terus berperan di berbagai bidang tanpa khawatir akan ada tidaknya pengakuan. Seperti nyak-nyak pedagang kecil di berbagai pasar yang tak pernah minta perhatian meskipun harus berjuang sampai di usia tuanya. Perempuan Aceh yang lebih muda terus mengorganisir diri dan berjaringan.
Informasi yang kita dapat bahwa baru awal tahun 2007 pihak KPA mengajukan data tambahan sebanyak 6200 orang lagi, dimana sekitar 30 % adalah untuk Inoeng balee atau setara dengan 1680 orang. Beberapa permasalahan lain dalam kerja BRA adalah tidak adanya data terpilah dan indikator jender. Masyarakat sulit mendapat informasi bagaimana kelompok rentan seperti perempuan, anak, orang tua dan orang cacat dapat menerima manfaat dari proses reintegrasi. Selain itu, pemulihan nama baik dan pemulihan trauma yang merupakan salah satu hal penting bagi anak dan perempuan, masih diabaikan.
Saya ambil contoh seorang perempuan di Aceh Timur, menyampaikan bahwa dengan tidak dianggap sebagai anggota GAM, maka tidak ada akses bagi mereka menceritakan keluhan-keluhan mereka, sementara penyembuhan trauma adalah sesuatu yang sangat mereka butuhkan, begitu juga penyembuhan fisik akibat kekerasan yang mereka alami. Hal lain yang terbaikan adalah pendidikan dan pemulihan ekonomi bagi perempuan. Selama ini, perempuan hanya akan mendapatkan kompensasi atau akan mendapat dukungan dari pemerintah jika mereka kehilangan suaminya atau keluarga lainnya akibat konflik.
Atau kisah memilukan yang dimuat oleh Ceuremen   Senin, 12 Maret 2007 Air Mata Janda di Tumpukan Dana Reintegrasi. Cut Masna, 40 tahun, yang duduk termenung di sebuah kuburan. Matanya tertuju pada batu nisan yang bertuliskan M. Dahan. Sebuah Al-Quran kecil bersampul biru ada di tangannya, tangannya yang lain kerap singgah di pipinya yang sudah basah dengan air mata. Ada seorang anak kecil di sampingnya, Siti, 10 tahun. Tangan mungilya sibuk mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sekitar nisan. Baju dan celananya terlihat bersih dan rapi, beda dengan ibunya yang kelihatan lusuh. “Ini kuburan ayah, sekarang kami tinggal sama mama,” ucap Siti terbata-bata. Kuburan yang diziarahi Masna dan anaknya pada awal Maret itu adalah kuburan M. Dahan, ayah Siti. Dahlan meninggal saat konflik dua tahun lalu. ”Suami saya dijemput oleh orang bersenjata selesai shalat magrib, esoknya ditemukan jadi manyat di pinggir sungai, suami saya ditembak,” kata Cut Masna. ”Ini anak saya yang bungsu,” tambah Masna sambil membelai rambut gadis kecil yang duduk disampingnya.
Setelah dua tahun ditinggal suami, Masna harus berjuang keras untuk menutupi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan dua anaknya yang masih sekolah. ”Anak saya semua enam orang, dua sudah berkeluarga, dua lagi sudah bekerja, penghasilannya hanya cukup untuk mereka masing-masing,” ucapnya dengan isak tertahan. Desa Mangeu Kemukiman Lamkabeu Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, itulah nama desa tempat tinggal wanita janda itu bersama dua sibuah hati, Mereka tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari kayu berdinding papan yang sudah lapuk, dan beratap anyaman daun rumbia yang sudah mulai kelihatan bocoran-boran kecil.
Saban hari ibu enam anak ini harus bekerja keras menanami sayur diladang satu-satunya peninggalan mendiang suami. Selain bekerja diladang sendiri, kadang-kadang dia juga bekerja untuk orang lain dengan imbalan Rp.25ribu per hari, itu pun tidak setiap hari diperolehnya, buat Masna, uang senilai 25 ribu rupiah, cukup untuk makan sehari-hari dan jajan dua anak nya di sekolah.
Ada satu hal yang patut dipertanyakan disini, mengapa Cut Masna harus menghadapi nasib seperti ini? Bukankah Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sudah mengucurkan dana ratusan milyar rupiah untuk korban konflik?
Meskipun tanpa didukung oleh dana reintegrasi, semangat hidup Masna sepertinya tidak pernah pudar. Buktinya tiap hari masna tetap beraktifitas untuk mencari nafkah untuk anak-anaknya. Berteman dengan cangkul dan bakur sudah menjadi bahagian dari kehidupan Cut Masna setelah ditinggal suaminya.
Kisah serupa juga di muat oleh acehmagazine.com pada Kamis, 12 April 2007, Hampir sama dengan kisah Cut Masna, seoarng janda korban konflik Nurul Latifah (25), warga Desa Krueng Batee, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya. Masih terngiang jelas di kepala ibu seorang anak ini akan kenangan pahit yang dialaminya dua tahun silam. “Konflik telah merenggut kebahagiaan saya, suami saya, dan juga masa depan saya,”. Kenangan pahit dua tahun silam tak akan bisa dimaafkan Nurul, walau pemerintah telah berjanji memberikan kompensasi kepada janda korban konflik, namun bukan itu yang diinginkannya. “Tuntutan saya hanya satu, usut dan tangkap orang yang telah membunuh suami saya,” katanya.
Tidak hanya Nurul, masih banyak janda korban konflik yang bernasib sama bahkan lebih buruk darinya. Uang tidak bisa mengembalikan suami mereka, permintaan maaf tidak akan cukup hanya untuk diucapkan. “Keadilan harus ditegakkan. Janji pemerintah harus dilunasi, jangan hanya janji-janji saja, ini semua agar damai tetap terus bersemi,” pinta Nurul.
Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka  masih merasa tak memiliki siapapun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan keinginannya. Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina yang terkenal. “Orang selalu bertanya, “Mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh?, “Karena luka yang ditutup sembarangan akan memburuk. Infeksinya akan membahayakan. Jika tidak disembuhkan, luka lama itu akan menganga dengan sendirinya” (Priscillia B. Hayner, Unspeakable Truth).
Maka wajar, sebelum kita melangkah lebih jauh dalam proses reintegrasi. Kita pahami dulu masyarakatnya secara menyeluruh  yang akan diintegrasikan. Teuku Kemal Fasya dalam sebuah kesempatan menulis; bahwa kritik terhadap masyarakat yang tak berdaya harus melihat kembali seluruh peta kegagapan linguistik atau – mengambil istilah Habermas yang berasal dari Freud: linguisticalization of unconsciousness yang terhadap sejarah perkembangan kognitif masyarakat itu, memilah dan memilih strategi penguatan komunikasi manakah yang akan didahului.
Dalam hal ini benar kritikan A. Elliot dalam Social Theory and Psychoanalysis in Transition (1992) terhadap gagasan Habermas bahwa memang harus dilihat secara jernih konteks teori psikoanalisis terlebih dahulu atas masalah kenaifan masyarakat tak berdaya ini, dan bukan langsung mempersiapkan strategi komunikasi yang tepat untuk mengonsolidasikan kekuatannya. Harus dilihat kembali impian dan imajinasi sosial yang lenyap atau disenyapkan. Permasalahan terletak pada ketidaksadaran dan bukan pada strategi komunikasi. Penguatan ini tentu saja mempertimbangkan faktor budaya dan sejarah lokal sebagai sumbu nyalanya.
Masyarakat yang telah lama tertindas harus dikembalikan harga dirinya dengan membuka eksemplar sejarah dan kebudayaan yang pernah dimilikinya dahulu: bahwa mereka adalah keturunan pejuang yang melawan dengan gigih penjajahan kolonial asing. Mereka harus dikembalikan kesadarannya bahwa yang ditulis Paul van’t Veer tentang “penaklukan paling berdarah dan paling lama” itu bukanlah cerita kosong. Sekaligus mereka harus dijauhi dari  fiksasi subjektif bahwa menuntut hak bukanlah dosa. Dosa ketika membiarkan kebohongan berubah menjadi kebenaran. Dosa adalah melihat kezaliman berlaku seperti kesalehan, diulang-ulang dan dipuja di atas altar, dsb.
Kritik kedua yang perlu mendapat perhatian adalah pada peran negara. Memang seperti melukis di atas air kalau mengharapkan negara langsung memiliki wajah demokratis dan etis dalam memperlakukan masyarakat. Sampai sekarang di Aceh terbaca bahwa derita yang bertumpuk sekarang bukanlah akibat tsunami itu sendiri, tapi setelah itu: proses yang salah dan tidak bermoral dalam menangani bencana dan korbannya. Negara sampai sekarang masih menjadi pemain paling licin agenda liberalisme dan kepentingan global. Salah satu yang memperkuat perannya ke arah itu adalah mengoptimalkan seluruh potensi regulatornya, termasuk menjalankan peran  surveillance dengan kekuatan militer dan sipil. Dalam tubuh BRA misalnya telah terjadi tolak tarik kepentingan.
 Dalam tubuh BRA terlihat jelas adanya kepentingan Jakarta dalam unsur pelaksana. Katakanlah keterlibatan milisi yang akhirnya membuat kerja BRA tidak lagi kohesif dan sulit. Keluarnya wakil GAM dan LSM dari tubuh BRA membenarkan adanya tolak tarik kepentingan di dalam internal BRA. Padahal, BRA yang dibentuk oleh pemerintah melalui Keputusan Gubernur karena adanya consensus dengan GAM dalam bentuk MoU Helsinki, yang tujuannya untuk memberdayakan mantan kombatan dan korban konflik. Nyatanya,  begitu GAM dan LSM tarik, terjadi kevakuman kerja di BRA. Sementara ada sekitar 40 ribu masyarakat korban konflik dan mantan kombatan sampai sekarang belum mendapatkan apa-apa. Banyak kepentingan militer yang bermain dalam tubuh BRA. Padahal dana BRA itu tak hanya dari RI saja, melainkan dari lembaga asing, yang dikelola untuk membantu korban konflik.
Di sini negara mesti memperhatikan diri sebagai bagian organisme yang mungkin berubah dan bukan hanya menjadi agen kepentingan internasional. Seperti yang dikatakan Pierre Bourdieu (dalam Bonnewitz, 1998) bahwa akibat modernisasi negara tak dipungkiri telah menjelma menjadi kelas bahkan budaya dominan. Eksistensinya sebagai budaya dominan telah mengalami  proses legitimasi yang panjang. Namun, demi kebaikan dan lahirnya habitus demokrasi dari rahimnya, ia harus melupakan kesewenangan-wenangan yang ada pada saat kebudayaan itu dibangun.
Legitimasi negara memang mengarahkan pada lahirnya sistem pengetahuan yang permanen dan cenderung stabil mengatur dan mengevaluasi dirinya. Namun dengan sebuah proses untuk membuka diri dan menyediakan partisipasi yang bebas dan menentukan antarseluruh unit sosial dan kekuasaan yang dimilikinya, negara tentu akan tertolong lebih sehat dan tidak mudah sakit. Masyarakat yang hidup dalam wilayahnya menjadi masyarakat yang kreatif dan berani mengemukakan pendapat untuk mengatasi persoalaannya secara ilmiah dan “rasional”. Harus disadari, makin lama peran negara di era post-modernisme akan makin sulit mendeteksi keinginan, impian, dan hasrat warganya yang makin tak terbatas dan tak terprediksikan. Keran untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan itu adalah jika hadir banyak ruang publik yang mengisi kekosongan dan mengingatkan kealpaan negara akan tindakan-tindakannya.
Saya belum mengetahui formulasi apa yang tepat untuk mengoptimalikan lahirnya ruang-ruang publik termasuk kepada manta combatan dan korban konflik seperti kaum perempuan yang komunikatif sekaligus bermatabat tersebut. Namun perlu diingat bahwa masyarakat punya alat untuk membuat mekanisme koherensinya secara alamiah dan kuat jika ia memang diberi wadah untuk itu. Tawaran-tawaran kepada emansipasi dan partisipasilah yang memungkinkan mereka membuat lingkaran-lingkaran comradeship baru. Bisa saja terjadi pemuaian atau pengerucutan asosiasi-asosiasi sosio-kultural namun itu bukanlah masalah.
Interaksi antar-blok publik akhirnya yang akan menjadi pemenang karena mampu mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral. Kekuatan antar-blok merupakan kesempatan kunci pada lahirnya proses demokrasi baru. Beberapa unit sosial di Aceh sedang melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya dan identitas, difasilitasi oleh mereka sendiri atau kelompok-kelompok masyarakat di luar Aceh dan LSM. Ada tawaran; bersediakah negara, dalam hal ini pemerintah SBY-Kalla, militer, dan budaya patriakhis nasional, atau siappun yang akan menjadi pemimpin dalam pemilu 2009 nanti,  memberi kesempatan lahirnya kekuatan mandiri di Aceh dan mempertahankan damai Aceh terus bersemi? Kalau jawabannya bersedia. Maka proses reintegrasi akan berhasil dan tentu kedamaian yang dicita-citakan akan bersemi selama di Aceh.

Tulisan pernah dimuat di Majalah Srinthil Desantara Institute for Cultural Studies Jakarta

gambar profil oleh SafarManaf

Senin, 25 Oktober 2010

KAPITALISME, ORGANISASI MEDIA DAN JURNALIS (Perspektif Ekonomi Politik Media)


Pendahuluan
Arus globalisasi diakui kental dengan pengaruh kapitalisme global yang merambah dalam semua aspek kehidupan warga dunia baik ekonomi, politik, sosial, hukum dan budaya. Dunia saat ini seolah sudah tidak berbatas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas antarnegara menjadi samar. Dengan ditemukannya internet dan televisi, jarak antara kita dan orang yang ada di negara lain menjadi seolah tidak berjarak. Ini mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia di masa lampau. Inilah yang disebut era globalisasi yang ditandai dengan adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat satu negara terisolasi dari pergaulan internasional.
Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Boleh dikatakan Globalisasi adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke negara lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Globalisasi dengan konsep liberalisme  merupakan spirit dasar kapitalisme, ternyata tidak hanya merasuk dalam bidang ekonomi dengan paket-paket privatisasinya. Tidak hanya pula menyelundup liar ke ranah diskursus keyakinan seperti keagamaan dengan diabolisme intelektualnya, tapi juga telah mewabah dalam media massa.
Globalisasi tidak serta merta bersifat netral. Tatanan kemajuan yang dibentuk dan dipengaruhi globalisasi juga tidak sekedar bebas nilai. Sistem global yang turut masuk dalam industri komunikasi modern berdampak dalam beberapa segi. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan, ideologi korporat. Pertama, subversi kebudayaan. Dampak nyata dengan globalisasi media adalah salah satunya sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat yang lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal.
Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tapi justru masuk secara pelan dan hegemonik dalam nilai-nilai budaya masyarakat. Keuntungan imperialisme ekonomi tidak berhenti tapi berlanjut pada apa yang sering disebut dengan imperialisme kebudayaan. Kedua, ideologi korporat. Ideologi korporat dalam media massa kontemporer adalah akumulasi modal atau akumulasi keuntungan. Konsekuensi logis dari kapitalisme media adalah selain pengembangan pasar dan kapasitas teknologi juga melibatkan perluasan dan peningkatan volume kapital atau modal melalui diversifikasi barang atau jasa media massa modern.
Fenomena tersebut ditandai dengan berakhirnya perang dingin disertai runtuhnya kiblat sistem sosialisme yakni Uni Soviet pada permulaan tahun 1990-an, yang pada akhirnya sistem dunia menjadi berkiblat ke Amerika Serikat (Amerika Sentris) sebagai satu-satunya simbolisme kekuatan dunia. Media massa yang menjadi medium paling efektif penyebarluasan informasi otomatis ikut pula terkena imbasnya. Imbas kondisi tersebut bagi media massa diindikasikan adanya sistem pasar bebas/free market yang berpengaruh pada organisasi media dan jurnalisnya. Secara ideologis menyangkut sistem nilai yang dianut, etos kerjanya atau bahkan bisa jadi tetap independen tak terpengaruh sama sekali. Korelasi diantara berbagai varian sosial ikut berperan dalam merekonstruksi sistem sosial secara luas. Pemaknaan-pemaknaan realitas di atas, sepertinya akan menarik untuk menjadi bahan diskusi dalam topic tulisan kali ini. Tulisan ini dibuat hanya sebagai medium brain storming bagi kita untuk berdiskusi, menggali dan mengeksplorasi lebih dalam lagi tentang Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis dalam perspektif Ekonomi Politik Media. Dalam konteks ini tentu saja ideology kapitalisme, hegemoni sampai pada taraf imperalisme budaya juga memegang peranan penting.
Pemikiran Gramsci misalnya, seorang teoritikus politik dari Italia, memberikan sumbangan berharga dalam studi sosial, komunikasi dan kebudayaan. Ia memberikan penjelasan atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rezim fasis Mussolini, tidak melakukan perlawanan terhadap rezim fasis yang berkuasa. Mestinya perlawanan itu terjadi di Italia. Tetapi, kenyataan berbicara lain, yang terjadi justru sebaliknya, rakyat menerima dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rezim yang berkuasa, yaitu rezim Mussolini. Jawaban atas fenomena ini, menurut Gramsci, karena penguasa pada masa itu melakukan hegemoni. Hegemoni terjadi ketika masyarakat kalangan bawah yang dikuasai oleh kelas yang dominan bersepakat dengan ideologi, gaya hidup, dan cara berpikir dari kelas yang dominan.
Sehingga, kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa (Mansur Fakih: 2002). Pemikiran Gramsci ini memberikan sumbangan berharga dalam studi komunikasi dan kebudayaan. Secara sosiologis, keberadaan media liberal membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk bertransformasi menuju masyarakat sekuler yang liberal, sebagaimana masyarakat Barat. Dalam tinjauan teori sosiologi komunikasi massa, media cetak dan elektronik semisal tayangan-tayangan TV yang liberal tersebut adalah suatu diskusi publik agar nilai kebebasan (freedom, liberty) mengisi ruang publik (public sphere), kemudian menjadi opini umum (public opinion), dan selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu acuan nilai kultural yang disepakati bersama (Ashadi Siregar, Pengantar, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2003). Persoalan ini tak lepas dari pola pikir (mind-set) kaum liberal-sekular, bahwa kebebasan adalah nilai ideal yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat. Industri media seperti televisi di Indonesia misalnya pun hanya dimiliki oleh segelintir pemodal (kaum kapitalis), yang jelas pro dengan nilai kebebasan. Perusahaan Bhakti Investama menjadi pemilik modal di sejumlah stasiun televisi, seperti RCTI, Global TV, Metro TV, dan TPI. (Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Penyiaran di Indonesia, Yogyakarta : LKiS,2003).
Konsekwensi sebuah perusahaan besar dapat memiliki atau menyebarkan media massa di banyak tempat adalah ideologi yang seragam diberlakukan bagi audience. Tidak ada pendekatan spesifik bagi audience di setiap daerah. Pendekatan ekonomi politik, melihat media massa dari siapa penguasa sumber-sumber produksi media massa, siapa pemegang rantai distribusi media massa, siapa yang menciptakan pola konsumsi masyarakat atas media massa dan komoditas lain sebagai efek kerja media. Siapa penguasa sumber-sumber produksi media massa dapat dilihat antara lain dari kepemilikian media massa, kepemilikan rumah produksi penghasil acara-acara televisi. Kepemilikan media massa di Indonesia dapat juga dilihat seperti: Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Metro TV, Media Indonesia, dimiliki oleh kelompok usaha Bimantara. Majalah Cosmopolitan, Cosmo Girl, Hard Rock FM dimiliki oleh kelompok usaha yang dikendalikan pengusaha Adiguna Sutowo. ANTV dimiliki kelompok usaha Bakrie. Lativi dimiliki kelompok usaha yang dikendalikan pengusaha A Latief. Indosiar dimiliki kelompok usaha Salim.
Kenyataannya bahwa penguasa sumbersumber media adalah pengusaha. Ideologi dari aktivitas pengusaha adalah menjual sesuatu untuk mendapatkan profit. Tanpa keuntungan perusahaan akan ditutup. Media massa adalah bisnis, pemilik media adalah pengusaha media. Pola konsumsi media massa juga dibentuk oleh kerjasama pengusaha media dan pengusaha lain. Tayangan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) , Indonesian Idol, Kawasan Dangdut Indonesia (KDI) dan bermacam-macam kuis interaktif televisi merupakan hasil kerja sama antara pengusaha media televisi dan pengusaha jaringan selular. Karena tujuan usaha adalah mendatangkan profit, maka isi siaran media massa digunakan untuk menciptakan pasar bagi perusahaan jaringan selular melalui penggunaan Short Message Service (SMS). Selain pola konsumsi media yang dikendalikan oleh pengusaha media, pola konsumsi masyarakat di bidang-bidang lain juga dikendalikan oleh media, misalnya: Pola konsumsi Hand Phone, Fast Food. Ibu-ibu rumah tangga di Jepang tidak mau pola makan anaknya dikendalikan pengusaha Mc Donald. Mereka melakukan demo di outlet-outlet McDonald untuk memprotes iklan McDonald di televisi yang memberikan hadiah bila membeli ‘paket’ makanan dan minuman tertentu di outlet Mc Donald. Ibu-ibu rumah tangga di Indonesia ‘pasrah’ bila pola makan anaknya dikendalikan oleh pengusaha kapitalis. Dari data di atas, tercermin seperti yang dikatakan Altschull’s dalam studi kepemilikan dan pengawasan media, bahwa: “Isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang membiayai mereka”. (McQuails, 2000: 193).
Pada level International, operasionalisasi media global ditentukan oleh para pemain media global. Para pemain media global itu adalah kantor berita internasional (pemain besar seperti AP, Reuters, AFP, Interfax dan United Press International merupakan pemain besar yang tidak bisa diingkari. Peran mereka yang begitu besar dalam menyediakan berita-berita internasional dan kemampuan mereka untuk mempengaruhi opini publik tidak perlu diragukan lagi), penyedia jasa video berita (pemain besar seperti ABC, CBS, NBC, CNN dan FOX adalah penyelenggara berita terkemuka. Ini belum memperhitungkan stasiun independen dan teknologi media baru yang dirangkum dalam beberapa agen televisi berita), sindikasi media (merupakan cara efektif untuk menghimpun sinergi antar kantor berita yang ada di dalamnya). Perusahan media global terdiri dari perusahaan yang berkedudukan di Amerika (ada lima pemain besar dalam perusahaan media di Amerika, seperti kelompok Time Warner, Disney, Viacom, News Corporation dan NBC Universal) maupun di luar Amerika (terdiri dari beberapa lembaga media seperti Berstelmann Jerman, Hacheette Filipachi Italia Perancis, Televisa Amerika Latin, TVB Hongkong, TVGlobo Brazilia dan Reed Elsevier Jerman Inggris). Pasokan berita tidak bergerak dalam satu wilayah saja tapi menyebar ke seluruh dunia, seperti Rusia, Hongkong, Colombia. Rentang pemberitaan berkembang jauh melebihi kantor berita itu sendiri.

1. Kapitalisme dalam ranah media massa
Kapitalisme menurut Peter L. Berger secara etimologi yakni dari istilah ”capital” muncul pertama kalinya pada abad ke-12 dan 13, yang artinya dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga pinjaman. Di abad ke-18 istilah tersebut dipakai orang dalam istilah sempit, khususnya mengacu pada kapital produktif. Tentunya Karl Marx berperan dalam menjadikan istilah ini menjadi suatu konsep sentral yang disebut dengan cara produksi. Kata kapitalis barangkali bermula pada pertengahan abad ke-17 yang mengacu pada pemilik kapital . Kata kapitalisme pertama kalinya ternyata bukan dipopulerkan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai teorisi kapitalisme klasik. Juga bukan oleh Karl Marx yang selalu kita asosiasikan kata kapitalisme dengannya, meski Marx banyak memakai istilah capital, capitalist atau capitalistisc dalam analisnya tentang peranan modal, pemilik modal dan cara produksi dalam suatu proses industrialisasi di Eropa Barat.  Kata kapitalisme menjadi universal ketika karya besar Warner Sombart terbit. Sejak itulah kapitalisme dianggap sebagai lawan dari sosialisme. Meski demikian, etimologi ini memang menunjuk pada beberapa unsur kunci dari fenomena kapitalisme, yakni: Kapitalisme berakar dari sumber dana dan ini adalah cara khusus untuk mengelola produksi.
Kapitalisme sebagaimana ditekankan oleh Marx, Capital adalah suatu sistem produksi komoditi. Di dalam sistem kapitalis para pemroduksi tak hanya sekedar menghasilkan untuk keperluannya sendiri atau untuk kebutuhan individu-individu yang mempunyai kontek pribadi dengan mereka. Kapitalisme melibatkan pasar pertukaran (exchange market) yang mencakup nasional dan seingkali mencakup dunia internasional. Menurut Marx, setiap komoditi mempunyai suatu aspek ganda dimana dia satu pihak ’nilai pakai’ (use value) dan di pihak lain ’nilai tukar’ (exchange value).  Sesungguhnya kapitalisme tidak memiliki suatu definisi universal yang bisa diterima secara luas, namun secara umum merujuk pada satu atau beberapa hal berikut:
  • Sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19 - yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
  • Teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran.
  • Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa.
Secara sederhana, terminologi yang banyak dipakai untuk mendefinisikan kapitalisme adalah kegiatan produksi yang diperuntukkan bagi pasar yang dilakukan oleh perorangan maupun secara bersama-sama dengan tujuan memperoleh keuntungan. Sedangkan ciri-ciri kapitalisme adalah:
  • Sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu
  • Barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif
  • Modal kapitalis (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam  berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Kapitalisme sendiri berkembang dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Perkembagan kapitalisme berlangsung sesuai dengan sifat dan watak kapitalnya, yaitu menghisap hasil kerja kaum buruh, mengembangkan diri, bersaing dan menghancurkan lawan-lawannya. Diciptakan bermacam-macam bentuk dan sistem upah untuk menyelubungi penghisapannya atas hasil kerja kaum buruh. Dilakukan penimbunan kapital dan perluasan kapital untuk mengembangkan diri. Dilaksanakan modernisasi alat-alat kerja untuk lebih mengintensifkan penghisapannya atas hasil kerja kaum buruh dan bisa unggul dalam persaingan untk menghancurkan lawannya . Pada permulaan jaman kapitalisme muda banyak tenaga kerja yang bisa dipekerjakan sebagai buruh untuk meproduksi barang-barang dagangan yang terus berkembang sesuai dengan permintaan pasar. Tetapi untuk meningkatkan nilai lebihnya atau keuntungannya, kaum kapitalis memodernisasi alat-alat kerjanya yang berkelanjutan pemecatan buruh-buruhnya. Akibatnya pengangguran, penderitaan, kesengsaraan kaum buruh menjadi masalah sosial yang sulit dipecahkan.
Banyak timbulnya pengangguran adalah merupakan tanda bahwa bingkai hubungan produksi kapitalis itu sudah sempit. Bingkai hubungan produksi kapitalis yang sudah sempit bagi perkembangan tenaga produktifnya itu akan terus dan makin menyempit hingga pada akhirnya akan dibongkar dan dihancurkan oleh perjuangan dan perlawanan kaum buruh, sebagai unsur tenaga produktif untuk mencapai kebebasan hidupnya dalam ruang yang longgar sesuai dengan perkembangannya.  Kaum kapitalis hidup dan berkembang dari kekuatan kapitalnya dengan menghisap hasil kerja kaum buruh. Makin besar kapitalnya makin besar pula kemampuannya untuk menghisap dan makin besar pula kekuatannya untuk bersaing menghancurkan lawannya. Kaum kapitalis besar dan raksasa menguasai kehidupan sosial dan politik dimana mereka hidup dan berkembang.
Kemampuan kaum kapitalis untuk mendapatkan nilai lebih atau keuntungan tersebut, mengakibatkan penumpukan atau akumulasi modal. Karena tidak semua nilai lebih tersebut diasumsi untuk keperluan hidup kaum kapitalis, tetapi sebagian dijadikan tambahan modal. Besarnya modal kaum kapitalis berarti besarnya kemampuan untuk bersaing, maka diantara mereka mau tidak mau mengadakan konsentrasi kekuatan modalnya, yang selanjutnya berkembang menjadi monopoli.  Dalam persaingan, kaum kapitalis kecil hancur dan bergabung menjadi buruh, yang makin sulit hidupnya karena lapangan kerja makin sempit, sehingga mereka hanya sedikit memperoleh penghasilan dan akibatnya mereka tidak cukup mempunyai daya beli. Di lain pihak bersatunya kaum akapitalis besar dapat memproduksi barang-barng dagangan yang lebih banyak lagi. Akhirnya produksi barang dagangan kapitalis yang besar itu tak dapat dibeli oleh masyarakat atau kaum buruh, karena daya beli kaum buruh lemah, maka terjadilah kelebihan produksi kaum kapitalis. Kelebihan produksi itulah yang melahirkan krisis ekonomi dalam masyarak kapitalis, yang selanjutnya diikuti oleh krisis sosial dan politik yang akhirnya membawa kehancuran kapitalisme.
Interpretasi Marx tentang media menyatakan bahwa media merupakan alat kontrol kekuasaan penguasa kapitalis. Marx dalam German Ideology, menyatakan:  “kelas yang menguasai sarana produksi material juga memegang kontrol atas produksi mental. Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa wawasan orang yang tidak memiliki sarana produksi mental pun ikut dipengaruhi.
”...sebegitu jauh mereka memerintah sebagai suatu kelas dan menentukan serta mewarnai babakan zaman. Sudah jelas mereka pun mengatur produksi dan distribusi gagasan pada zamannya. Dengan demikian gagasan mereka-pun merupakan gagasan penguasa pada zamannya”.

2. Teori Relasi Kapitalisme dengan Organisasi Media
Banyak teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kapitalisme dengan organisasi media, baik dari perspektif Marxis ataupun non Marxist. Di antaranya adalah: Pertama, Marxisme Klasik, memandang media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta factor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan . Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti Teori Ekonomi Politik, Teori Kritis dan Teori Hegemoni Budaya. Kedua, Teori Hegemoni Media, Teori ini lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para kelas pekerja. Sehingga, upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam fikiran mereka. Pergeseran perhatian dari faktor ke faktor ideologi terkait erat dengan kelanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini dinilai William telah mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya.
Ketiga, Pendekatan Sosial Budaya, pendekatan ini lebih melihat tinjauan positif dari produk media massa dengan keinginan untuk memahai makna dan peran yang dibawakan budaya terakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pendekatan ini juga berusaha menjelaskan cara budaya massa berperan mengintegrasikan golongan masyarakat yang mungkin menyimpang dan menentang. Pendekatan ini juga mengalami pesan dan publik melalui pemahaman pengalaman sosial kelompok-kelompok kecil masyarakat dengan cermat, kritis dan terarah. Tujuannya agar dapat memberikan penjelasan mengenai pola pilihan dan reaksi terhadap media.  Keempat, Pendekatan Fungsional Struktural, Pendekatan ini memandang institusi/organisasi media dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kesinambungan, ketertiban, integrasi, motivasi, pengarahan, dan adaptasi. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau sub sistem, setiap sub sitem tersebut memiliki peran yang berarti. Media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap subsistem lainnya. Namun kenyataannya pendekatan fungsional struktural seringkali menjadi subsistem yang memiliki ketergantungan penuh pada sistem kapitalis. Sehingga kemampuan untuk melakukan fungsi media secara ideal tidak bisa terealisir karena dikalahkan kepentingan pemodal.

3. Perspektif Ekonomi Politik Media
Pada dasarnya Pendekatan ekonomi politik media juga dikatakan sebagai pendekatan teori dalam kaitanya dengan kapitalisme media. Teori ini lebih ditujukan pada pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan ideologis media. Teori ini mengungkapkan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja pada media. Dalam tinjauan Garnham, organisasi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik, kualitas pengatahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya jumlah sumber media yang independent, munculnya sikap apatis terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar besar.
Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumbersumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi. (Boyd Barrett, 1999: 186). Boyd Barrett secara lebih gamblang mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. (Boyd Barrett, 1999: 186) Dari pendapat Mosco di atas dapatlah dipahami pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang penguasa lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ‘ekonomi politik’ merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan. Untuk memahami bagaimana penerapan pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media massa , ada tiga  konsep awal yang harus dipahami, yaitu:
  • Commodification- segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang dagangan).
  • Spatialization- proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial.
  • Structuration- penyeragaman ideologi secara terstruktur.
Commodification (komodifikasi) adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Tiga hal yang saling terkait adalah: Isi media, jumlah audience dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiencee atau oplah. Jumlah audience atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha. Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996).
Spatialization adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Berkaitan dengan media massa, maka kegiatan yang berada di kota kecil dapat disiarkan langsung oleh televisi nasional yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Dengan kekuatan modal besar untuk berinvestasi pada tehnologi komunikasi, pengusaha media Jakarta akan melibas pengusaha media kota-kota lain yang kemungkinan memiliki modal lebih kecil. Dengan demikian, semua kegiatan yang ada dalam sebuah negara, akan diliput oleh  jurnalis yang sama. Padahal, sebuah kegiatan di daerah misalnya, bila diliput oleh jurnalis televisi daerah akan menghasilkan siaran yang berbeda karena kemungkinan memiliki ‘angle’ yang berbeda. ‘Angle’ berbeda karena ideologi dan filosofi wartawannya berbeda. Liputan-liputan langsung oleh media jakarta menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi. Dalam kasus ini adalah idelogi yang dianut pengusaha media Jakarta.
Structuration (Strukturasi) yaitu penyeragaman ideologi secara terstruktur juga terjadi karena seperti  wartawan Redaksi Metro TV merangkap jabatan sebagai redaksi Media Indonesia. Kompas juga memimpin usaha-usaha penerbitan anak usaha Kompas. Koran-koran daerah juga dikuasai oleh kelompok pengusaha media di Jakarta. Dalam struktur kepemilikan yang demikian, pemimpin redaksi koran-koran daerah biasanya adalah didikan dari Jakarta. Jadi media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. bahwa: “Isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang membiayai mereka”. (McQuails, 2000: 193). Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15-32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik media bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis. Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods). Sifat holistik dalam perspektif ini merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara. 
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.
Dalam konstalasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.
Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis memberikan penekanan pada relasi sosial dan kekuasaan. Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa.
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”
Usaha untuk mengetahui dan mengeksporasi prilaku media beserta profesionalitas jurnalis, akan lebih bijak jika kita kenali dahulu sistem dan perspektif ekonomi politik yang berkembang dan menjadi atmosfer suatu media. Sistem politik selalu berhubungan dengan organisasi dan manajemen kekuasaan serta control yang ada pada suatu kelompok sosial atau masyarakat terhadap berbagai aspek kehidupannya, khususnya aspek relasi sosial. Di lain pihak, sistem ekonomi berhubungan dengan pengaturan serta penataan produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya ekonomi dan sosial manusia agar kehidupan berlangsung lebih manusiawi.  Setidaknya kerangka pokok di atas juga menjadi titik tolak refleksi ekonomi politik media yang akan menjadi bahan diskusi paper ini selanjutnya. Studi perspektif ekonomi politik yang berdasarkan pemahaman relasi-relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang secara bersama-sama membentuk atau mempengaruhi produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya, tetap menajdi bagian integral.
Tetapi aspek kontrol dan survive dalam sistem sosial juga menjadi aspek penajaman definisi yang perlu ditambahkan. Selain untuk menajamkan refleksi, beberapa aspek itu dipakai untuk memperluas cara pandang kita mengenai dimensi politik dan ekonomi dalam sebuah media berikut organiasai yang dibentuk serta profesionalitas yang mempengaruhi para awak dapur sebuah media terutama jurnalis. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ruang lingkup yang perlu disepakati bersama. Ruang lingkup tersebut, yakni pertama, aspek politik yang berkisar tentang control dan pengaruh timbalbalik antara sistem ideologi, organisasi media dan profesi yang ada. Kedua, aspek ekonomi terkait dengan usaha atau aktivitas yang dilakukan untuk dapat bertahan dan berkembang secara ekonomis, yang dilakukan oleh pelaku media yang ada.
Oleh karena itu, dalam tulisan in kita memperhatikan lingkup kontrol langsung atau tak langsung sebuah media yang mempengaruhi sistem organisasi media yang pada akhirnya masuk dalam ide sistem nilai para awak media. Secara umum, kita berbicara tentang cara, sistem, tujuan produksi, distribusi berikut konsumsi media. Maka, dalam kerangka ruang lingkup semacam itulah setidaknya kita mempunyai tiga perspektif dalam pendekatan sosial-ekonomi media. Perspektif-perspektif tersebut pada mulanya ingin menjejaki sejauh mana sistem kerja media dalam dimensi sosialnya. Akan tetapi bisa saja perspektif ini dipakai sebagai titik pandang perspektif ekonomi politik media secara umum.
Pertama, visi perspektif yang lebih menitikberatkan pada ekonomi politik murni, dimana sistem dan proses media selalu berhubungan dengan hasil media yang dikaitkan pada struktur ekonomi organisasi media.  Kedua, visi perspektif yang lebih menitikberatkan pada sistem sosial yang mempengaruhi sisitem media tertentu. Secara jelas dikatakan bahwa media merupakan organisasi terstruktur secara sosial sehingga hasil-hasilnya bisa berwujud representasi relasi sosial atau bisa saja berisi rekonstruksi social.  Ketiga, visi perspektif yang lebih akan menunjukkan bahwa sistem merupakan tata nilai media terkait pada proses tarik menarik kekuatan serta sistem simbol budaya yang terkandung di dalamnya atau secara implisit ada dalam organisasi  media, yakni: kode etik atau sistem nilai profesionalisme setiap awak media.
Secara umum, perspektif ekonomi politik media melihat bahwa terjadi konspirasi besar antara struktur modal dengan para pelaku media, sistem organisasi, dan etikanya. Konspirasi besar dalam pemaknaan bahwa telah terjadi konspirasi kepentingan saling menguntungkan antara sistem nilai kapitalisme-struktur capital dengan organisasi media yang ada. Keuntungan yang diambil dari persekongkolan adalah keuntungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Keuntungan sosial berwujud pada adanya previligi-previligi sosial yang didapatkan dalam sistem sosial oleh para pelaku modal, dan media. Keuntungan ekonomi tak lepas dari logika kapitalisme yang melebarkan dasar akselerasi dan akumulasi modal.  Keuntungan politik lebih dinyatakan dalam posisi control dan kekuasaan yang lebih besar. Dan keuntungan budaya lebih digambarkan pada kemampuan mendominasi dan melanggengkan hegemoni yang sudah ada.

4. Media Massa dalam Perspektif Teori Kritis
Teori kritis yang dimaksud adalah teori yang diajarkan mazhab Frankfurt (aliran Marxis ketiga). Para ahli teori kritik menganut pendekatan yang disebut budaya. Mereka yang prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial, beralih mengandalkan kemapuan superstruktur yang terutama berujud dalam media massa guna menggantikan proses perubahan sejarah ekonomi. Dalam pandangan teori ini, budaya massa yang komersil dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa dan ide yang diproduksi misalnya membuka kemungkinan diterimanya sebagian atau seluruh sistem kapitalisme. Mereka yang berpandangan ini dapat dikatakan melakukan upaya mengkombinasikan pandangan serba media dengan dominasi satu kelas social.
Media dalam konteks Teori Kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu. Pendapat Golding dan Murdock (Currant & Guravitch ed., 1991:188) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan. Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif dengan tatanan wacana. Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi.
Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi.
Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46). Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186). Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

5. Organisasi Media dan Jurnalis
Kapitalisme dapat dilihat sebagai sistem nilai atau sebagai sistem sosial-ekonomi yang dimiliki oelh kelompok sosial yang menganutnya. Keduanya memiliki logika dan mekanisme yang cukup unik. Sebagai sistem nilai, kapitalisme bekerja pada tataran nilai individu atau kelompok dan dinamika yang ada di dalamnya. Tataran tata nilai kapitalisme dapat dikatakan  sebagai tataran nilai instrumentalis, yakni terdapatnya nilai mengabdi, menjalankan, demi sebuah tataran nilai yang lebih besar, berupa nilai tukar (exchange value) dibandingkan nilai pakai (use value).  Sedangkan, keunikan sistem kapitalisme sebagai sistem sosial ekonomi lebih berproses pada penekanan hukum penawaran dan permintaan pasar. Kapitalisme mengembangkan ekonomi yang bebas. Bebas dari pembatasan politik, sistem produksi, sistem tenaga kerja. Logika puncak kapitalisme adalah keuntungan yang lebih besar untuk pengembangan selanjutnya, dan seterusnya. Prinsip dasar kapitalisme melekat dan menjadi watak dasar perkembangan kapitalisme sampai sekarang.
Rangkaian sistem nilai dan praktis kapitalisme mempunyai kecenderungan untuk menjadi sistem ideologi yang diyakini oleh masyarakat modern, setidaknya sistem politik masyarakat liberal. Pada suatu saat kapitalisme sebagai ideologi besar dapat menjadi payung besar bagi organisasi-organisasi sosial yang ada dalam sisitem sosial masyarakat. Salah satu organisasi sosial masyarakat yang bisa terkait secara langsung maupun tidak langsung, baik sengaja atau tidak, dengan sistem kapitalisme adalah organisasi media. Ini penting, mengingat selain media menjadi salah satu unsur utama dalam masyarakat, kini, media menjadi salah satu unsur pokok bagi sistem kapitalisme modern.
Organsisasi dan terminologi kapitalisme biasanya disebut sebagai entitas ekonomi, baik secara formal maupun sosial yang menghubungkan antara variabel-variabel atau sub sistem-sub sistem dalam hubungan yang bersifat struktural. Dengan demikian, organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media/jurnalis, pemilik modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan . Organsisasi media memiliki tujuan yang jelas, berupa struktur mapan, tersusun dari bagian-bagian yang saling interdependen, dan  menyangkut peran dan posisi yang sudah di standarrisasikan.
Kompleksitas organisasi media dapat dilihat dari hubungan antara pemilik modal, para awak, dan agenda media yang bisa saja  berisi tentang idealisme media yang bersangkutan, serta kandungan berita/pilihan acara yang ditawarkan media yang bersangkutan. Akan tetapi hal itu tetap menjadi bagian dari sebuah sistem yang lebih besar dalam organisasi media ketika menampakan dinamikanya, baik dinamika internal juga eksternal. Dalam konteks organisasi media, unsur pentingnya adalah awak media. Ketika mempersoalkan tentang siapa para awak media, maka kita juga harus mempertanyakan tentang bagaimana mereka melakukan peran dan profesinya tersebut. Tentunya dari sudut siapa awak media, maka bisa secara jelas disebut para jurnalis, wartawan atau reporter atau varian sejenis lainnya. Apabila kita telah menemukan jawaban tersebut maka pertanyaan kritisnya adalah dalam sebuah sistem kapitalisme, sejauh mana legitimasi tindakan mereka yang mencerminkan mereka adalah awak media dalam organisasinya. Jawabannya adalah profesionalisme yang merupakan kriteria utama. Karena sesungguhnya para jurnalis tak hanya terikat pada kepentingan ekonomi saja tapi juga terikat pada profesinya. Ketika berbicara profesionalitas jurnalis adalah sistem nilai yang berkembang dan dikembangkan para jurnalis sebagai personal atau jurnalis dalam konteks yang lebih luas. Bingkai nilai profesionalitas sendiri baru bisa dinilai ketika bingkai tersebut diturunkan dalam tatanan praksis profesi jurnalis sendiri.
Jika kita ingin menggambarkan secara sederhana tentang hal ini maka ada sebuah lingkaran kecil pada tataran personal atau kelompok terbatas yang berisi profesioalitas jurnalis. Lingkaran kedua yang yang relatif lebih besar adalah lingkar organisasi media. Terakhir lingkar yang memayungi proses ekonomi politik organisasi media, agenda media, dan profesi jurnalis yakni lingkar kultur atau nilai atau sistem ideologi.  Sistem kapitalisme bisa menjadi sistem ideologi atau menjadi sistem nilai yang sangat signifikan mempengaruhi jurnalis dan organisasi media. Sistem kapitalisme adalah sistem nilai ketika semangat kapitalisme menjadi nilai yang masih terbuka dan bebas dianut oleh siapa saja. Pada dasarnya sistem ideologi sebagai sistem nilai sangat mungkin mempengaruhi sistem nilai dalam profesi jurnalis atau organisasi media. Bila kita melihat dari sisi bahwa ideologi ada sistem pemaknaan, nilai, keyakinan yang terartikulasi dan formal secara relatif dan dengan demikian bisa mempengaruhi point of view atau world view, maka bisa saja keniscayaan  itu mendapatkan validitasnya, termasuk sistem kapitalisme. Dengan kata lain, sistem ideologi mempunyai kecenderungan untuk merembes ke pola sikap dan sisitem dari subsistem – subsistem di bawahnya.
Ketika kita berbicara ideologi kapitalisme, maka sistem kapitalisme menjadi ideologi dominan dan hegemonik di antara profesi dan organisasi media. Faktor-faktor ideologis yang bisa memuluskan nilai bisa dirinci dalam hal adanya proses relasi kekuasaan yang dimiliki oleh profesi atau organisasi media yang ada. Faktor lain adalah usaha sistematis dan terstruktur untuk mendukung sistem kapitalisme. Pendukung aktivitas ideologi dalam proses kapitalisasi profesi media dan organisasi dapat berbentuk dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal tersebut dapat menjadi faktor inhern dalam kapitalisme atau faktor rekayasa sosial yang dibentuk untuk semakin memdeskripsikan sistem kapitalisme.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana organisasi media eksis dan mempunyai keberartian dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi media? Dalam konteks, kita perlu jelas dahulu memposisikan organisasi media dalam perpektif ekonomi politik media. Pada dasarnya organisasi media adalah struktur. Jalinan saling mempengaruhi antara jurnalis, pemilik modal, kebijakan dan penentuan agenda. Media bisa dimasukkan dalam potret organisasi yang jelas, organisasi media merupakan sesuatu yang kompleks. Dalam perpektif ekonomi politik media, kompleksitas organisasi media merefleksikan juga kompleksitas masyarakat dan berbagai dimensi, peran dan status sosial, fungsi dan diferensiasi indvidu pekerjaan yang ada, mekanisme dan tujuan organisasi media. Tentu saja diskusi tentang organisasi media tak hanya ditetapkan dalam bentuk atau variannya, akan tetapi lebih baik dari itu menyangkut tujuan organisasi media dalam sistem budya sosial yang melingkupinya.
Seperti diketahui bahwa media memang bukan sekedar alat untuk menyampaikan informasi, tetapi sekaligus membentuk suatu kesadaran massa. Sosiolog ternama seperti C. Wright Mills mengajukan pandangan yang pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956), Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument yang memfasilitasi—apa yang ia sebut sebagai—“kebutahurufan psikologis”. Mills juga memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang menyajikan realitas ksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi”.  Berkaitan dengan itu, telah jelas bahwa media seperti TV juga hanya menjadikan masyarakat sebagai pemuja para elit, terutama selebritis, dan bukan memiliki sebuah pemikiran kritis dan tindakan partisipatif agar posisi elit terkontrol sehingga benar-benar mematuhi amanat demokrasi untuk membantu rakyat lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan. Masalahnya industrialisasi media kapitalis menciptakan—apa yang disebut Alex Comfort sebagai—“masyarakat penonton” yang “berjejal-jejal tetapi kesepian, dipandang dari segi teknik sama sekali tidak merasa aman, dikndalikan oleh suatu mekanisme tata tertib yang rumit tetapi tidak bertanggungjawab terhadap individu. aforisme Marshall McLuhan masih benar. Medium membawa pesan (Understanding Media: The Extensions of Man, 1964). Lebih dari message, medium juga massage. Bentuk komunikasi itu menentukan isi komunikasi. Televisi bukan produk teknologi bebas nilai.
Organisasi media dalam sistem kapitalisme cenderung berorientasi ekonomis. Meski tak menutup kemungkinan adanya orientasi politiknya. Dalam konteks ini, organisasi media merupakan strategi jangka panjang dari sistem kapitalisme yang dianut. Kalau kita berbicara tentang organisasi media sebagai ”grand strategy” maka permaslahannya tak sekedar soal pemenuhan kebutuhan pasar kerja yang diangkat, akan tetapi bagaimana organisasi media mampu memberikan persepsi kepada pasar dan merekonstruksi imajinasi dalam pasar tersebut. Jika demikian, profesi bisa saja hanya bagian dari taktik yang dikembangkan oleh organisasi media.
Kita harus tetap melihat bahwa organisasi media juga mampu merekonstruksi idealisme yang tak begitu saja ekuivalen dengan sistem kapitalisme yang dianut sebagian besar masyarakat atau sistem nilai personal yang hidup dalam sistem sosial tersebut. Masalahnya jika organisasi media dan perangkatnya merekonstruksi idealisme mereka sendiri, setidaknya harus ada ketahanan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang menopangnya. Dari masalah di atas, kita dapat menarik masalah baru apakah organisasi media benar-benar menjadi sarana atau tujuan? Organisasi media menjadi sarana, ketika organisasi media digunakan untuk semakin melegitimasikan atau mendelegitimasikan objektivitas sistem yang diberlakukan. Sementara itu organisasi media akan menjadi tujuan ketika organisasi memegang hegemoni-konsensus yang akhirnya menuju pada orientasi yang sudah ditetapkan oleh organisasi media.
Jurnalis, dalam konteks organisasi dan lingkup sistem sosial yang luas, mempunyai tatanan struktur nilai yang dapat mempengaruhi awak media, atau sedikit banyak dapat memberi warna paad media. Teori yang melandasi pernyataan ini adalah teori Laswell tentang siklus komunikasi who says what to whom......  Dalam tataran personal, jurnalis sangat banyak dipengaruhi olah latar belakang dari karakteristik sistem nilai yang dimiliki oleh setiap jurnalis. Pada waktunya tataran sistem nilai profesi personal mempengaruhi organisasi media dan mungkin konteks yang lebih luas. Sistem nilai profesi yang diyakini oleh setiap jurnalis tak dapat dipisahkan oleh sistem nilai kemanusiaan yang dianut setiap orang. Disamping itu, bisa saja sistem organisasi dapat mempengaruhi sistem keyakinan/beliefness yang dimiliki oleh setiap awak jurnalis. Hubungan yang saling mengandaikan ini dalam sistem kaptalisme modern bisa menjadi sebuah keniscayaan. Pada akhirnya sistem keyakinan personal yang dibentuk menjadi sistem profesi jurnalis atau mempengaruhi corak hubungan antara para jurnalis, profesionalitas jurnalis, dan sistem organisasi yang lebih luas. Corak yang lebih kompleks dalam perspekif ekonomi politik media yang dipengaruhi oleh profesionalisme jurnalis menimbulkan diskursus yang lebih besar. Permasalahan sosial pada profesi jurnalis lebih melihat secara lebih luas terhadap posisi  dan komitmen jurnalis dalam organisasi tertentu atau sistem ideologi tertentu pula.
Di satu pihak jurnalis mengandalkan tingkat otonomi dan independensi dari para jurnalis dalam media. Di lain pihak profesi jurnalis bukan hal yang bebas nilai. Ada sistem yang membuat bahwa jurnalis sangat tergantung pada sisitem organisasi yang lebih besar. Interaksi antara ketegangan personal dalam bingkai keyakinan, prinsip pribadi, kepercayaaan religius yang sangat mewarni profesionalitas jurnalis dengan tarik menarik sistem nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat atau pasar yang lebih luas tetap akan ada. Pilihan dan keputusan pengambilan sikap terhadap nilai profesionalisme tak bisa dikatakan sebagai masalah pilihan sederhana. Tentu saja, interaksi profesi jurnalis sebagai sesuatu yang personal tapi sekaligus sosial akan banyak ditandai dengan pergulatan makna politik dan ekonomi bagi para jurnalis. Profesi jurnalis pada suatu saat bisa berarti, refleksi konkret menyangkut kontrol produksi, distribusi dan konsumsi. Ini berati profesi jurnalis bisa sangat politis. Profesi pada suatu saat bisa berati usaha berkelanjutan untuk bisa mempertahankan diri dan eksis dalam sumberdaya yang dicari.
Sistem kapitalisme melihat sisi profesionalisme sebagai insrumen sustainabilitas kerangka sosial yang berorientasi pada dinamika kapital. Profesi sering dilihat sebagai alat efektif komitmen ekonomi, sosial dan efektifitas kerja. Tetapi apakah memang demikian halnya dalam dunia media? Jurnalis mengandalkan otonomi, kreatifitas, inovasi, tanggung jawab, dan daya tahan banting. Tapi di lain pihak profesi jurnalis sangat ditentukan oleh warna ideologi yang dipahami oleh masyarakat dimana jurnalis hidup.
Barang tentu, kelompok konstruktivis, yang menekankan adanya interplay antara struktur dan agensi (seperti Mosco, Golding, dan Murdock yang dipengaruhi teori strukturasinya Giddens), tidak sepenuhnya menerima proposisi the primacy of structure over agency seperti dikemukakan perspektif strukturalis. Sebab, para jurnalis sebagai human agents mampu memberikan reaksi terhadap struktur politik-ekonomi industri media. Selalu ada pekerja industri media yang menilai peperangan dan tindakan saling membunuh sesama manusia sebagai tindakan barbar, dan karenanya melakukan tindakan jurnalistik sesuai dengan keyakinannya itu. Akan tetapi, toh dalam konteks situasional tertentu, seperti ketika media berlomba menjadikan krisis sebagai komoditas, maka struktur yang ada menjadi amat berperan dalam membatasi ruang gerak dan pilihan-pilihan yang dimiliki para pekerja industri media.
Pemahaman ini sekaligus menempatkan economic determinism dalam pengertian yang lebih luwes: faktor-faktor struktural ekonomi tidak sepenuhnya menentukan, tetapi membatasi lingkup gerak dan pilihan yang tersedia bagi human agencies. Sebab, bagaimanapun juga media dalam sebuah sistem kapitalis, pertama-tama adalah institusi kapitalis, bukan instrumen politik luar negeri. Analisis studi budaya (cultural studies) ataupun teori-teori postmodernisme cenderung terjebak dalam penyimpulan bahwa realitas simbolik (teks isi media atau artifak kultural lainnya) secara langsung juga memperlihatkan efek yang akan ditimbulkannya terhadap realitas subjektif (persepsi dan sikap khalayak yang mendasari tindakan mereka). Dengan kata lain, hegemoni suatu ideologi dalam isi media bisa secara langsung memperlihatkan adanya hegemoni ideologi tersebut dalam kesadaran individu. Namun, studi-studi empirik memperlihatkan kurang adanya hubungan linear satu arah antara realitas simbolik dan realitas subjektif. Hegemoni selalu melibatkan proses kontra hegemoni. Khalayak sebagai human agents selalu mampu bereaksi dan mempertanyakan realitas simbolik yang diketengahkan media; mereka pun mampu menyusun struktur wacana atau frames tandingan untuk melakukan oppositional readings atau memberi makna tandingan terhadap makna realitas simbolik yang mereka konsumsi melalui media.


Penutup
Hubungan media massa, kelompok dominan, dan masyarakat menyiratkan hubungan yang hegemonik. Hegemoni berupaya untuk menumbuhkan kepatuhan dengan menggunakan kepemimpinan politis dan ideologis. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dan konsensus. Dengan demikian media massa dapat ditafsirkan,  pertama: sebagai medium tempat dimana wacana dari kepemimpinan politik dan ideologis disebarkan, kedua: sebagai arena tempat dimana keragaman praktek wacana dilakukan, dengan tujuan akhir adalah membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini digunakan kelas yang lemah untuk menafsirkan pengalamannya yang sebelumnya telah diintrodusir oleh pihak yang berkuasa atau kelompok dominan. Karena itu bisa dipahami apabila masyarakat sebagai komunitas politik sangat tergantung pada apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh elit politik dominan. Kapitalisme sebagai sebuah nilai dalam relasinya dengan organisasi media dan jurnalis secara teoritik dapat dilihat dalam dua sudut pandang utama. Pertama, bisa saja ia mempengaruhi dalam konteks arus produksi, distribusi dan konsumsinya ketika ketahanan sosial, politik, moral dari organisasi media dan profesi jurnalis mengalami reduksi sedemikian rupa, sehingga nilai-nilai atau orientasi independen yang dimilikinya menjadi niscaya. Kedua, bisa saja tidak manakala ketahanan internal dan eksternalnya secara minimal mampu untuk untuk membendung arus nilai kapitalisme yang menyentuhnya.
Secara empirik oleh karena terlalu kuatnya sistem nilai kapitalisme, maka organisasi media dan jurnalis hanya menjadi robot yang berwujud pada prinsip taktik strategi semata dari perilaku-perilaku kapitalisme. Keberadaan organisasi media sebagai organisasi yang otonom, independen, lepas dari intervensi dan hegemoni sistem kapitalisme sulit untuk diwujudkan. Begitu juga halnya dengan jurnalis, juga banyak terkooptasi secara relatif terhadap mainstream kapitalisme. Memang bisa saja, seorang jurnalis mengungkapkan fakta-fakta keterbelakangan, kemiskinan, yang terlihat seolah-olah telah berfihak pada kepentingan rakyat kecil, tetapi itu hanya permukaannya saja, tetapi tak menyentuh secara mendasar dari prilaku ideologis jurnalis yang memang ingin memerdekakan rakyat kecil dari belenggu kapitalisme. Profesionalisme sebagai sebuah ketahanan intenal tidak banyak menjamin intervensi sistem nilai yang lebih besar di atasnya, yakni sistem kapitalisme. Bisa saja kita semua hari ini adalah ”korban-korban” dari sitem nilai kapitalisme itu sendiri. Yang utama, bagaimana memposisikan dan menempatkan isi berita yang dimuat di media massa tidak menjadi satu pendapat saja, tapi lebih dari pada itu memposisikannya sebagai public sphere untuk berdialog, memaknainya, dan merekonstruksi secara menyeluruh dan mendalam serta menghidupkannya dalam atmosfer dialektika tekstual. Jika tidak, kita semua hanya akan menjadi objek dari arus besar agenda setting media massa dari sistem ideologi kapitalisme yang semakin hari semakin membuat kita gerah karenanya. Saat ini bukan hanya komunisme lagi yang menjadi boogeyman/hantu momok menakutkan, akan tetapi hantu kapitalismelah yang perlu diwaspadai.
Ekonomi politik adalah studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. Dalam pendekatan ekonomi politik, media massa di Indonesia dikontrol oleh pengusaha pemilik media. Konsekuensi dari kondisi ini adalah bahwa ideologi komoditas merupakan ideologi yang bekerja dalam menghasilkan media. Di Indonesia, seluruh kekuasaan negara yaitu: eksekutif, legislatif, yudikatif dan media massa sebagai “the fourth estate” dikuasai oleh pengusaha/ pemilik kapital/ kapitalis. Medium komunikasi memiliki andil besar dalam menciptakan kondisi sosial masyarakat. Teknologi Informasi dan globalisasi telah ‘memaksa’ masyarakat Indonesia melompat dari periode lisan ke periode elektronik dan melewati periode ‘tulisan”. Periode tulisan yang melahirkan budaya membaca dan merangkum pengetahuan ‘terlewatkan’ dari masyarakat kita.
Ideologi yang diajarkan di Perguruan Tinggi berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat. Pembatasan pemikiranpemikiran kritis sosial yang dilakukan rezim orde baru menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak kritis. Studi-studi “administratif” ilmu sosial menghasilkan sarjana-sarjana ‘tukang’ yang bekerja untuk melegitimasi kekuasaan. Setelah Rezim Orde Baru berakhir, studi-studi administratif masih mendominasi mayoritas perguruan tinggi di Indonesia. Studi ilmu-ilmu sosial, termasuk studi ilmu komunikasi, di Indonesia tidak/belum menghasilkan pemikiran kritis tentang kondisi sosial, khususnya tentang kondisi media massa. Kekuasaan negara yang saat ini ada di satu tangan, yaitu pengusaha harus dibagi, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers. Orang-orang yang memiliki komitmen terhadap falsafah moral, sehingga dapat melindungi masyarakat, termasuk melindungi dari terpaan media yang merusak harus didukung. Mahasiswa dan sarjana harus sadar bahwa melalui pendidikan Rezim Orde Baru telah membentuk pola pikir yang pasif. Mahasiswa dan sarjana harus aktif mencari alternatif pemikiran untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Paradigma ilmu-ilmu sosial di Indonesia harus diubah sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang kritis. Dari pemikiran kritis ini diharapkan muncul kekuatan besar. Kurikulum pendidikan di Indonesia harus diperbaiki sehingga kondisi masyarakat akan membaik.

Bahan Bacaan, antara lain:
  1. Ashadi Siregar, Pengantar, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2003).
  2. Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Penyiaran di Indonesia, Yogyakarta : LKiS,2003
  3. C. Wright Mills, The Power Elite” (1956)...............
  4. Berger, Peter L. 1990. Revolusi Kapitalis, Mohammad Oemar (terj.), Jakarta: LP3ES.
  5. Boyd-Barret. 1995. “The Analysis of Media Occupations and Profesionals” in Boyd Barret, Oliver, and Chris Newbold, Eds. Approaches to Media: A reader. New York.
  6. Darsono, P. Dr. 2006. Karl Marx: Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Jakarta: Diadit Media.
  7. Gidden, Anthony.1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Soeheba Kramadibrata (terj.), Jakarta: UI-Press.
  8. Garnham, N. 1986. Contribution to a Political Economy of Mass Communication, Media, Culture and Society, London: Vintage.
  9. Hall, S. 1975. The Rediscovery of Ideology: Return of Repressed in Media Studies, dalam M. Gurevitch et.al., Culture, Society and Media, London: Metheun.
  10. Heilbroner, Robert L.1991. Hakikat dan Logika Kapitalisme.
  11. Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication, London: Sage Publication Ltd
  12. Mansur Fakih: 2002
  13. Schudson, Michael. 1991.The Socioloy of News Production Revisited, in Mass Media and Society by James Curran and Gurevitch,
  14. Shoemaker, Pamela J. 1991. Mediating the Message: Theorics of Influences on Mass Media Content
  15. Smythe, Dallas, 1977. Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, No.3
  16. Straubhar, Joseph., La Rose, Robert. 2002. Media now, Communication in The Information Age. 3rd eds. Wadsworth Group: Thomson Learning.
  17. Suseno, Franz-Magnis, 1999. Pemikiran Karl Marx : dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  18. Sunardian, Wirodoni, Matikan TV-MU, Resist Book, 2005
  19. William, R.  1973. Base and Superstructure, New Left Review.

Tulisan Pernah Dimuat di Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikDinamika’ Universitas Baturaja, Volume 2 No. 3, Juni 2009.
(c) Kamaruddin Hasan