Kamis, 25 Februari 2016

KOMUNIKASI ADALAH MENDENGARKAN (Mengukur kemampuan Mendengar Capres-Cawapres 2014)

http://www.siperubahan.com/read/1004/KOMUNIKASI-ADALAH-MENDENGARKAN--Mengukur-kemampuan-Mendengar-Capres-Cawapres-2014

KAMARUDDIN HASAN KUYA

Dalam setiap proses pesta demokrasi pemilu dinegara manapun, terbukti komunikasi menempatkan posisi paling penting. Komunikasi memang sudah menjadi kebutuhan manusia, termasuk dalam proses politik. Para ahli menyepakati bahwa  75% dari seluruh waktu hidup manusia digunakan untuk berkomunikasi. Sehingga wajar perang komunikasi dalam proses politik dengan sifat, bentuk, jenis dan tujuan apapun menjadi realitas kontemporer diseluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.  

Proses politik pilpres 2014 saat ini, perang komunikasi menempatkan posisi teratas. Komunikasi langsung maupun komunikasi bermedia. Komunikasi langsung dapat disaksikan dalam setiap jenis dan bentuk kampanye, yang kemudian diceritakan kembali oleh media massa. Apakah kemudian realitas komunikasi politik melalui kampanye secara langsung tersebut yang diangkat oleh media dianggap realitas rill atau semu/hiperrealitas itu menjadi masalah lain. Tapi yang prinsip dipahami bahwa komunikasi menjadi kebutuhan dasar dalam setipa proses politik.

Capres-cawapres, tim pemenangan, relawan, simpasan (politisi-red) dan lain-lain termasuk kita, sepertinya baru memahami komunikasi dari satu sisi saja, sebatas isi pesan, retorika, orasi, agitasi, propaganda, semiotika, wacana, frame, media yang digunakan. Padahal komunikasi sebagai ilmu multidisipliner memiliki banyak sisi yang mesti dikuasa untuk mencapai tujuan dari komunikasi yang diharapkan termasuk tujuan politik. Dalam proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini, masing-masing kandidat atau politisi mengharapkan terjadinya efek konatif pada rakyat yaitu perubahan sikap, perilaku untuk menggerakkan rakyat sehingga berpihak dan memilihnya.

Sisi lain yang sering terlupakan padahal sangat penting dalam tujuan konatif komunikasi adalah mendengarkan secara aktif dan efektif. Karena memang pada hakikatnya komunikasi adalah mendengarkan. Mengapa begitu penting mendengarkan dalam proses politik jelang pilpres 2014?

Penelitian menunjukkan bahwa setiap manusia menghabiskan waktunya untuk bekerja dengan mendengarkan sekitar 50%. Nilai ini sama besarnya dengan nilai gabungan waktu yang dihabiskan untuk membaca, menonton, menulis dan berbicara.

Sisi lain, rakyat sangat perlu didengarkan secara aktif, efektif, secara baik, benar, serius, ihklas atau dengan segenap kemampuan mata hati. Mendengarkan, karena rakyat Indonesia memiliki berbagai banyak unsur unsur kebudayaan, berbagai macam bahasa, suku bangsa, agama atau kepercayaan, adat istiadat, norma-norma, kesenian serta berbagai jenis mata pencaharian, karena rakyat dengan multikultural.

Mendengarkan, karena negara yang sangat luas dan kaya. Tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Lihat saja dari segi geografis, negara ini memiliki wilayah laut terluas mencapai 5,8 juta km2 dan jumlah pulau terbanyak 17.508. Panjang kepulauan dari ujung ke ujungnya sama dengan jarak Dublin, Irlandia hingga Moskow- Rusia. Panjang pantainya mencakup 81.000 km dan merupakan panjang pantai kedua di dunia setelah Canada, merupakan pantai tropis terpanjang di dunia.

Mendengarkan, karena rakyat sangat banyak, mencapai 230 juta jiwa lebih, walau banyak keberlimpahan yang ada, namun negara masih memenuhi kebutuhan rakyat dengan makanan atau barang-barang impor, dengan menjadi sasaran berbagai produk asing.

Mendengarkan, kerena 28, 55 juta rakyatnya miskin dan cenderung terus meningkat. Sesuai laporan terbaru BPS tahun 2014, jumlah penduduk miskin pada September 2013 bertambah 0,48 juta orang dibandingkan posisi Maret sebanyak 28,07 juta.  Garis Kemiskinan sepanjang periode Maret-September 2013 mengalami kenaikan sebesar 7,85%.

Mendengarkan, karena rakyat sangat banyak yang belum mendapat akses ekonomi yang memadai, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan. Masih banyak yang terpinggirkan, masih banyak yang lapar dan busung lapar, dan sebagainya terlalu panjang kalau diurutkan.

Memang bagi politisi memposisikan diri sebagai pendengar aktif dan efektif bukanlah usaha yang mudah. Mesti dapat bersikap obyektif dan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh rakyat. Mendengarkan dengan efektif membutuhkan konsentrasi, pengalaman, dan keterampilan. Mendengarkan melibatkan pemrosesan suara di dalam setiap otak manusia, dengan cara dapat mengenal dan mengetahui maksud yang terucapkan lewat nada, raut wajah, gerak dan lain-lain. Memusatkan perhatian penuh terhadap pesan, keluhan yang disampaikan oleh rakyat.

Mendengarkan adalah proses mengalahkan kecenderungan dan persepsi diri sendiri, dan melepaskan sumbat yang memisahkan diri dari realitas rakyat. Mendengarkan bahkan sebagai langkah awal politisi menundukkan ke-ego-an dan mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Memang mendengar hampir sulit bisa dilakukan oleh kebanyakan orang tidak hanya para politisi yang sedang bertarung dalam pilpres. Diakui dengan mendengarlah pesan dari rakyat dapat diserap dengar baik,  ilmu bisa diserap, masalah bisa dipecahkan, gagasan bisa diwujudkan bahkan rakyat bisa menjatuh pilihan dalam pilpres 2014.

Sebagai contoh, para pemimpin duniapun rata-rata memiliki kemampuan mendengar yang baik, selain kemampuan berbicara. Misalnya Benjamin Franklin pernah mengungkapkan, “mengingat bahwa dalam pembicaraan pengetahuan lebih banyak diperoleh melalui telinga daripada melalui mulut. Saya memberikan tempat kedua kepada sikap diam diantara keutamaan yang hendak saya kembangkan”. Bahkan hasil penelitian Rankin (1929) dan Bierker  (1980)  menunjukan bahwa mendengar merupakan sarana komunikasi yang paling banyak digunakan.  

Sebagai introspeksi, ketika berbicara, biasanya politisi mendengarkan dengan berbagai cara; ada yang mengabaikan rakyat dan benar-benar tidak mendengarkannya. Ada yang berpura-pura tidak mendengarkannya, ada yang mendengarkan tapi lebih selektif pada bagian-bagian tertentu dari pembicaraan. Ada juga mendengarkan secara attentive, menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkannya. Ada juga  mendengarkan secara empatik, mendengarkan untuk mengerti untuk menjawab persoalan yang ada, dalam arti mendengar bukan hanya dengan telinga saja tetapi dengan mata dan hati. Dan yang terakhir ini yang dianjurkan.

Menurut James K. Van Fleet 1996, dalam bukunya: “Key to Success with people” mengungkapkan seni mendengar yang efektif ketika mampu memberikan sepenuh hati pada orang lain, mendengarkan secara serius, menunjukkan minat pada perkataan orang, mengusahakan bebas dari gangguan, menunjukkan kesabaran, membuka pikiran, mendengar setiap gagasan,  menghargai isinya bukan cara penyampaiannya dan belajar mendengarkan apa yang tersirat.

Bagi David J Swartz dalam bukunya “The Magic of Thinking Big” 1996,  membagi seni mendengar dalam tiga tahapan; mendorong orang lain berbicara, menguji pandangan dalam bentuk pertanyaan dan mampu berkonsentrasi pada apa yang dikatakan orang lain. Dalam mendengar praktiknya membutuhkan adanya jiwa besar. Mendengar dan bertanya bukan menunjukan kebodohan rakyat tetapi menunjukan kualitas hidupnya, apalagi bagi seorang pemimpin. Jika mau mulai mendengarkan  rakyat, maka suatu saat akan menyadari kesalahan yang selama ini terjadi.

Mendengar tidak selalu dengan tutup mulut, tapi juga melibatkan partisipasi aktif. Mendengar yang baik bukan berharap datangnya giliran berbicara. Mendengar adalah komitmen untuk memahami pembicaraan dan perasaan rakyat. Ini juga sebagai bentuk penghargaan bahwa apa yang rakyat bicarakan adalah bermanfaat bagi politisi.

Pada saat yang sama politisi juga bisa mengambil manfaat yang maksimal dari pembicaraan tersebut. Seni mendengar dapat membangun sebuah relationship dengan rakyat. Jika politisi mampu mendengar dengan baik, rakyat akan tertarik dengan dan interaksi akan semakin harmonis.

Kemampuan mendengarkan, membuat rakyat yang berbicara akan lebih mudah dalam menyampaikan pesan, harapan dan lain-lain. Hubungan antar individu, kelompok, komunitas, rakyat akan semakin baik. Mendorong rakyat untuk tetap berkomunikasi. Pesan dalam bentuk instruksi, umpan balik dan lainnya akan lebih jelas diterima.

Mendengarkan dengan sebenar-benarnya mendengarkan, politisi akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, politisi bisa memahami apa yang ingin disampaikan oleh rakyat. Rakyat mendapatkan apa yang ingin ia dapatkannya yaitu perhatian seksama dari politisi. Politisi bisa melihat dari kacamata rakyat yang berbicara dan mengerti lebih baik lagi mengenai persepsi apa yang dimiliki oleh rakyat.

Selanjutnya, silakan bagi kita semua, menganalisa kemampuan MENDENGARKAN dari masing-masing capres-cawapres 2014 yang sedang  berkompetisi memperebutkan kursi Presiden dan wakil Presiden RI.

NEGARA VS KEDAULATAN RAKYAT (Refleksi Pasca Pilpres dan kontroversi UU Pilkada)

http://www.siperubahan.com/read/1630/NEGARA-VS-KEDAULATAN-RAKYAT-Refleksi-Pasca-Pilpres-dan-kontroversi-UU-Pilkada

KAMARUDDIN HASAN KUYA

Negara sebagai sebuah organisasi besar yang dilahirkan, dihidupkan, dijalankan dan dikawal  oleh seluruh rakyat nusantara yang kita berinama Indonesia. Negara sebagai hasil karya besar yang fundamental dari rakyat nusantara. Negara menjadi pranata prestasi peradaban rakyat nusantara untuk tujuan fitrah yaitu kebahagiaan dunia akhirat sebagai manisfestasi kedaulatan.

Negara sebagai pranata dari hasil proses integrasi secara holistik yang berkesinambungan dari berbagai unsur; institusi, lembaga, konvensi, adat, tradisi, norma-norma, budaya, interaksi dan lain-lain. Sejak awal lahirnya negara ini, sudah disepakati untuk dijalankan dan diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan tentu diatas kedaulatan rakyat nusantara. Negara yang memiliki fungsi; melindungi segenap yang hidup didalamnya, mensejahterakan dan menghargai yang melahirkan dan menghidupkannya. Bahkan secara totalitas sustainable negara mesti mencerdaskan, memajukan demokrasi yang sudah dirintis dengan susah payah. Bukan malah menuju kemunduran dalam segala aspek termasuk demokrasi.

Negara yang diberi nama Indonesia ini, dihuni oleh manusia-manusia yang melahirkannya dari berbagai latar belakang budaya, etnik, agama, pulau, suku dan bangsa yang beragam tersebar dari Sabang sampai Merauke, kemudian kita menyebutnya Negara Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam menjalankan negara, rakyat nusantara memberi amanah, mandat atau mempercayai kepada manusia-manusia pilihan. Rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada manusia-manusia pilihan yang dianggap mampu menjalankan tujuan dan fungsi organisasi besar Negara yang bernama Indonesia. Manusia-manusia pilihan tersebutlah yang menjalankan Negara sesuai dengan amanah, aturan, kepercayaan dari rakyat nusantara dalam iklim penuh demokrasi.

Namun menjadi aneh, ketika manusia-manusia pilihan tersebut dalam menjalankan negara ini tidak memahami betul amanah, harapan, kepercayaan, jati diri, identitas, budaya,  manusia dan bangsanya. Sehingga wajar, memunculkan image negative, kekecewaan mendalam, bahwa negara alpa kepada yang melahirkan, menghadirkan dan menghidupannya.  Walau pada dasarnya bukan negara yang mesti disalahkan, tapi lebih kepada manusia-manusia pilihan yang mengemban kedaulatan rakyat, yang mengemban amanah, kepercayaan yang seharusnya bertangggungjawab setiap kebijakan yang dikeluarkan atas nama negara.

Wajar kemudian, rakyat nusantara menggantungkan harapan besar yang tidak henti-hentinya kepada negara dan tentu kepada manusia-manusia pilihan tersebut. Setiap proses pemilu, proses lahirnya aturan/UU baru dan sebagainya selalu semua harapan, wacana, kemajuan, kebangkitan negara ditabuhkan oleh rakyat. Harapan agar negara mampu bangkit dari keterpurukan, bangkit dari krisis multidimensi, bangkit dari krisis kepemimpinan/figur, bangkit dari terkikisnya nilai-nilai agama, etika/moral, adat-istiadat, budaya, bangkit dari merosotnya identitas, harga diri di hadapan rakyat sendiri mampun dihadapan negara lain. Sekali lagi sangat wajar harapan besar itu menggema, karena datang dari rakyat nusantara yang notabene adalah mereka yang melahirkan, menghadirkan, menghidupkan dan mengawal Negara ini. Rakyat nusantara pemilik seutuhnya negara ini.

Nah, ketika memahami secara baik dan benar, tentang Negara dan kedaulatan rakyat. Tentu dalam setiap proses kebijakan politik, sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain dari negara, tentu kedaulatan rakyat berada diatas segalanya. Sehingga negara tidak akan kalah dengan kepentingan individu, golongan, kelompok dan atau partai politik. Atau Negara tidak akan kalah dengan “koalisi ini koalisi itu” yang hanya bersifat prakmatis sesaat. Negara tidak akan mengabaikan, “melacurkan” meminggirkan, bahkan menghilangkan atau menghapus kedaulatan rakyat. Sungguh disayangkan, rupanya Negara sampai saat selalu dalam situasi dan kondisi kalah dan terpinggirkan dari kepentingan golongan, kelompok, partai politik dan lain-lain.  

Lihat saja, bagaimana realitas pertarungan politik lanjutan pasca Pilpres 2014, antara koalisasi Jokowi-JK dengan Koalisasi Merah Putih (KMP). Koalisi Jokowi-JK memenangkan Pilpres, sedangkan KMP bersikeras mengambil moment merubah UU Pilkada dari Pilkada lansung menjadi Tidak langsung. Polarisasi kekuatan, kepentingan kelompok, politik di DPR sangat mengganggu Negara dan iklim demokrasi sebagai kedaulatan rakyat, dan proses polarisasi ini mesti diakhiri. Dengan catatan, kalau kita sepakat bahwa Negara sebagai manisifestasi kedaulatan rakyat yang berada diatas kepentingan apapun.

Praktek ini lebih kepada praktek arogansi komunikasi politik yang nihil etika dan norma, nihil kenegaraan dan kedaulatan rakyat, manusia-manusia pilihan tersebut mulai lupa dengan rakyatnya, terkooptasi dengan dominasi dan hegemoni kepentingan kelompok dan partai politiknya. Kita menuju kemunduran demokrasi, kembali  kepada gaya Orde Baru.

Padahal, Pemilu merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam realitas pemerintahan atau ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilu yang sesuai dengan konstitusi merupakan prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi yang ditandai bahwa setiap rakyat nusantara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan termasuk dalam memilih kepala daerah.

Proses politik negara mestinya menjadikan rakyat nusantara mendapat pendidikan politik secara benar dan baik, menjadikan rakyat nusantara peduli dengan partisipasi aktif dalam setiap proses politik, termasuk dalam Pemilukada. Tanpa partisipasi aktif rakyat dalam proses politik, dapat dipastikan proses politik tersebut gagal. Prinsip politik dalam negara bangsa yang demokratis adalah partisipasi aktif dari rakyatnya, kecuali Negara bangsa tersebut sudah tidak sepakat dengan demokrasi.

Proses politik dan pemilu pada prinsipnya merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan intisari dari proses demokrasi. Pemilu merupakan mengejawantahkan hak-hak asasinya rakyat dalam bidang politik. 

Untuk itu, solusi pertama, rakyat nusantara mesti menyelamatkan Negara dari polarisari hegemoni/dominasi kekuatan kelompok dan atau partai politik tertentu. Mendukung proses judicial review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, menjadi sangat penting dilakukan untuk menghindari merosotnya partisipasi politik Rakyat, menghindari kepala daerah kemungkinan besar hanya melayani permintaan DPRD bukan kepentingan rakyat, Pilkada model ini hanya menjadi kepentingan elite partai di DPRD. Bahkan Kepala daerah terpilih terpenjara oleh partai pengusung yang belum tentu sejalan dengan rakyat, politik uang juga akan lebih besar secara massif, kelompok-kelompok minoritas akan cenderung diskriminatif.

Solusi kedua, memperbaiki gaya komunikasi politik dihadapan rakyat, gaya komunikasi politik menjadi jendela untuk memahami bagaimana rakyat bahkan dunia memandang dirinya. Communication style yang dipraktekkan, sebagai seperangkat perilaku komunikasi yang terspesialisasi dalam suatu situasi dan kondisi Negara. Gaya komunikasi dengan The Equalitarium style dalam menjalan Negara konsep kesamaan dan kebersamaa dengan rakyat, yang bersifat dua arah atau two-way traffic of communication, menjadi penting. Praktek gaya komunikasi yang bersifat Controling Style; yang bersifat mengendalikan, memaksa dan mengatur perilaku, pikiran dan tanggapan rakyat yang bersifat satu arah atau one-way communicators, perlu dihindari.

Cukup sudah Negara melahirkan segelintir manusia atau keluarganya yang berupaya menciptakan kehidupan senikmat disurga di tengah berjuta-juta rakyat nusantara yang merana, melata ditengah-tengah kemelaratan yang mudah dianugrahkan ketidakadilan baginya. Negara ini mesti dijalankan dengan cara-cara kemanusiaan dan benar-benar menjadi Negara manusia. Negara yang tahu diri, Negara yang menghargai  manusia-manusia yang melahirkannya,  yang menghadirkan dan yang menghidupannya.

CATATAN SINGKAT; KOMUNIKASI DEFENSIF

http://www.siperubahan.com/read/1297/CATATAN-SINGKAT-KOMUNIKASI-DEFENSIF

OLEH: KAMARUDDIN HASAN KUYA

Luka kena peluru masih bisa disembuhkan, luka karena sayatan, tusukan pisau, parang, pedang, rencong, busur panah dll masih dapat disembuhkan, apalagi luka kena pentongan polisi, luka kena gas air mata saat demo  bisa disembuhkan. Luka karena bentrok fisik antar kubu capres-cawapres kemarin juga masih bisa disembuhkan.

Tapi luka karena komunikasi yang buruk atau komunikasi defensif siapa yang bisa menyembuhkan? Luka yang bisa terasa sepanjang hayat kehidupan. Sampai sekarang belum ditemukan obatnya, selain dengan komunikasi itu sendiri. Peribahasa Jerman menyebutkan: “Bose Disteln stechen sehr, bose Zungen stechen mehr”. “Semak berduri sangat menusuk tapi kata-kata buruk jauh lebih menusuk”

Komunikasi defensif merupakan komunikasi yang dilakukan bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi terutama sekali untuk menunjukkan dominasi, kekuasaan, penistaan, atau serangan terhadap apa yang dianggap mengancam ego. Dengan kata-kata erangan atau snarl words  dan sarkasme. Kata-kata yang keluar tidak merujuk pada rujukan tertentu. Kata-kata itu mengungkapakan keberangan, kebencian, dan kejengkelan kepada orang. Singkatnya, komunikasi defensif mengandung pesan yang menyakitkan. Messages that hurt. Bahkan kata-kata dapat menjadi musuh yang tersembunyi atau hidden antagonizers , karena menyinggung perasaan dan membangkitkan amarah kebencian orang tanpa diketahui, pada akhirnya memutuskan hubungan silaturahim.

Dalam kontek komunikasi lansung dalam keluarga misalnya, akibat komunikasi defensif, ada anak sangat membenci ayahnya. Bahkan ketika ayahnya jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit, tidak sekalipun ia datang menjenguknya. Setelah ayahnya wafat, dikatakan kepadanya bahwa betapa ayahnya sangat mencintainya. Tidak terasa butir-butir air mata jatuh dari pelupuk matanya menggenangi pipinya.  Anak itu rupanya sering kali disalahkan, dicaci maki, ditegur dengan bahasa atau kata-kata kasar atau snarl words  yang tidak mengenakan. Walau ia tahu bahwa setiap orang tua pasti mencintai anaknya dengan kecintaan yang tulus. Hanya saja, tidak semua anak dapat menangkap sinyal kecintaan itu, karena kecintaan yang tulus itu terselimuti oleh kabut tebal komunikasi defensif.

Bukti-bukti dalam psikologi agama dan komunikasi, bahwa komunikasi defensif dapat mengasingkan seseorang, hidup kesepian tanpa cinta, tanpa kasih sayang. Artinya cinta yang sejati, kasih sayang tidak mungkin tumbuh dalam suasana komunikasi yang tidak sehat. Kebiasaan menggunakan komunikasi defensif membuat manusia sulit mengekspresikan perasaan cinta dan kasih saying secara benar. Pada akhirnya tidak akan menjadi manusia, karena kemanusiaan dibentuk oleh komunikasi yang manusiawi.

Maka yang terpenting adalah mempertajam kepekaan dan emosi positif terhadap orang lain yang di ajak bicara. Bicara dengan melibatkan seluruh emosi positif. Banyak hubungan berantakan karena telah kehilangan unsur emosi positif. Dalam kehidupan ini tidak hanya dibutuhkan berbicara matter of fact  atau  straight to the point saja. Dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan komunikasi yang akrab. Para ahli komunikasi keluarga menyebutnya intimate communication strategy. Artinya budaya basa-basi ternyata bukan hanya sekedar budaya timur, budaya basa basi itu dapat membuat hidup lebih hidup. Dalam Kitab sucipun diperintahkan kepada kita, “Maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas nan lembut”.

Selain melibatkan unsur emosi positif, juga mesti mengontrol bahasa dengan memilih kata-kata yang baik dan benar saat berkomunikasi. Sebuah buku yang berjudul Language and Pursuit of Happiness atau Bahasa dan Pencarian Kebahagiaan yang ditulis oleh Chalers Brothers. Buku itu berbicara tentang kekuatan bahasa yang dapat membuat hati bahagia atau berduka. Artinya, jika ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa atau komunikasi yang efektif dan suportif. Terampil dalam komunikasi adalah sumber kebahagian.

Bahwa keterampilan komunikasi  yang efektif dan suportif, membuat manusia lebih tahan akan akibat-akibat buruk krisis kehidupan. Hidup berarti berkomunikasi. Berkomunikasi secara efektif berarti menikmati hidup secara lebih penuh. Bahkan dengan komunikasi efektif dan suportif membuat manusia lebih sehat dan lebih bahagia. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, komunikasi mengembangkan sikap saling menghormati, mencintai dan menerima.

Tentu, salah satu cara mencapai kebahagiaan hidup adalah dengan tatanan komunikasi yang baik dan benar. Komunikasi sudah menjadi teman setia setiap nafas kehidupan manusia. Komunikasi menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tidak ada manusia yang dapat menghindari, mengelak atau menolak berkomunikasi. Komunikasi tidak dapat dielakkan dan dihambat dalam gerak kehidupan manusia.

Dalam penolakan, mengelak atau menghindari komunikasi, saat itu pula secara bersamaan komunikasi hadir. Bahkan ketika ingin menolak, mengelak atau menghindari dari komunikasi, juga dilakukan dengan cara komunikasi.  Bahkan ketika diam, saat itu juga proses komunikasi berlansung.  Dalam bahasa Sigmund Freud: tidak ada manusia yang dapat menyimpan rahasia. Jika bibirnya diam, ia berceloteh dengan ujung jarinya; rahasia membersit dari pori-pori kulitnya.
karena komunikasi adalah sesuatu yang inheren dalam diri maka keberadaanya tidak dapat ditolak. Kehadirannya merupakan sesuatu yang mesti tanpa pernah diminta. Menolaknya berarti menolak kemanusiaan.

Agar perkembangan kemanusian tumbuh dengan baik, maka sedapat mungkin melakukan komunikasi baik dan benar atau kita sebut komunikasi efektif dan suportif. Komunikasi yang baik dan benar paling tidak menimbulkan; pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan melahirkan tindakan. Komunikasi seperti ini melahirkan cinta dan kasih sayang yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual manusia, kemudian mengangkat manusia secara individu ke dalam hubungan sosial yang lebih baik.

Komunikasi yang baik dan benar dapat menumbuhkan kepribadian manusia yang baik dan benar. Bahwa untuk dapat hidup dan menjadi manusia, komunikasi dibutuhkan. Artinya komunikasi amat esensial buat pertumbuhan kepribadian manusia. Para ahli ilmu komunikasi sering mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian seseorang.

Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial, dan mengembangkan kepribadiannya. Kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Melalui komunikasi manusia menemukan diri mengembangkan konsep diri dan menetapkan hubungan dengan dunia di sekitar. Hubungan dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup manusia. 


KESADARAN MANUSIA MERAJUT KEHARMONISAN

http://www.pikirreview.com/kesadaran-manusia-merajut-keharmonisan/

Oleh: Kamaruddin Hasan

SUDAH sangat jelas petunjuk Allah SWT,  masalah kodrat manusia, dalam  urusan merajut, membangun atau mengharmoniskan suatu kehidupan manusia secara bersama baik dalam konteks kehidupan antar individu, kelompok, suku, bangsa, bahkan antar negara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, yang terjemahannya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. Al Hujaraat: 13)

Allah SWT memberi pedoman kepada kita manusia yang mau berpikir, meluangkan waktu merenung, berintrospeksi diri, melakukan kontemplasi, melakukan komunikasi intrapersonal, “lhouh droe” (bercermin diri–red) bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma yang secara kodrati melekat sebagai suatu keniscayaan universal.

Logikanya, kehidupan manusia yang berkelompok-kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi, komunikasi efektif, interkoneksi, jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti, saling memahami dan merajut kebersamaan secara bersama dalam memperkuat identitas diri sebagai manusia yang memancarkan keharmonisan Ilahi dalam hidup bersama.

Sehingga tercermin suatu kewajiban yang mesti dilakukan sebagai makhluk yang mengaku beragama, makhluk komunikatif, makhluk sosial, makhluk berbudaya, atau makhluk berpolitik, yang diantaranya keharusan saling tolong menolong, jiwa berkorban, saling toleransi, saling menghargai, memahami selisih pendapat sebagai rahmat, saling akomodasi,menjauhkan sikap etnosentrisme, saling terbuka terhadap masukan/kritikan yang konstruktif, yang dalam bahasa komunikasi diistilahkan adanya saling pengertian dan kesepahaman bersama. Karena hal-hal tersebut berperan penting dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama yang harmonis, saling mengayomi dan mendamaikan.

Dari realitas sejarah kehidupan manusia yang panjang ini, seygyanya membentuk kita dari berbagai unsur alam pikiran dasar yang meliputi: world-view, common sense, kepercayaan, tata-nilai, prinsip-prinsip, sistem kebudayaan, mitologi, totemisme atau ritual, dan sebagainya.

Sejumlah konteks tersebut disepakati, dipercayai, dipegang-teguh serta diyakini secara bersama sebagai kaedah-kaedah  normatif yang mengikat dan menjadi elemen-elemen dasar bagi konstruksi kehidupan bahkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan sebagai salah satu landasan menjalani kehidupan, tentu yang utama adalah prinsip-prinsip agama yang kita yakini.

Sehingga kaedah-kaedah normatif ini, terkadang memiliki tingkat sakralitas yang dapat mengharmoniskan kehidupan, yang sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, latar filosofi kehidupan dalam menata kehidupan bersama, yang kemudian dianggap agung, dimuliakan dan muncul menjelma ke dalam dan mewarnai pola-pikir dan pola prilaku, pola sikap yang pada gilirannya menjadi kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan.

Kesadaran Sebagai Upaya Menuju Keharmonisan

Pendapat dari Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, bisa menjadi kajian lanjutan, menyebutkan bahwa; hidup begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai mahluk manusia itulah yang paling sulit. Manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri.

Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, seperti hasra berkuasa dalam konteks politik yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan. Kesadaran, akan menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.

Syarat yang ditawarkan oleh Kierkegaard, untuk menjadi diri sendiri adalah keheningan. Di dalam keheningan, orang dapat menggunakan kesadarannya untuk berefleksi. Kemampuan untuk menjadi hening, merupakan elemen yang sangat penting bagi perjalanan untuk berani menjadi diri sendiri. Hanya orang yang hening dapat berbicara secara benar dan mendalam, karena ia sepenuhnya sadar akan apa yang dibicarakannya.

Disisi lain, banyak pakar berpendapat bahwa yang harus diubah adalah realitas sosial, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya yang dianggap merusak tatanan sosial/kapital sosial, yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Tapi yang penting sebenarnya yang harus diubah tahap awal bukanlah realitas tersebut, melainkan sudut atau cara pandang manusia secara individu, cara manusia melihat dirinya sendiri dan dunianya.

Artinya jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas tersebut, melainkan manusia perlu tahu jati diri dan identitasnya. Jangan sampai, manusia secara individu menjadi bagian dari permasalahan yang tengah merajai realitas tersebut. Mungkin saja, kita sebagai individu bagian dari realitas tersebut yang harus diubah. Thomas Hidya Tjahya menulis, “Refleksi diri, dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting sebelum kita berintensi dan bertindak untuk mengubah realitas yang destruktif”.

Mahluk individu yang dinamai manusia, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun terhisap di dalam “altar besar” dunia manusia, sehingga manusia banyak yang kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Sehingga pertanyaan tentang hakikat, kodrat dan makna hidup manusia hanya dapat dijawab dengan mengalisa ke dalam subyektivitas dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah manusia itu sendiri.

Subyektivitas, menurut filsuf Perancis Descartes, terletak di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah. Masalah tentang subyektivitas dan otentisitas yang berkaitan dengan hakikat, kodrat, makna hidup sudah menjadi problem sepanjang sejarah filsafat. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan selalu saja dari sudut pandang global, abstrak, metafisik, sehingga kehilangan dimensi personalitasnya.

Dalam dunia politik, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya, manusia secara individu dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan system-sistem tersebut, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya. Dominasi dan hegemoni kekuatan kelompok, negara/pemerintah atas individu, merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup individu. Resikonya adalah kehilangan jati diri. Yang terjadi, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya.

Dalam menumbuhkan kesadaran diri manusia sebagai mahluk yang senantiasa berupaya merajut keharmonisan hidup, tentu selain petunjuk Agama, seyogyanya, manusia mesti belajar dari sejarahnya, karena sejarah bisa dijadikan landasan berpijak untuk melangkah lebih jauh. Yang tidak diharapkan manusia ini terbuai dengan sejarahnya. Karena sejarah merupakan wacana yang selalu aktual. Sejarah tidak kenal kadaluarsa atau expired. Kecuali, jika sejarah dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Kaisar Akihito mengatakan: “…tugas utama setiap manusia adalah mengenal sejarah agar mengetahui asal-usulnya”. Pemimpin Cina Jiang Zemin menyebutkan: “.. sejarah itu ibarat cermin dan kita manusia harus belajar untuk memahami latar belakang permasalahan guna melangkah ke masa depan. John Elliott juga mengungkapkan hal senada: “Sejarah itu sangat mustahak, tanpa suatu perspektif yang diperoleh dari kejadian-kejadian masa lalu, bagaimana kita dapat menghadapi masalah-masalah hari ini ataupun hari esok?”

Selain itu, dalam Social Theory and Psychoanalysis in Transition (1992), John Elliot, mencoba memberi solusi sekaligus kritikan, bagaimana melihat impian, imajinasi sosial politik mahkluk manusia yang lenyap atu dilenyapkan. Bahwa memang harus dilihat secara jernih konteks teori psikoanalisis terlebih dahulu atas masalah kesadaran manusia yang tidak berdaya, dan bukan langsung mempersiapkan strategi kebijakan semisal komunikasi yang tepat untuk menyelesaikannya. Karena permasalahan terletak pada ketidaksadaran dan bukan pada strategi-strategi kebijakan.

Penguatan Kesadaran ini tentu saja mempertimbangkan faktor budaya dan sejarah sebagai sumbu nyalanya. Artinya Individu yang telah lama tertindas harus dikembalikan harga dirinya dengan membuka eksemplar sejarah dan kebudayaan yang pernah dimilikinya dahulu. Sekaligus manusia harus dijauhi dari  fiksasi subjektif bahwa menuntut hak bukanlah dosa. Dosa ketika membiarkan kebohongan berubah menjadi kebenaran. Meminjam pendapat Teuku Kemal Fasya, dosa kita ketika melihat kezaliman berlaku seperti kesalehan, diulang-ulang dan dipuja-puja di atas altar, tampa berbuat apapun.

Dalam hal ini diperlukan, Interaksi antar-blok publik yang kita sebut gerakan sosial baru (New Social Movement), yang dianggap masih netral, seperti element akademisi, ulama, aktifis, mahasiswa, budayawan, LSM, lembaga adat,  lain-lain,  yang akhirnya akan menjadi pemenang karena mampu berperan, mengakomodir, mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral dalam menumbuhkan kesadaran dan eksistensi individu.

Interaksi positif antar-blok merupakan kesempatan kunci pada lahirnya proses kesadaran ini. Element ini mesti didorong dan terus melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya, identitas manusia, menumbuhkan kesadaran yang mampu mencapai cita-cita dalam merajut keharmonisan hidup bersama. Semoga.[]

Penulis: Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unimal Lhokseumawe, dan Direktur DeRE-Indonesia; Email: kamaruddinkuya76@gmail.com

Editor: Safta

KRITSLAH TERHADAP SAJIAN KONTEN MEDIA MASSA

http://aceh.antaranews.com/berita/12715/kritislah-terhadap-sajian-produk-media-massa

Kamaruddin Hasan Kuya

Banda Aceh 19/6 (Antaraaceh) - Tulisan ini utama diperuntukkan bagi dominan rakyat  yang mendiami nusantara dari pelosok Aceh sampai pelosok papua. Rakyat adalah ‘kita-kita’ yang dominan belum begitu memahami tujuan, fungsi, makna, efek dari produk atau tujuan di balik produk media massa yang disajikan oleh berbagai bentuk media massa (konvensional, media baru dan media konvergensi).

Produk media massa tersebut, tentu ada rakyat yang mengkonsumsinya setiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari atau ada yang hanya seminggu sekali atau sebulan sekali, paling tidak pernah membaca, mendengar atau menonton. Tentu dalam dominan rakyat tersebut terdapat juga ‘kita-kita’. Sekali lagi, kita-kita adalah rakyat yang dominan tersebut.

Karena memang,  media massa memainkan peranan penting bagi perubahan dan dinamika kehidupan rakyat.  Maka  untuk  mendapat  gambaran awal tentang produk  media  massa dapat disampaikan  beberapa poin  penting agar  rakyat  kebanyakan  bisa  bepikir  mengkaji secara  kritis  terhadap  produk  atau sajian berita/informasi dari media massa untuk perubahan dan dinamika kehidupan yang lebih baik.

Pertama, bagaimana memahami netralitas/obyektifitas/independensi  produk media massa. Kedua, bagaimana hubungan media massa dengan ekonomi politik atau kekuasaan dan dimana posisi kita-kita sebagai rakyat, ketiga, berkaitan dengan bagaimana bahasa diproduksi oleh media massa dalam hal ini akan dikemukakan tiga pandangan secara umum yaitu posivisme, konstruktivisme/fenomenologi dan  pandangan kritis).

Pertama, bagaimana memahami netralitas/independensi/obyektifitas produk media massa.  Keseimpulan awal dapat disampaikan bahwa hasil produk media massa  yang ditampilkan masih jauh dari sifat netralitas/independensi/obyektifitasnya. Sungguh rakyat mesti kritis terhadapnya, tidak lansung menerima secara mentah-mentah.
Produk media massa seperti berita/informasi sebagai salah satu produknya merupakan hasil konstruksi media massa. Berita atau informasi merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks ini, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi kita sebagai khalayak, pembaca, penonton atau pendengar.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa rakyat, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan sebagainya.

Berita, tahap tertentu, sangat mempengaruhi rakyat dalam menyusun pandangan tentang kehidupan dunia politik, sosial, budaya, hukum dan ekonomi. Pandangan terhadap kehidupan dunia adalah frame/bingkai rakyat sebagai manusia dalam menggambarkan tentang apa dan bagaimana memahami kehidupan dunia. Berbagai pengalaman hidup dimaknai dalam frame atau bingkai tersebut.

Bahwa berita yang dibuat oleh media massa mengambil bahan baku dari pengalaman dan mengemasnya dalam bentuk cerita, ia menceritakan kembali, kita menyebutnya realitas.

Realitas yang ditampilkan tersebut mencerminkan independensi, netralitas dan obyektifitas media dalam konteks politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum.

Awalnya   netralitas/independensi/obyektifitas media bisa dimaknai sebagai sikap untuk tidak mengikutsertakan kecenderungan unsur subyektifitas jurnalis atau pengelola media dalam proses memotret serta mengekspose realitas kehidupan.

Netralitas media  diterjemahkan sebagai sebuah kerja yang bebas kepentingan, netral sepenuhnya, obyektif serta melihat peristiwa secara makro. Sejatinya media massa yang bisa meraih kepercayaan rakyat adalah mereka yang mendedikasikan kerja profesionalismenya pada kepentingan rakyat. Itulah yang disebut independensi/obyektifitas media massa.

Faktor internal dalam organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang dijalankan oleh para pemilik dan manager terhadap para jurnalisnya, serta kontrol yang kenakan oleh para jurnalis itu sendiri terhadap para bawahannya dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hierarkis.
Kebebasan dan independensi media harus diarahkan agar dapat memberikan  manfaat nyata bagi rakyat sebagai tujuan kehadiran media massa, bukannya sekedar  untuk membebaskan  media dan para pemiliknya dari kewajiban memenuhi harapan dan tuntutan rakyat.

Faktor external media massa menjadi masalah kedua, yaitu pengaruh kekuasaan/politik dan ekonomi.
Media cenderung tidak memanfaatkan kenetralannya  untuk menentang hubungan kekuasaan/politik  yang ada dan mudah rentan untuk berasimilasi dengan pemegang kekuasaan. Media cenderung lebih berfungsi, melindungi atau menonjolkan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi atau politik.

Almarhum Dedy N Hidayat, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia pada 2001  berpendapat, "media massa berfungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen dimana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan". Sekali lagi, posisi media sebagai ruang dialog membutuhkan landasan filosofis independen dan landasan praktis netralitas yang perlu dijaganya.

Tanpa kemauan baik pengelola media untuk menjaga martabatnya seraya memenuhi kepentingan bisnis saja, bisa diprediksi kualitas demokrasi  akan berjalan secara absurd, disamping fungsi media untuk melakukan edukasi sekadar "pemanis bibir" dari pembicaraan publik tentang media.
Keterikatan media massa pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan produk media massa menjadi ajang yang rentan terhadap pengaruh keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi media, apa yang disebut sebagai ‘berita’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu.

Menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media massa, berangkat dari apa yang rakyat konsumsi sehari-hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan.

Sehingga dalam kajian mengenai ekonomi politik produk mmedia massa, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi produk media seperti berita atau informasi.

Ketiga, produk media massa notabene merupakan sekumpulan bahasa yang terangkai menjadi satuan-satuan struktural yang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Walau demikian, bahasa itu sendiri pada dasarnya realitas tersendiri.

Bahasa mesti dipahami bukan saja mampu memanipulasi  realitas sedemikian rupa sehingga realitas tidak selalu sama persis dengan realitas yang sesungguhnya, melainkan juga mampu menciptakan citra yang berlebihan terhadap realitas yang sesungguhnya.

Bahasa mampu mengkonstruksi realitas, bahasa mampu mereproduksi realitas yang disampaikan pada rakyat melalui media massa. Bahasa memproduksi wacana, ketika informasi/berita direproduksi melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas yang diinformasikan dengan rakyat media massa.

Bukan saja karena penampilan realitas yang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa, melainkan juga karena pengguna bahasa oleh media massa tidak jarang menjadi subyek yang patut dipertanyakan posisinya atas informasi yang direproduksi.

Produk media massa bukan saja menampilkan citra realitas, melainkan sesungguhnya citra media itu sendiri. Oleh karenanya, perlu pemahaman mendalam tentang wacana bahasa menjadi tolok ukur untuk menguji bagimana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum. Informasi/berita yang tersaji dalam bentuk berita misalnya, pada tingkat tertentu dapat mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarnya. Sementara, jika dipahami secara mendetail, berita/informasi sendiri pada dasarnya merupakan serangkaian interpretasi yang telah terolah berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita/informasi adalah sebuah entitas obyektif tentu masih perlu perdebatan.

Namun, untuk mengatakan bahwa sebuah berita/informasi disebut sebagai realitas subyektif rill tentu juga tidak beralasan karena untuk menuangkan suatu peristiwa menjadi teks berita/informasi tentu membutuhkan persyaratan yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan.

Minimal terdapat tiga pandangan tentang bahasa dalam produk media massa, pertama berasal dari kaum posistivisme empiris yang menyakini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan obyek.

Bahasa dianggap sebagai sebuah realitas obyektif yang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenanya sisi subyektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa.
Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan begitu saja realitas.

Dalam kaitannya dengan berita/informasi atau produk media, paradigma posistivisme-empiris meyakini bahwa apa yang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama sebagai realitas sosial, politik, budaya, ekonomi atau hukum ke realitas kedua yaitu realitas media massa tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.

Pandangan kedua, sering disebut dengan paradigma konstruktivisme atau fenomenologi. Produk media massa tidak layak lagi disebut sebagai refleksi realitas rill, melainkan media sekadar ‘representasi’ apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa hasil produk media massa  tidak layak lagi diterapkan.

Pikiran manusia membawa konstruksi nilai tertentu yang kemudian dalam mewujud sebagai produk media massa. Dalam perspektif konstruktivisme, produk media adalah man made; sehingga subyektivitas manusia pembuatnya adalah hal yang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas obyektif adalah tidak mungkin.

Menurut pandangan Eriyanto 2001, pandangan konstruktivisme ini berasal dari tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subyek dan obyek bahasa. Subyek atau pengguna bahasalah yang menjadi faktor sentral dalam kegiatan wacana dalam media massa, karena subyeklah yang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud tertentu.

Pandangan posistivisme empirik dan paradigma konstruktivis berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan yang dapat dihasilkan praktik berbahasa media massa. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika perspektif berbeda dan sesungguhnya inilah yang menjadi salah satu basis perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.
Perspektif konstruktivis  memperhatikan peran penguasaan makna dari yang semula condong pada komunikator (media), kini beralih pada komunikan atau receiver khalayak/rakyat. Peran yang aktif dari khlayak/rakyat pembacalah yang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak layak lagi menduduki peran sebagai pesan/message, melainkan justru sebagai ‘teks’ yang maknanya akan sangat tergantung kepada kemampuan khalayak/rakyat untuk menafsirkan.
Dalam bahasa Fiske 1990, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna. Seiring dengan pengertian itu, sebuah produk media lantas tidak layak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan representasi.

Konsep mengenai representasi itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi komunikasi dan kebudayaan budaya. Berkaitan dengan komunikasi, secara khusus Alan O’Connor, 1990 bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.
Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebudayaan (termasuk produk media) tergantung pada pemahaman subyektif di antara aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.

Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang diibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar.

Pada gilirannya peran pemaknaan oleh rakyat menjadi hal penting karena rakyat yang mempunyai otoritas untuk melihat bagimana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan.
Dalam bahasa konstruktivis, peran khalayak untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang seringkali tidak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’. Pada saat rakyat sebagai khalayak mempunyai otoritas penuh untuk memaknai sebuah berita/informasi, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa, yang mampu memproduksi makna.

Ketiga muncul pandangan kritis, Eriyanto, 2001 menyebutkan paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.

Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain yang mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna.
Paradigma ini percaya bahwa produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan yang ada di balik teks. Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium yang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa sesungguhnya terlibat dalam hubungan kekuasaan.

Pada saat seluruh realitas sosial, budaya termasuk ekonomi dan politik berperan membentuk jalinan makna teks dalam media, maka secara terang-terangan sisi ekonomi dan politik media sangat tampak di balik produk media.  Tidak hanya produk media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan politik tertentu.

Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan dirinya untuk memahami bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalayak/rakyat. Produk media adalah sebentuk konstruksi sosial yang melaluinya khalayak merumuskan pandangannya tentang dunia.
Analisis ini memampukan khalayak/rakyat melakukan rekonstruksi, bukan hanya peristiwa atau informasi yang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Khalayak/rakyat beranjak dari perspektif mikro menuju makro, dari wilayah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Model analisis kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik.

Dosen dan Ketua laboratorium Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE) Indonesia
Email: kamaruddinkuya76@gmail.com
Editor: Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2014

Rabu, 24 Februari 2016

MERDEKAKAH?

MERDEKAKAH?

Oleh: Kamaruddin Hasan Kuya

Setiap tahun jelang proklamasi kemerdekaan negara bangsa ini, senantisa memperingatinya dengan berbagai acara resmi seremonial maupun pesta rakyat. Pesta rakyat di wujudkan dengan beragam acara termasuk ragam perlombaan dan kebanyakan dengan biaya swadaya rakyat sendiri. Rakyat negara ini juga memper-elok lingkungannya dengan umbul-umbul merah putih, membersihkan lingkungannya, mengecet pagar, bahkan pohon-pohon dipinggir jalan juga diwarnai bendera kebangaan. Itu semua adalah wujud rasa cinta yang dalam, wujud nasionalisme, jiwa kebanggaan terhadap negara ini.

Identitas kebangsaan dan kebanggaan terhadap negara masih sangat besar ditebarkan oleh dominan rakyat negara ini. Rakyat senantiasa mewujudkan rasa syukur dengan penuh keihklasan dan kejujuran, terkadang tanpa memperdulikan semua realitas situasi dan kondisi negara. Itulah wujud kejujuran dan keihlasannya.

Realitas ini juga sangat jelas terlihat dalam memperingati 70 tahun proklamasi kemerdekaan mulai dari Sabang sampai Maroke. Rakyat dengan kejujuran dan keikhlasannya, rela tidak mempertanyakan; MERDEKAKAH?

Merdekakah mereka dari merdeka dari kemiskinan, merdekakah dari penghidupan yang layak, merdekakah dari penganguran, merdekakah dari akses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Merdekakah mereka dari akses pelayanan kesehatan baik dan adil. Merdekakah mereka dari pelayanan publik yang baik, benar, jujur, adil dan manusiawi. Merdekakah mereka dari kesengsaraan, dari akses ekonomi yang mensejahterakan. Merdekakah meraka dalam menguasai Sumber Daya Alamnya sendiri. Merdekakah mereka dari perlakuan yang tidak beradab dan bermartabat. Merdekakah mereka dari korban-korban perilaku korupsi negara dan sebagainya.

Rakyat rela untuk tidak mempertanyakan itu, saat ini!  Itu adalah perjuangan terberat rakyat negara ini. Hal tersebut juga sebagai bukti bahwa rakyat memang sangat mencintai dan bangga dengan negaranya. Negara sebagai hasil mahakarya mereka. Negara yang penuh wibawa, negara yang bermartabat, negara yang mandiri, negara yang juga mencintai dan sangat menghargai yang membangun dan menghidupkannya yaitu rakyaknya. Mestinya Negara tahu diri! Dan sangat jelas, bukan negara hasil karya atau boneka bangsa lain.

Memang,  70 tahun sudah proklamasi kemerdekaan negara bangsa ini, senin tanggal 17 Agustus 2015. Tentu tidak muda lagi, dengan generasi silih berganti dan tentu tiap zaman memiliki jiwadan perannya masing-masing.

Dalam setiap jiwa Rakyat sangat optimis, bahwa negara ini menjadi negara bangsa yang besar. Optimisme ini, menghiasi dalam ranah wacana dari berbagai bentuk dan jenis komunikasi yang dapat kita saksikan; mulai dari obrolan warung kopi, diskusi-diskusi formal dan non formal, media massa baik konvensional maupun new media, seminar-seminar dan lain-lain, dari semua kalangan.

Pertanyaan, kalau rakyat tidak optimis-cinta dan bangga dengan negara ini; untuk apa rakyat senantiasa mencari solusi dengan berbagai cara dan perspektif; tentang  krisis multidimensi yang dialami negara ini termasuk, ya tentu juga tentang melemahnya mata uang rupiah. Tentang krisis kepemimpinan negara ini, tentang langkanya kejujuran, tentang melemahnya nilai-nilai agama, moral, adat-istiadat, budaya.Tentang korupsi, tentang identitas diri sebagai bangsa. Tentang bagaimana cara menghargai jasa pahlawan termasuk veteran. Tentang harga diri dan martabat negara bangsa di hadapan bangsa negara lain, disaat negara bangsa lain menguasai sumberdaya yang ada di negara ini dengan tanpa menghargai sedikitpun bangsa negara ini.

Rupanya, cita-cita bangsa ini untuk menjadi besar, tidak cukup hanya dengan menghargai jasa-jasa pahlawannya. Seperti ungkapan Bung Karno bahwa, “hanya bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawanlah kelak menjadi bangsa besar”.

Seiring waktu berjalan, yang akan menjadi bangsa yang besar adalah bangsa yang merdeka yang sebenar-benarnya merdeka. Merdeka seperti yang disampaikan diatas. Juga bangsa besar adalah bangsa yang kuat dengan identitasnya, karakternya, kebudayaannya, kejujurannya. bangsa besar adalah bangsa yang terus mempelajari sejarahnya secara benar dan jujur. Bangsa yang besar adalah tentu bangsa yang menghargai pengorbanan pahlawan-pahlawanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang saling menghargai.

Lebih jauh lagi, bangsa yang besar adalah bangsa yang kuat dalam Agamanya. Bangsa besar adalah bangsa yang kuat dalam Ilmu Pengetuan dan tehnologi. Bangsa besar adalah bangsa yang kokoh dan mandiri dalam politiknya, ekonominya, hukumnya, budayanya, identitasnya. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bangsa besar adalah bangsa yang tidak mudah di doktrik dan dijadikan boneka oleh negara bangsa lain. Diri sendirilah sebagai bangsa yang mampu menjawab, memperjuangkannya dan menjelmakannya.

Realitas dan fenomena kekinian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertanyaan mendasar tetap muncul dari lubuk hati rakyat paling dalam; MERDEKAKAH?Tentu pertanyaan ini menjadi sangat sulit dijawab.

Merdekakah, ketika cakrawala bumi pertiwi ini masih dalam keadaan rubuh tersungkur, masih dalam kesulitan hidup yang semakin melilit kehidupan. Merdekakah, ketika kemiskinan menjadi sahabat yang sangat setia dengan angkatnyapun terus meningkat. Merdekakah, ketika pengangguran menjadi teman setia kehidupan yang angkanya terus melambung.

Merdekakah, ketika masih tersimpan keputus-asaan yang menjadi nada kian merusak gendang pendengaran, himpitan kemelaratan menjadi pasrah sebagai nasib yang wajib diterima tanpa kekuatan untuk merubahnya.

Merdekah, ketika negara masih terus mencetak bangsa menjadi pengemis, walau jiwa menangis ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa tertancap sangat dalam dan sangat membekas dalam hati sanubari.

Merdekakah, ketika memori dipenuhi sikap apatisme, skeptisme dan fesimisme. Merdekakah, ketika pesta korupsi berlansung meruyak negeri membuat bangsa sekarat disemua segi. Merdekah, ketika negara nihil praktek ideologi kebangsaan, ketika koalisi partai politik melupakan konstituennya.  

Merdekakah, ketika hobby mengmark-up anggaran negara-uang rakyat - sudah menjadi-jadi. Merdekakah, ketika langit-langit akhlak tersungkur merambah sampai kedunia pendidikan bahkan kedua pendidikan pesantren yang semestinya menjadi contoh penarapan ahklak mulia.

Merdekakah, ketika praktek bisnis negara sunyi dari akhlak dan kejujuran, proyek-proyek yang habis dikunyah segelintir keluarga dan mereka  kenyangnya terengah-engah diatas jutaan rakyat yang kelaparan. Merdekakah, ketika negara tidak peduli, membiarkan kegiatan pertambangan merusak lingkungan hidup, membiarkan hutan-hutan digunduli, hutan lindung dibabat, lahan pertanian yang tidak terurus dan sawah-sawah kering, berubah fungsi dan satwa liar yang tidak memiliki tempat tinggal yang nyaman.

Mengutip syair dari Taufik Ismail, tentu dengan gaya bahasa yang relatif berbada. Merdekakah, ketika negara melahirkan generasi yang sangat kurang rasa percaya diri. Merdekakah, ketika negara meminjam uang ke mancanegara dan rakyat yag harus menanggung beban derita berkepanjangan. Merdekakah, ketika negara terbungkuk berikan kepala kepada negara multi-kolonialis dan dengan elegansi ekonomi mereka ramai-ramai pesta kenduri sambil kepala kita dimakan.

Merdekakah, ketika negara masih dicengkeram kuku negara multi-kolonialis, beratus juta rakyat menggelepar menggelinjang, terperangkap, terjaring di jala raksasa hutang. Sisi lain, pedagang kecil mati dengan meninggalkan hutang, rakyat mati tinggal belulang. Rakyat miskin selalu minum mimpi, makan angan-angan dan berlansung sudah sangat lama.

Merdekakah, ketika segelintir orang dinegara ini teramat kaya, bahkan hingga orang-orang di negeri-negeri yang jauh disana, mereka dengan gaya hidup boros berasaskan gengsi dan fanatisme mengimpor barang luar negeri.Mereka dengan gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis.

Merdekakah, ketika segelintir orang dinegera ini, dengan sangat mudah bisa makan harga satu porsi setara untuk mengisi perut kosong 100 rakyat miskin.  Merdekakah, ketika tidak ada lagi yang menjahit sakit politik, hukum, ekonomi sosial budaya dengan sengenap kemampuan.

Merdekah, ketika negara hasil karya ini tidak lagi menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitrahnya. Negara tidak lagi diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan azas kedaulatan rakyat. Merdekakah, ketika negara tidak memahami dengan benar dan baik bahwa nusantara ini dihuni oleh manusia-manusia yang berlatar belakang etnik, agama, suku, dan bangsa yang beragam.

Merdekah, ketika negara hanya mampu mendefinisikan keindonesiaan lewat kacamata Jakarta dan pulau Jawa. Negara tidak mampu melihat rakyat yang tersisih yang tidak tersentuh pembangunan dan perberadaban. Merdekakah, ketika negara masih berprilaku membantai rakyatnya, intimidasi, pengusiran, pengasingan, intoleransi dan ketidakadilan. Merdekakah, ketika negara tidak mampu lagi masuk kedalam ranah kognitif rakyatnya.

Merdekakah, ketika negara tidak mampu melihat anak-anak negeri yang kurus ringkih, busung lapar, pandangan mata hampa, tanpa keinginan dan harapan.Anak-anak yang tidak tercatat di sekolah manapun di negara ini.

Merdekakah, ketika negara masih bertanya siapa itu rakyat? di mana alamatnya, bagaimana potret nafkahnya, bagaimana kesehatannya dan pendidikannya, bagaimana populasinya, bagaimana databasenya. Merdekah, ketika negara masih memandang rakyat sebagai kumpulan orang-orang dengan wajah lugu, gampang dibodohi, gampang dibariskan, mudah dicatat sebagai sederetan angka, gampang dimusnahkan.

Merdekakah, ketika pemimpin-pemimpin negara ini mulai level bawah sampai paling tinggi hanya memanfaatkan amanah jabatan untuk sebar-besarnya kepentingan diri sendiri, keluarga dan koleganya,penuh hiruk-pikuk sandiwara yang narsis dan tamak dengan mengumbar egonya.

Merdekakah, ketika negara, inti dari Pembukaan Undang-Undang Dasarhanya jadi retorika dan slogan belaka.Tanpa upaya sungguh-sungguh, ihklas dengan segenap jiwa raganya dalam  melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. MERDEKAKAH?