Selasa, 19 Oktober 2010

Komunikasi Politik dan Pecitraan (Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia)



This writing wants to focus on the construction of political imaging in Indonesia, specially on the three elections in reformation era.  Political imaging as one of issues in political communication has been started on 1999 general election.  It is more developed after direct election implemented on 2004 and 2009 general election. On 2009 general election, longer campaign time and the greatest number of votes system make communication and political imaging done by politician, either institutional or individual, more varied and interesting. This phenomenon is interesting and deserved to be examined deeper to find how political imaging process adopted and developed by politician in multiparty political system.

Key words: Political imaging, reformation general election, political communication

Pendahuluan
Menarik apa yang disampaikan oleh Goenawan Muhammad yang membuat kesimpulan menyindir, yang lebih penting; kemasan! Menurutnya, kehidupan politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Dan penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah (Majalah Tempo, 27 Juli 2008).  Goenawan tidak berlebihan dengan kesimpulannya itu. Di berbagai negara, kemasan atau kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam banyak pemilihan umum. Misalnya di Jerman, tahun 1998, Gerhard Schroeder yang begitu keras menentang penyatuan Jerman dan tidak pernah melakukan keputusan-keputusan politik yang berani, mengalahkan Helmut Kohl yang telah memimpin negara itu sebagai kanselir selama empat dekade, dengan segudang prestasi dalam membangun Jerman dan Uni-Eropa. Kekalahan Kohl karena citranya tidak tepat untuk political picture abad-21 yang pro-keharmonisan dan keindahan. Sebaliknya, Schroder tampil penuh keanggunan dan senyuman, memiliki daya tarik seksual (sex appeal) dan karakter yang halus
(smooth).  Barack Obama di Amerika Serikat (2008), berhasil menambah referensi sekaligus sejarah politik dunia; orang berkulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat. Ini terjadi di negara yang selama ratusan tahun menjadikan kulit hitam sebagai budak. Kemungkinan besar karena citra Obama sebagai pribadi yang merakyat, merangkul, jujur, pintar, dan berkeinginan kuat merubah peta politik Amerika Serikat, sehingga berhasil merebut faktor keterkesanan atau impression pemilih, dibandingkan citra McCain, pesaingnya dari Partai Republik. Daya pengaruh pencitraan politik ini, juga bermunculan di berbagai belahan negara. Di Inggris, Franklin (1994) menulis hasil kajiannya dalam buku In Packaging Politics. Di Perancis, Lindon (1976) menulis Marketing Politique et Sosial.

Namun, perlu dipahami, sekalipun memiliki daya pengaruh yang luar biasa, aktifitas politik yang hanya mengedepankan pencitraan politik, tanpa dibarengi kualitas diri politik, pada akhirnya hanya meretas nihilisme. Corner dan Pels, menyebutnya cynicism .

Di negara kita Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung dalam Pemilu 2004, dan terlihat hingga Pemilu 2009.  Seiring dengan perubahan sistem politik, utamanya dalam Pemilu 2009, dengan masa kampanye lebih lama dan  sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual, semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang terkadang mengabaikan etika politik. Pertama, pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, moment hari-hari besar, perayaan Hari Kemerdekaan dan lain-lain. Pada umumnya, partai maupun kandidat, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (1993) sebagai “diri politik” sang politisi. Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event olah raga, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity yakni memanfaatkan extra ordinary news – kejadian sangat luar biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi didalamnya sangat menguntungkan secara politik. Keempat, paid publicity yakni cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau
program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain.

Seiring dengan itu, lembaga konsultan politik/agen pencitraan, yang melayani proyek pencitraan dari hulu sampai hilir, mulai dari pemetaan kelemahan dan kekuatan klien, survei opini publik, perumusan konsep iklan, pembuatan tagline (slogan), materi iklan, penempatan iklan di media, manajemen isu, hingga pengaturan acara klien, tumbuh bak jamur di musim hujan. Diantaranya, Fox Indonesia, Hotline Advertising, PT. Lingkaran Survei Indonesia, Finalpoint, dan lain-lain.  

Biasanya bentuk  pencitraan politik  yang dilakukan terbagi dalam dua strategi, yaitu Incumbent Vs Challenger. Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk diteruskan. Sementara Challenger menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk  digantikan secara konstitusional. Dua strategi itulah, pencitraan politik dilakukan untuk meraih simpati dan kepercayaan publik, melalui aneka ragam aksi.

Strategi challenger, pada rangkaian Pemilu 2009, terlihat dari apa yang dilakukan Megawati Soekarno Putri yang dulu terkenal jarang berkomentar, apalagi mengkritik, saat ini justru lebih banyak mengkritik pemerintah, dalam ungkapan-ungkapannya seperti, "tebar kerja bukan tebar pesona" atau "bagaikan penari poco-poco". Selain melontarkan kritik, Megawati juga giat melakukan berbagai safari politik, dengan mengunjungi desa terpencil, tempat pelelangan ikan, pasar, untuk mengukuhkan citra politiknya sebagai figur yang peduli terhadap wong cilik. Wiranto, secara dramatis ikut makan nasi aking bersama warga miskin – 18 Maret 2008 – di Serang, Banten, dan mengiklankan diri di berbagai Media Massa. Kalau dicermati sedikitnya terdapat tiga seri iklan Wiranto yang bertema kemiskinan, yang sekaligus mengkritik pemerintah. Seri pertama, tentang kesulitan hidup rakyat sehingga harus makan nasi aking. Seri kedua, jumlah rakyat miskin di Indonesia yang meningkat. Seri ketiga, menagih janji SBY untuk tidak menaikkan BBM. Prabowo Subiyanto juga gencar mencitrakan dirinya sebagai figur yang peduli dan berpihak terhadap rakyat kecil, melalui iklan layanan masyarakat/politik Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI),
Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia, dan partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA). Dan memanfaatkan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional, Sutrisno Bachir muncul dan menyentak publik melalui slogan "Hidup adalah perbuatan!"

Sementara bagi incumbent, dapat dilihat pada pencitraan SBY —tercermin dalam setiap iklan Demokrat— yang menunjukkan hasil positif seperti penurunan harga bahan bakar minyak (BBM), program BLT, beras untuk masyarakat miskin (raskin), penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan anggaran pendidikan. Begitupun JK (incumbent sekaligus challenger pada Pemilu 2009), muncul dengan tagline “Beri Bukti Bukan Janji” dan ”lebih cepat lebih baik”, mengklaim keberhasilan swasembada beras dan pencapaian pembangunan infrastruktur yang merupakan kontribusi partai Golkar, yang dipimpinnya. 

Dalam proses tersebut, tingkat popularitas dan elektabilitas calon presiden yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga survei sepanjang tahun 2007, 2008 dan 2009, menambah gemuruh kontestasi Pilpres 2009,di antara lembaga-lembaga survei tersebut: Indo Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lembaga Riset Indonesia (LRI), Lembaga Survei Nasional (LSN), National Leadership Centre (NLC), Reform Institute, dan Indonesian RDI.

Jeffrie Geovanie, mengutarakan dalam tulisannya 'Persepsi Publik sebagai Panglima?', bahwa, relasi politik antara Presiden Yudhoyono dan parpol mitra koalisi – seperti Golkar (JK) – yang terbangun adalah pola relasi yang tidak seimbang. Jika popularitas pemerintah meningkat, otomatis citra Presiden mengalami eskalasi, hal itu tidak berdampak terhadap secara linier terhadap partai-partai di barisan koalisi. Namun, jika popularitas dan citra pemerintah (Presiden Yudhoyono) dianggap buruk dan mengalami penurunan, partai-partai mitra pendukung pemerintah akan mendapatkan imbas penurunan itu.

Setelah SBY memastikan maju dalam Pilpres 2009, dan mensinyalir kembali berduet dengan JK,  yang kemudian direspon secara positif oleh JK,  membuat konstelasi Pilpres 2009 hanya terpola pada dua kubu, yakni kubu SBY dan Mega. Namun, seiring dengan perubahan konstelasi politik menjelang Pileg 2009, JK – yang sebelumnya disebut-sebut hanya akan mengambil posisi Wapres berpasangan dengan SBY – menyatakan kesediaannya sebagai Capres. Irama politik pun berlangsung dalam irama cepat.  Pemicunya adalah soal angka 2,5 persen yang dilontarkan kader Partai Demokrat (PD) . Hal ini membuat tersinggung orang-orang Partai Golkar. Ujungnya, seluruh pimpinan DPD Golkar ”mendesak” JK maju sebagai Capres, yang kemudian diamini oleh JK. Padahal, saat itu, ada upaya untuk melestarikan pasangan SBY-JK agar berpasangan kembali dalam Pilpres 2009. Semua survei pun selalu mengunggulkan pasangan ini. Dapat dikatakan, mereka tak terkalahkan. Namun, pecah kongsi keduanya membuat kontestasi politik semakin dinamis.


Kajian Komunikasi Politik
Setelah Perang Dunia I, perhatian terhadap Komunikasi Politik —sekalipun belum dengan istilah Komunikasi Politik— mulai mengemuka dengan dilakukannya penelitian dalam bidang ini untuk kepentingan perang (Dahlan: 1989). Sebelum dan selama Perang Dunia II, selain riset opini publik, riset teknik propaganda juga berkembang pesat, yang dipicu oleh kemenangan Jerman dalam berbagai perang yang dilakoninya. Dimotori Menteri Penerangannya, Joseph Goebels, Jerman memenangkan perang-perang tersebut karena propaganda yang dipraktekkannya. Keberhasilan propaganda Goebels, kemudian dipelajari, dikembangkan dan dipraktekkan oleh Amerika Serikat.

Setelah Perang Dunia II, terutama di era 1950-an, pengkajian komunikasi politik tidak lagi dipengaruhi kuat ilmu politik, tetapi semakin banyak dipengaruhi ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa. Dahlan berpendapat bahwa ada tiga hal yang menyebabkan hal itu. Pertama adalah media, unsur yang menjadi perhatian utama komunikasi politik, terletak pada disiplin komunikasi. Kedua, para peneliti komunikasi politik semakin banyak yang berlatar belakang ahli komunikasi (Dan Nimmo, William Rivers, dll), karena faktor komunikasi berperan sangat penting dalam proses politik. Ketiga, karena sifat ilmu komunikasi yang interdisiplin sehingga riset-riset tentang perilaku politik lebih jelas dipahami melalui pengkajian ilmu komunikasi. Memasuki era Perang Dingin, praktek komunikasi politik lebih banyak dipengaruhi oleh “politik komunikasi”. Perang fisik digantikan oleh “perang informasi”. 

Propaganda, agitasi dan manipulasi data mewarnai isi media massa.  Dominasi AS, dkk, terhadap berbagai media massa, membuat AS dapat memengaruhi banyak negara. Kehancuran Uni Soviet tidak lepas dari pengaruh politik komunikasi tersebut. Fakta ini, membuat konsentrasi para peneliti komunikasi politik kembali pada “efek” dan “pengaruh” komunikasi, khususnya mediated-communication. Pasca Perang Dingin, perkembangan politik di berbagai negara mengarah pada sistem politik demokrasi—seiring perkembangan teknologi komunikasi—membuat komunikasi politik semakin mendapat tempat, terutama dalam mengkaji sosialisasi program, lembaga atau kandidat politik.
 
Studi komunikasi politik yang terorganisasi dapat ditandai dari analisa teknik propaganda Harold Lasswell (1927) – yang kini dikenal sebagai bapak perintis ilmu komunikasi modern – ketika mengumumkan hasil penelitiannya tentang propaganda politik dalam The American Political Science Review. Hasil riset Laswell itu menjelaskan bagaimana “efek” dan “pengaruh” komunikasi massa. Menurutnya, sebuah tindak komunikasi bisa dianalisa dengan pertanyaan “siapa/ mengatakan apa/ di saluran yang mana/ kepada siapa/ dengan akibat (efek) apa”. Sebagai disiplin ilmu yang – sekalipun – interdisipliner; ilmu komunikasi, politik, sosiologi, psikologi, sejarah, retorika, dan lainnya, menurut Ryfe (2001), komunikasi politik tetap  mendapatkan tempat, karena adanya komitmen teoritis dan metodologis pada riset-riset awal. Komitmen tersebut pada gilirannya dibentuk oleh tiga disiplin utama, yaitu; (1) Psikologi Sosial, (2) Riset Komunikasi Massa, dan (3) Ilmu Politik. Adapun, batasan wilayah studi komunikasi politik adalah; opinion, attitudes, beliefs, politics as a process dan media effect. Tetapi batasan ini, menurutnya bersifat fleksibel.
 
Luasnya bidang kajian komunikasi politik, pada akhirnya memunculkan banyak defenisi. Beberapa pakar/ilmuan yang memaparkan defenisi komunikasi politik, diantaranya; Mc. Nair (2003) dalam An Introduction to Political Communication, mendefenisikan komunikasi politik sebagai “purposeful communication about politics” yang meliputi: Pertama, semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Kedua, komunikasi Politik ditujukan oleh aktor-aktor tersebut kepada non-politisi, seperti pemilih dan kolumnis surat kabar. Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor tersebut, dan kegiatan-kegiatan mereka, seperti termuat dalam berita, editorial dan bentuk-bentuk media lainnya mengenai politik. Sementara Graber (2005), mendefenisikan komunikasi politik sebagai, “the construction, sending, receiving, and processing of messages that potentially have a significant direct or indirect impact on politics". Dan menurut Kaid (2004), sejauh ini, definisi terbaik komunikasi politik adalah ungkapan sederhana Chaffee (1975) bahwa komunikasi politik merupakan “role of communication in the political process” penggunaan (ilmu) komunikasi dalam proses politik.  Swanson dan Nimmo (1990) dalam New Direction in Political Communication, menegaskan bahwa, mainstream komunikasi politik adalah studi tentang strategi penggunaan komunikasi untuk mempengaruhi pengetahuan publik, kepercayaan dan tindakan politik. 

Adapun fungsi komunikasi politik, menurut Gazali, adalah: (1) Mengurangi ketidakpastian, (2) Untuk kepentingan publik (prospective public policies), (3) Sebagai alat untuk memprediksi dan, (4) Merencanakan dan menjelaskan komunikasi stratejik.
 
Seiring dengan perkembangan studi komunikasi politik, muncullah konsentrasi kajian yang disebut Political Marketing, yang secara khusus membahas bagaimana “menjual” produk politik (kebijakan,  partai, kandidat) agar “laku” di masyarakat.  Dalam perkembangannya kemudian, Keele, Jennifer Lees-Marshment, memperkenalkan apa yang disebut Comprehensive Political Marketing (CPM). Menurut Lees, CPM tidak saja menginformasikan bagaimana cara berkampanye, namun juga bagaimana politisi mendesain kebijakan-kebijakannya atau organisasi mereka supaya bisa diterima oleh pasar (Lees-Marshment, 2001a; 1074). Lees menambahkan, konsep-konsep serta teknik-teknik marketing tidak saja bisa digunakan sebagai panduan bagi partai untuk mengkomunikasikan “produk” mereka namun juga bisa memandu bagaimana partai menentukan apa yang akan mereka produksi dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku terhadap pasar politik mereka.
 
Comprehensive Political Marketing (CPM) sebagai satu kerangka teoritis memiliki prinsip-prinsip kunci (key principles) sebagai berikut (2001a: 1075, 2001b: 5); Pertama, CPM memandang marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, CPM mengaplikasikan pendekatan marketing ke seluruh perilaku organisasi politik atau partai, tidak sekedar tentang bagaimana mereka berkampanye atau bagaimana kampanye diorganisir namun juga pada bagaimana partai mendesain produknya. Untuk itu, analisis marketing politik dalam CPM melingkupi perilaku partai dari awal sampai akhir lingkaran pemilihan politik, bukan sebatas masa kampanye, dan juga meliputi berbagai aspek seperti aspek kepemimpinan partai, para anggota parlemen dari partai itu, keanggotaan, struktur organisasi, simbol-simbol partai, konstitusi partai dan aktifitas-aktifitas partai. Ketiga, CPM menggunakan konsep-konsep marketing seperti orientasi produk, sales atau market, bukan hanya teknik-teknik marketing seperti intelijensi pasar, desain produk atau promosinya. Keempat, CPM mengintegrasikan ilmu politik dalam analisisnya dan konsep-konsep marketing digunakan untuk penyesuaian dengan pemahaman yang ada dari pembahasan tradisional tentang partai politik. Kelima, CPM mengadaptasi teori marketing dan menyesuaikan teori-teori itu dengan hakekat yang berbeda dari dunia politik. Konsep-konsep marketing tentang produk, harga, tempat dan promosi disesuaikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan aktifitas politik partai.

Komunikasi Politik di Indonesia
Komunikasi politik mulai berkembang sejak tumbangnya Orde Baru 1998. Sekalipun praktek komunikasi politik sudah dilakukan oleh para aktor politik, misalnya dalam orasi-orasi politik Presiden Soekarno serta slogan-slogan yang dikampanyekannya seperti; “Pemimpin Besar Revolusi”, “Ganyang Malaysia”, “Nasakom” dan lain-lain Namun Retorika politik Soekarno yang penuh daya hipnotis, menemukan antiklimaksnya ketika terjadi G-30-S/PKI. Opini penyeimbang dari elit lain – termasuk mahasiswa – mulai bermunculan dan berhasil menggeser keunggulan komunikasi politik Soekarno. Di zaman Orde Baru, keberhasilan Soeharto memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan sebelumnya, dengan isu “bahaya laten komunis” dan “melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen” merupakan kata kunci keberhasilan komunikasi politik Soeharto, dalam meraih simpati dan dukungan rakyat.
 
 Walaupun praktek komunikasi politik dijalankan oleh para aktor politik di era Orde Lama dan Orde Baru, namun kajian komunikasi politik tidak mengalami perkembangan yang berarti. Menurut Alwi Dahlan (1989), itu terjadi karena ilmu komunikasi politik masih dianggap tidak perlu ditelaah secara utuh. Kalau pun diajarkan, mata kuliah di bidang ini tidak dapat memberikan pemahaman yang memadai mengenai proses komunikasi politik. Sementara jurusan komunikasi di berbagai universitas juga tidak mendalami komunikasi politik secara khusus. Para ilmuan komunikasi pun enggan melakukan penelitian yang berkaitan dengan politik, kecuali yang bersifat deskriptif atau normatif. Reformasi 1998 membuka babak baru dalam praktek komunikasi politik di Indonesia. Kemerdekaan berpendapat dan demokrasi menjadi landasan bagi setiap orang untuk menyuarakan idenya, termasuk dalam bidang politik. Pengolahan citra, persuasi dan retorika politik dilakukan dengan cukup baik oleh para aktor politik untuk memperoleh simpati rakyat.
Gazali (2004) membagi fokus kajian Komunikasi Politik menjadi dua yaitu, traditional focus dan new focus. Inti pandangan Gazali dengan kategorisasi fokus tersebut adalah, kajian komunikasi politik tradisional adalah communication of politics yang lebih ringkas dapat dilihat dalam rumusan Lasweel. Sedangkan fokus kajian komunikasi politik baru, adalah politics of communication yang diwakilkan dengan baik dalam pernyataan Chaffee; Who gets to say what to whom? (siapa yang memperoleh hak untuk berkata apa dan pada siapa).
Berdasarkan dua fokus di atas, Gazali kemudian merumuskan “Model of the Political Communication Field;  Based on the Indonesian contexts”  seperti yang tampak di bawah ini:

Gambar 1.1. A comprehensive Model of  Political Communication Field Based on the Indonesian contexts. (Sumber: Gazali, 2004)

Gazali mengurai sekurangnya ada dua puluh satu bidang kajian yang dapat dilakukan di negara ini. Semua bidang kajian itu saling berkaitan erat walaupun dibagi dalam tiga kelompok besar; traditional focuses (communication of politics), new focuses (mostly non-mediated activities) dan politics of communications.Model ini, memperluas serangkaian isu dalam bidang komunikasi politik. Misalnya, peneliti tidak hanya terbatas pada studi opini publik mengenai komunikasi politik, melainkan juga studi tindakan warganegara. Demikian pula, bentuk-bentuk media yang secara tipikal tidak termasuk dalam riset komunikasi politik seperti film, lagu-lagu rakyat, pertunjukan televisi, program-program radio, dan bahkan rumor, harus dilihat sebagai ekspresi viable dari komunikasi politik. Dalam model ini, Gazali juga menekankan perlunya  mengeksplorasi sejumlah bidang seperti studi kepuasan (gratification) dan penggunaan media dengan perhatian pada peran aktif warga negara dalam kaitannya dengan exposure selektif, jenis media, pilihan isi, dan feedback (umpan balik) warga negara terhadap isi media.

Pencitraan Politik
Citra adalah dunia menurut persepsi kita, atau pictures in our head (Water Lippman, 1965), yang merupakan gambaran tentang realitas, mungkin saja—tidak sesuai dengan realitas. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media, utamanya media massa cetak dan elektronik, yang bekerja membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Dari sudut pandang ilmu sosial, salah satu pendekatan teoritik tentang penciptaan citra adalah impression management -manajemen kesan- dimana citra dipandang sebagai kesan seseorang atau suatu organisasi terhadap orang atau organisasi lain.
 
Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Teori image building menyebutkan bahwa, citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti (perseived message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra. (M. Wayne De Lozier, 1976:44). 

Lebih jauh, Nimmo (2000:6-7) menyebutkan bahwa, citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesucian subjektif akan memberi kepuasan baginya, yang paling tidak memiliki tiga kegunaan, yaitu: 1. Betapapun benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu. 2. Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. 3. Citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain.  Sebagai bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih. Corner dan Pels  mencatat baik figur-figur yang bersih maupun bermasalah (notorious) sama-sama secara substansial bekerja keras membangun citra politik untuk mempengaruhi pemilih, karena citra telah menjadi faktor paling menentukan sukses tidaknya sebuah perjalanan kampanye.
 
 Gunter Schweiger dan Michaela Adami (1999) mengemukakan, citra merupakan gambaran menyeluruh yang ada di kepala pemilih mengenai kandidat maupun program. Kedua penulis ini berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai maupun oleh informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/parpol). 

Bruce Newman (1994) dalam bukunya The Marketing of The President: Political Marketing as Campaign Strategy mengemukakan bahwa saat ini kampanye politik telah berjalan menggunakan kaidah-kaidah bisnis, termasuk prinsip-prinsip pemasaran yaitu: marketing research, market segmentation, targeting, positioning, strategy development dan implementation. Artinya, perubahan-perubahan dalam demokrasi politik telah memperlihatkan bahwa kecenderungan terhadap stylisasi estetika (aesthetic stylisation) itu berlangsung alamiah dan tak mungkin dihindari dalam sistem pemilihan langsung. Kecenderungan natural inilah yang menjelaskan mengapa citra, yang dimiliki kandidat semakin berpengaruh terhadap pemilih dalam menentukan pilihan politiknya.
 
Menyikapi perkembangan politik pencitraan dalam pentas demokrasi Indoensia, Gazali menilai, dalam level sederhana politik pencitraan termasuk political marketing, karena kandidat dipasarkan mirip menjual sebuah produk. Jika lebih canggih, bisa dikategorikan politik komunikasi, yaitu politisi mensosialisasikan kebijakan secara subtansial dengan cara-cara yang memikat publik.   Sebagai unsur terpenting yang menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya, maka tidak mengherankan jika politisi memanfaatkan konsep citra untuk menjembatani jarak antara perilaku pemilih yang dipahami politisi dengan apa yang sesungguhnya tersimpan di benak para pemilih (Nimmo, 1974 dalam newman, 1999:354).   

Citra di dalam politik sebenarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama. Dengan kata lain, keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau kesalingbergantungan antara yang dilakukan oleh kandidat dan pemilih. Dengan demikian citra adalah transaksi antara strategi seorang kandidat dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak para pemilih. 

Menurut McGinnis, (l970) dalam Kavanagh (l995:13), pemilih sesungguhnya melihat kandidat bukan berdasarkan realitas yang asli melainkan dari sebuah proses kimiawi antara pemilih dan citra kandidat (gambaran imajiner). Citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya. Sehingga, tidak salah bila politisi “jumpalitan” melakukan pencitraan politik. Karena semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk meraup dukungan pemilih semakin besar. Namun dalam konteks pembentukan citra, tidak sedikit yang kehilangan kekuatan penarik perhatian (eye catching). Citra yang sebelumnya diharapkan mampu menciptakan kejutan, stimulasi, dan gebrakan informasi tak terduga (entropy) berubah menjadi pengulangan-pengulangan yang terduga (redundancy). Citra-citra berestetika dan berselera tinggi, karena kehabisan perbendaharaan tanda, pada akhirnya menjadi citra-citra yang murahan dan  dangkal. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini berlangsung saat citra-citra politik tampil dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan waktu cepat sehingga menyebabkan pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian publik.

Menurut Yasrif Amir Piliang, proses ini dapat dilihat dalam beberapa logika, yakni :
Pertama, logika kecepatan (speed), saat ada kecenderungan di kalangan tim pemenangan (capres-cawapres) mengerahkan segala potensi dan perbendaharaan tanda, citra, dan narasi dalam waktu yang dipadatkan (time compression) sehingga pada satu titik tertentu menimbulkan kejenuhan publik. Kedua, logika ekstasi komunikasi (ecstacy of communication), yaitu ekstasi dalam penampakan citra diri (appearance) capres secara habis-habisan-dengan mengerahkan segala potensi citra yang ada, bahkan citra yang telah "melampaui" kapasitas, kemampuan, kompetensi, dan realitas yang bersangkutan-tanpa mempertimbangkan kaitan antara waktu penayangan dan kondisi psikologi massa. Ketiga, logika tontonan (spectacle), yaitu kampanye politik capres dan cawapres yang telah bergeser ke arah bentuk tontonan massa, dengan mengikuti prinsip dan logika tontonan umumnya, yaitu memberi kesenangan, hiburan, kepuasan semaksimal mungkin, dengan menggali berbagai efek kelucuan, humor, dan dramatisasi-yang bersifat palsu-tanpa ada ruang untuk menginternalisasikan makna-makna politik yang sesungguhnya. Keempat, logika simulakrum (simulacrum), yaitu eksplorasi perbendaharaan tanda dan citra secara berlebihan dan "melampaui batas" sehingga antara citra politik yang ditawarkan dan realitas capres-cawapres sebenarnya ada jurang amat dalam.

Inilah capres yang dicitrakan "sederhana", "bersahaja", dan "merakyat", padahal hidup dalam kemewahan dan kelimpahan harta.
Kelima, logika mitologisasi (mithologisation). Berbagai bentuk mitos, fantasi, dongeng, fiksi, imajinasi, halusinasi- yang bukan bagian realitas seorang capres-cawapres-kini ditampilkan seakan- akan sebagai "realitas" yang sebenarnya. Inilah mitos-mitos tentang keturunan, asal-usul, kesuksesan atau kebesaran masa lalu, yang sebenarnya bukan merupakan realitas masa kini. Keenam, logika pencitraan sempurna (perfection of image), yaitu penggambaran citra seorang capres-cawapres sebagai sosok sempurna, seakan-akan tanpa cacat, kelemahan, dan dosa. Ketujuh, logika budaya populer (popular culture), yaitu menampilkan citra- citra dangkal, permukaan, dan populer dalam rangka mendekatkan seorang capres dan cawapres dengan massa populer (popular mass). Inilah iklan-iklan politik yang menggunakan gambar anak sekolah, kelompok subkultur, budaya anak muda, bahasa gaul, bahasa populer, gaya selebriti guna menarik massa. Kedelapan, logika obesitas (obesity), yaitu terlalu padat, cepat, dan tinggi frekuensi penayangan citra-citra iklan politik, sehingga menimbulkan sebuah kondisi terlalu menggembungkan tanda dan informasi, yang tidak sebanding dengan kemampuan publik dalam memersepsi, menerima, membaca, memaknai, dan menginternalisasikannya dalam sebuah sikap atau preferensi politik. Maka untuk menghindarkan proses pencitraan dari hal tersebut, dibutuhkan manajemen pencitraan (management of image) yang efektif sehingga di satu pihak citra dapat menarik perhatian dan
simpati publik, di pihak lain mampu pula menjadi ajang pendidikan politik.

Persuasi, Manajemen Pencitraan dan Opini Publik
Sebagai bagian dari persuasi, pencitraan dapat dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari yang paling sederhana/tradisional hingga yang paling moderen. Pencitraan yang positif akan berpengaruh positif pula terhadap sikap, kepercayaan dan tingkah laku orang yang dipersuasi, begitu pun sebaliknya. Pencitraan dalam komunikasi politik sangat tergantung dengan usaha-usaha persuasi yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh persuader terhadap the persuadee. Pada konteks inilah, dibutuhkan manajemen pencitraan atau satu penataan dan pengelolaan terhadap suatu kegiatan yang mempunyai dampak positif (baik) terhadap nama baik (pencitraan) individu maupun kelompok (organisasi, partai dan lain-lain).
 
Dalam Pencitraan terdapat dua elemen dasar yakni : 1) Positioning; Seperti apakah pelaku politik ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik. Konsep ini bisa diartikan sebagai sebuah hubungan yang dibuat oleh perusahaan antara produk yang dihasilkan dengan segmen khusus di pasar (Newman, 1999, h. 45). Ries & Trout (2002, h. 3) mendefinisikan “positioning” sebagai “menempatkan produk dalam pikiran konsumen”. Meski begitu, positioning bukanlah sesuatu yang dilakukan terhadap produk itu sendiri, melainkan menempatkan produk itu dalam pikiran calon konsumen. 2) Memory; Bagaimana ‘kesan terhadap pelaku politik’ di-hold dalam pikiran penerima pesan politik. Manusia pada hakekatnya adalah cognitive miser (pelit mengalokasikan sumber daya kognitifnya) dan kerap menyeleksi informasi yang ingin disimpan dalam memori; hanya hal-hal yang dinilai penting olehnya-lah yang disimpan, sedang lainnya dibuang. Apalagi dalam dunia yang dipenuhi oleh pesan-pesan komunikasi (overcommunicated society), manusia memiliki semacam mekanisme yang disebut “oversimplified mind” dimana pikiran hanya menyerap pesan-pesan yang dianggapnya tidak terlalu rumit dan sederhana.
 
Untuk mendekati dua elemen dasar di atas, dibutuhkan persuasi atau usaha menyakinkan orang lain untuk berbuat dan bertindak seperti yang diharapkan komunikator tanpa paksaan (Widjaja, 2002:67). Sementara menurut Johnston (1994), persuasi adalah proses transaksional diantara dua orang atau lebih dimana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna symbol yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap dan atau prilaku secara sukarela.
 
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap, kepercayaan dan prilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan komunikator. Simons (1976; 19-21) mengidentifikasi elemen-elemen yang bisa membantu kita mendefinisikan apa yang disebut sebagai Persuasi, yakni: 1) Human Communication. Setiap persuasi merupakan “komunikasi antar manusia” baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, lisan maupun tulisan, eksplisit maupun implisit, langsung secara face to face atau melalui berbagai bentuk media. 2) Attempted influence. Komunikasi yang dilakukan dalam persuasi selalu mencoba untuk mempengaruhi orang lain. Karenanya, persuasi bisa disebut sebagai sebuah aksi manipulatif (manipulative act). Meski begitu, persuasi tetap memberikan pilihan (choice) pada receiver nya yang membuat dia berbeda dengan Coercion yang bersifat memaksa. 3) Beliefs, Values or Attitudes. Yang coba dipengaruhi dalam komunikasi persuasif adalah Kepercayaan (Beliefs; judgement about what is true or probable), Nilai (Values; abstract judgements about such matters as what is moral, important, beautiful, etc.) dan Sikap (Attitudes; judgement about how to act).
 
Berdasarkan elemen-elemen di atas, Simmons mendefinisikan persuasi sebagai: “Human communication/designed to influence/others/by modifying their beliefs, values, or attitudes.” Karena persuasi pada hakekatnya merupakan sebuah aksi komunikasi, maka Larson (1986; 10-12), dalam rangka menjelaskan elemen-elemen yang ada dan perlu diperhatikan dalam setiap proses persuasi, memakai model komunikasi SMCR yang dikembangkan oleh Shannon dan Weaver yaitu Source, Message, Channel dan Receiver.
 
Terkait dengan source, Aristoteles menyatakan, persuasi bisa dibangun atas dasar reputasi atau kredibilitas (Ethos). Selanjutnya, Ethos bisa dibangun lewat message yang disampaikan, bisa bersifat argumen logis (Logos) atau menggunakan pendekatan emosional (Pathos). Quintilian menegaskan, selain menjadi “good speaker”, seorang persuader juga harus “good man”. (Larson; 7). Terkait message, Cicero menyatakan ada lima elemen dari “persuasive speaking” yaitu; (1) mengumpulkan atau menemukan bukti dan argumen (inventing or discovering evidence and arguments); (2) organisir argumen-argumen dan bukti-bukti itu (organizing them); (3) kemas bukti dan argumen secara menarik (styling them artistically); (4) ingat-ingat (memorizing) dan; (5) kirimkan bukti dan argumen itu sebaik mungkin (delivering them skillfully).
 
Onong Uchjana Effendy (2002:25) mengemukakan beberapa teknik komunikasi persuasif, yaitu: 1) Teknik asosiasi. Penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkan suatu objek atau peristiwa yang menarik perhatian khalayak. 2) Teknik integrasi. Kemampuan komunikator untuk menyatu dengan komunikan. Artinya dengan pendekatan verbal atau non verbal, komunikator menempatkan dirinya merasakan hal yang sama dengan komunikan. 3) Teknik ganjaran. Mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan iming-iming atau reward dari komunikator kepada komunikan. 4) Teknik tataran. Menyusun pesan dengan secermat mungkin agar menarik, enak didengar atau dibaca dan pada akhirnya akan menggiring khalayak bertindak seperti yang diinginkan komunikator. 5) Teknik Red-herring. Seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian mengalihkanya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan “senjata ampuh” dalam menyerang lawan. Teknik ini digunakan komunikator ketika dalam keadaan terdesak. 
Dalam proses persuasi untuk pencitraan politik, elemen kognitif dan afektif harus ditempatkan secara bersamaan, antara lain elemen perasaan (perasaan suka atau tidak suka terhadap sebuah konsep atau objek), elemen kepercayaan (gambaran pengetahuan tentang objek dan konsep tertentu) dan elemen perilaku (cara merespon konsep atau objek). Lebih jauh, citra dapat diasumsikan sebagai sebuah model dari proses membuat perumpamaan yang di dalam ilmu psikologi dijelaskan sebagai proses dimana penerima pesan membangun sendiri makna (dari hasil pengamatan subjektifnya) dari realitas yang dilihatnya atau simbol yang dikirimkan dari sang pengirim pesan (Grunig, l993 dalam Newman, l999:354). 

Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa citra merupakan gambaran yang utuh tentang seorang figur/kandidat, yang tersimpan dibenak pemilih. Untuk itu, perlu diperhatikan konsistensi antara program kerja yang ditawarkan dengan simbolisasi yang dibuat dan disampaikan kepada pemilih, karena membangun citra politik tidak mudah. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi citra, yang dipersepsikan oleh masyarakat dan di luar kontrol. Diantaranya adalah, faktor pesaing politik, dan latar belakang individu seperti agama, ras, suku, pendidikan, jenis kelamin, lokasi, serta umur, yang telah ada sebelum Partai/kandidat politik berusaha menempatkan citra mereka dalam memori pemilih. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh publik, baik langsung maupun melalui media massa. Citra pada publik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi. 

Roberts (1977) menyatakan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan pendapat atau prilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang lingkungan dan citra itulah yang mempengaruhi pendapat atau prilaku publik. Citra politik dapat dirumuskan sebagai suatu gambaran tentang politik (kekuasaan, kewenangan, autoritas, konflik dan konsensus) yang memiliki makna, kendatipun tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang menjadi pendapat umum.
 
Para politikus, utamanya kandidat sangat berkepentingan dalam pembentukaan citra. Sehingga tidak berlebihan, bila menjelang Pilpres 2009 saat itu, figur-figur yang muncul, berusaha keras menciptakan dan mempertahankan tindakan politik yang dapat membangkitkan citra yang memuaskan, supaya dukungan opini publik dapat diperoleh dari rakyat sebagai khalayak komunikasi politik.    

Citra politik mencakup beberapa hal yaitu: (1) seluruh pengetahuan politik seseorang (kognitif), baik benar maupun keliru; (2) semua preferensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu dari peristiwa politik yang menarik; (3) semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang mungkin terjadi jika ia berprilaku dengan cara berganti-ganti terhadap objek dalam situasi itu. Dengan ini, citra politik selalu berubah sesuai dengan berubahnya pengetahuan politik dan pengalaman politik seseorang.
 
Di antara media pencitraan politik yang sangat menonjol saat ini adalah industri media massa. Kekuatan utama media di era informasi adalah kemampuan media dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Artinya, penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan. Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari citra dan menyumbang citra.

Oleh karena opini merupakan respons yang dikontruski, maka sangat stratagis jika politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini. Paling tidak, ada tiga komponen utama di dalam sebuah opini, yaitu:  Pertama, keyakinan yang terdiri dari credulity atau soal percaya dan tidak terhadap sesuatu. Dengan marketing yang baik, khalayak akan digiring untuk mempercayai apa yang menjadi konsep dan tawaran kandidat. Semakin besar kepercayaan khalayak terhadap kandidat, maka opini yang berkembang akan semakin positif. Kedua, di dalam opini juga terkandung nilai berbentuk nilai-nilai kesejahteraan (welfare Values) dan nilai-nilai deferensi (deference value). Nilai-nilai kesejahteraan antara lain pencarian kesejahteraan, kemakmuran, dan keterampilan. Sementara nilai-nilai deferensi antara lain penanaman respek, reputasi bagi moral rectitude, perhatian dan popularitas serta kekuasaan. Dengan memahami komponen-komponen nilai tersebut, kandidat seyogyanya memahami benar jika opini tidak bisa dibiarkan mengalir secara bebas, melainkan harus dikonstruksi. Tentunya dengan cara-cara yang elegan. Ketiga, opini juga terdiri dari komponen ekspektasi. Yakni komponen yang berkaitan dengan unsur konatif. Ini merupakan aspek dari citra pribadi dan proses-proses interpretasi yang terkadang disamakan oleh para psikolog sebagai impuls, keinginan (volition) dan usaha keras atau striving. Kesadaran untuk mengemas opini publik adalah kesadaran untuk menyelaraskan keinginan dan usaha keras pencapaian tipe ideal sebuah tatanan dengan tipe ideal yang diharapkan khalayak pemilih. Artinya, semakin luas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih, maka peluang kandidat untuk memenangi pertarungan citra lebih besar.
 
Dalam berbagai kepustakaan ilmu komunikasi massa dijelaskan bahwa, pesan politik yang disampaikan oleh media massa bukanlah realitas yang sesungguhnya, melainkan realitas media atau realitas tangan kedua (second hand reality), yang dibuat oleh wartawan dan redaktur yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses penyaringan dan seleksi. Berdasarkan citra yang mungkin tidak tepat itu, dapat terbangun pada diri khalayak gambaran umum yang disebut stereotipe. Stereotipe itu diolah, diorganisasikan dan disimpan sebagai informasi politik oleh khalayak yang selanjutnya membentuk citra politik. Disinilah bahaya dari pengaruh media massa yang dipandang sebagai lembaga yang mengancam terhadap nilai-nilai kebenaran dan rasionalitas manusia.

Ernes van den Haag (1968) mengkritik dengan pedas, bahwa media massa pada akhirnya akan mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan memperluas isolasi moral serta realitas dari diri mereka sendiri. Kritikus sosial itu juga menyimpulkan bahwa media massa telah "menipu" khalayaknya, dengan menampilkan citra politik yang keliru dari hasil karya para wartawan dan redaktur. Meskipun realitas media merupakan polesan yang tidak sesuai dengan fakta dan realitas yang sebenarnya, namun tetap banyak kalangan dalam masyarakat (khalayak) yang cenderung menerima begitu saja informasi dari media massa, baik karena rendahnya tingkat pendidikan maupun kelalaian. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik individu-individu yang menjadi khalayak media massa ke arah yang dikehendakinya. Media massa juga dapat mengarahkan publik dalam mempertahankan citra yang sudah dimilikinya. Kedua hal itu dilakukan oleh media massa melalui proses gatekeeping dan agenda setting. 

Media massa juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Lee Lowinger (1968) telah menyajikan teori komunikasi massa yang disebut sebagai reflective-projective theory. Asumsi dasar teori ini adalah, media massa merupakan cermin masyarakat yang merefleksikan suatu citra yang menimbulkan banyak tafsiran. Justru itu setiap orang dapat memproyeksikan diri dan citranya. Media massa mencerminkan citra masyarakat, dan sebaliknya khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.
 
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa berita politik, tokoh politik, partai politik dan kebijakan politik dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda dan citra politik yang berbeda bagi masing-masing orang. selain itu media massa dari perspektif komunikasi politik, bukan saja cermin masyarakat politik yang ambigu, tetapi media massa juga dapat disebut sebagai cermin masyarakat politik yang retak, karena tidak mampu merefleksikan seluruh realitas politik yang ada dalam masyarakat secara menyeluruh, tepat dan benar. Berita media massa hanyalah merupakan mosaik dari keping-keping peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Kendatipun demikian, media massa tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi politik dan citra politik khalayak.


Media Massa dan Komunikasi Politik
Salah satu aktor penting dalam demokrasi modern adalah media massa. Dalam masyarakat yang mayoritas menggunakan media sebagai alat untuk mendapatkan informasi, agenda setting media berpengaruh kuat. Masyarakat menentukan pilihan maupun keputusan politiknya berdasarkan informasi yang diperolehnya melalui media. Disadari atau tidak oleh para pengguna media, agenda setting media untuk bidang politik mengarahkan pemikiran dan sikap politik si-pengguna media tersebut (McCombs dan Shaw; 1991:17-26). Kondisi ini mengantar media massa sebagai sumber yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam memperoleh gambaran dan citra realitas sosial. Asumsi ini didukung oleh berbagai teori tentang hubungan media dan khalayak diantaranya, Stimulus-Respon, Agenda Setting, The Spiral of Silence, Cultivation dan lain-lain. Teori-teori ini secara umum menjelaskan bahwa, apabila media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada perspektif ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about.

Nilai penting media massa (seperti radio, surat kabar, majalah, dan televisi) yang paling nyata adalah, kemampuannya dalam menjangkau jumlah audiens yang tidak terbatas. Perkembangan media massa, menurut J. Keane, dalam bukunya, The Media and Democracy (1991), selalu beriringan dengan aspirasi demokrasi dan perjuangan untuk meraih kekuasaan politik. Media massa telah menjadi fokus dari kompleksitas aktivitas politik yang terbaru. Demokrasi tradisional yang sebelumnya terfokus pada masifikasi, berganti pada fragmentasi. Dengan situasi yang tak kalah rumit dan dinamisnya ini, media dan politik akan terus berkembang menuju situasi yang saling terikat satu sama lain.
 
Meskipun penggunaan media dalam proses komunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi seperti agitasi, propaganda, public relations dan kampanye, tidak secara langsung menimbulkan prilaku tertentu, namun cenderung mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citra politiknya dan membangun opini bagi publik. Hal itulah yang akan mempengaruhi cara manusia berpendapat (beropini) dan berprilaku. Mcluhan (1964) menyebut bahwa media adalah perluasan alat indra manusia. Pandangan Mcluhan tersebut dikenal sebagai teori perpanjangan alat indra (sense extension theory). Media massa datang menyampaikan pesan yang aneka ragam dan aktual tentang lingkungan sosial dan politik. Surat kabar sebagai media cetak misalnya menjadi medium untuk mengetahui berbagai peristiwa politik yang aktual yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Demikian juga radio dan televisi sebagai media elektronik menjadi sebuah sarana untuk mengikuti berbagai kejadian politik yang sedang terjadi atau baru saja terjadi yang jauh dari jangkauan panca-indra. Malah Mcluhan menyebut bahwa berkat media massa, terutama televisi, dunia menjadi desa jagat dari pengalaman pengalaman yang disampaikan seketika dan dirasakan secara bersama-sama.
 
Dukungan dari media atas suatu aktivitas politik tidak hanya didasarkan pada asumsi besarnya suatu peristiwa politik, namun juga nilai politik dari peristiwa tersebut. Nilai politik ini terutama berkaitan dengan kepentingan media sendiri, dan kepentingan masyarakat, sebagai konsumen atau publik dari media tersebut. Suatu peristiwa politik akan sangat mungkin ditanggapi dengan cara yang berbeda oleh berbagai media, antara lain pada peletakan berita (utama atau biasa), volume berita dan teknik–kecenderungan pemberitaan, di mana isi media mengenai peristiwa tersebut sangat mungkin mendapat tanggapan yang berbeda oleh khalayak media yang berbeda. Aspek penting dari media massa selain faktor pesan adalah kemampuan media dalam membentuk opini publik. Adanya opini publik dengan snowball effect  sangat mungkin mendorong sikap dan priiaku atas suatu issu politik tertentu.
 
Menurut Chaffe, media massa merupakan sumber informasi politik yang penting, bukan sekedar pelengkap komunikasi interpersonal, tetapi mendukung pertumbuhan politik seseorang atau sebuah intitusi, walaupun pada akhirnya yang menentukan apakah media berpengaruh atau tidak adalah pengguna media itu sendiri . Sementara menurut Keller (dalam Czudnowski, 1983), setiap orang bisa menjadi terkenal dalam waktu 15 menit, khususnya di televisi. Selain mendongkrak popularitas, media massa juga menjadi sumber utama informasi dan stimulasi makna politik. Sementara menurut Harsono , sejumlah aspek yang membuat media massa penting dalam kehidupan politik adalah: 1) Daya jangkauannya yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi politik; yang mampu melewati batas wilayah (geografis), dan kelompok umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi (demografis), serta perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Sehingga suatu masalah politik yang dimediasikan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan. 2) Kemampuannya melipatgandakan pesan yang luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa dilipatgandakan pemberitaannya sesuai dengan jumlah ekslempar koran, tabloid, majalah yang tercetak; juga bisa diulang-ulang penyiarannya sesuai dengan kebutuhan. 3) Setiap media bisa mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan. 4) Dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa politik, sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas, belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik. 5) Pemberitaan peristiwa politik oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi. Hal ini menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan dampaknya terhadap publik.
 
Dalam fenomena politik mutakhir, Deddy N Hidayat menganggap bahwa, pers telah menjelma menjadi media driven politics. Dalam arti, setiap momentum politik mustahil menafikan kehadiran pers. Dalam fungsinya sebagai media politicsdriven, pers menjalankan fungsi penghubung antara elit politik dengan warga. Sebuah fungsi yang dulunya dominan dilakukan oleh partai ataupun kelompok-kelompok politik tertentu. Dalam banyak hal, fungsi penghubung tersebut semakin banyak yang diambil alih pers. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat:2004).
 
Upaya elit politik membangun posisitioning lewat pers memang sah-sah saja dilakukan. Pertama karena fenomena massa mengambang belum sepenuhnya diselesaikan oleh elit politik. Akibatnya banyak elit politik yang berpaling ke media, karena media bisa "mendekatkan" mereka, sekaligus membangun citra tertentu seperti yang diinginkan ke tengah masyarakat. Kedua, dalam memperebutkan sumber daya politik, pers juga "dipakai", dalam arti dijadikan saluran kepentingan untuk memobilisasi opini.
 
Secara umum, komunikasi politik selalu membahas tentang posisi media dalam ranah publik. Media menjadi sangat penting karena berada tepat di tengah pusaran kelompok-kelompok kepentingan, juga penting sebagai alat pembentuk opini publik. Dalam komunikasi politik modern, media memegang peranan penting. Namun media tidak pernah bekerja (perform) dalam sebuah ruang kosong.

Terdapat berbagai model interaksi media dengan unsur-unsur lain dalam Komunikasi Politik. Beberapa model komunikasi yang menghubungkan media dengan elemen-elemen komunikasi politik.

Berikut ini adalah model yang dipaparkan oleh Brian McNair:
Gambar 1.2. Posisi media dalam komunikasi politik. (Sumber McNair, 1999)


Dapat dipahami bahwa McNair menganggap Media sebagai sentral dari elemen-elemen komunikasi politik—semacam gatekeeper bagi seluruh pesan politik. Semua komunikasi politik dianggap mediated. Di berbagai negara maju—dimana media menjangkau semua lapisan masyarakat.
Model lain yang menggambarkan posisi media dalam komunikasi massa (termasuk didalamnya komunikasi politik) dipaparkan oleh McQuail  sebagai berikut :
Gambar 1.3. Media di antara kekuatan sosial di sekitarnya. (Sumber: McQuail, 1987)

Model McQuail ini menggambarkan bahwa media sangat dipengaruhi oleh tujuan utama media itu sendiri. Tujuan utama media yang telah teridentifikasi adalah; (1) memberikan profit kepada para pemodal—baik pemilik maupun pemegang saham, (2) ‘tujuan ideal’ yang bersifat kultural, sosial maupun politik, (3) memaksimalkan dan memuaskan audiens, dan (4) memaksimalkan pemasukan iklan. Tujuan-tujuan tersebut sering bertolak-belakang dan jarang sekali terjadi keselarasan penuh di antara keempatnya. Diakui pula bahwa ada empat faktor eksternal yang berarti bahwa ada work culture dan tujuan-tujuan lain dari media, khususnya mereka yang berorientasi manajemen atau laba, berorientasi teknis atau skill (craft), atau mereka yang mengutamakan tujuan-tujuan komunikasi.
 
Unsur Media dipengaruhi pula oleh unsur-unsur komunikasi politik lainnya, yaitu oleh institusi pemerintahan, civil society dan market. Kondisi ideal yang diharapkan oleh komunikasi politik adalah terciptanya keseimbangan antara keempat unsur tersebut. Dengan kata lain, tidak ada unsur yang dominan di antara keempatnya. Dalam model Segitiga Gazali, Media mestinya tepat berada di tengah, tidak bergeser ke sudut salah satu unsur. Ketika ada salah satu unsur mendominasi unsur yang lain, maka kualitas komunikasi politik akan berkurang—yang pada gilirannya akan merugikan semua unsur komunikasi politik itu sendiri. Hubungan antara unsur-unsur Komunikasi Politik, dapat dilihat dalam model segitiga Gazali berikut;
Gambar 1.4. Interaksi antara media-pemerintah-pasar-masyarakat dalam komunikasi politik di Indonesia.  (Sumber:  Gazali, 2005)

Dari model Gazali tersebut dapat dimengerti bahwa Komunikasi Politik tidak selamanya mediated. Ada juga saluran komunikasi politik yang secara langsung menghubungkan market (pemilik modal, advertiser, klien), government (pemerintahan) dan masyarakat. Meski pun demikian, Gazali tetap menempatkan Media sebagai gatekeeper ataupun channel yang penting dalam komunikasi politik karena kemampuan media dalam meng-amplify efek sebuah pesan politik.

Menurut Habermas, pada awalnya media dibentuk untuk menjadi bagian dari public sphere, tetapi kemudian dikomersilkan – menjadi komoditi yang didistribusikan secara massal serta ”menjual khalayak massa” demi kepentingan perusahaan periklanan. Kondisi ini pada gilirannya menjauhkan media dari perannya semula sebagai public sphere”.  Memang, konsep public sphere ini dinilai oleh Boyd-Barret memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah perhatian Habermas yang berlebihan pada berita politik serta berlebihannya Habermas dalam membesar-besarkan kecurangan yang muncul karena komersialisasi media massa di abad 19 dan abad 20-an.

Terlepas dari kekurangannya tersebut, beberapa ‘tuntutan’ dari konsep public sphere cukup baik untuk menempatkan fungsi media dengan tepat di antara unsur komunikasi politik lainnya. Berdasarkan konsep “public sphere yang disempurnakan”, McNair memberikan lima fungsi media dalam masyarakat demokratis yang ideal;  1) fungsi monitoring: memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang berlangsung dalam masyarakat itu; 2) fungsi mendidik (educate): memberikan kejujuran atas makna dan signifikansi dari fakta-fakta yang terjadi. Jurnalis harus menjaga obyektifitasnya karena value yang mereka miliki sebagai ‘pendidik’ tergantung pada bagaimana mereka memilih isu/wacana yang dipublikasikannya; 3) memberikan platform terhadap diskursus politik publik, memfasilitasi/mengakomodir pembentukan opini publik dan mengembalikan opini itu kepada publik, termasuk di dalamnya memberikan tempat kepada berbagai pendapat yang saling berlawanan, tanpa mengurangi nilai-nilai demokrasi; 4) fungsi watchdog: memublikasikan institusi politik dan institusi pemerintahan, menciptakan keterbukaan (transparansi) pada institusi-institusi publik tersebut, dan; 5) fungsi advocacy: menjadi channel untuk advokasi politik. Partai-partai, contohnya, membutuhkan ‘alat’ untuk mengartikulasikan kebijakan dan program mereka kepada khalayak, dan karenanya media mesti terbuka kepada semua partai. Lebih jauh lagi, beberapa media—umumnya media cetak—secara aktif memperjuangkan salah satu partai dalam situasi yang sensitif seperti pemilihan umum: dalam konteks ini fungsi advocacy dapat pula dikatakan sebagai fungsi persuasi.

Penutup
Sebagain besar proses komunikasi politik merupakan mediated politics atau bahkan media-driven politics.  Artinya, proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menggalang dan menghimpun dukungan politik dalam pemilu, merekayasa citra dan sebagainya, dapat dijembatani atau bahkan dikemudikan oleh industri media. Maka keberhasilan politisi di era ini, akan banyak ditentukan oleh kemampuannya membangun jaringan atau akses terhadap media, untuk kemudian mengelola opini, persepsi, merebut simpati, dan sebagainya melalui media. 

Mc Nair menyatakan bahwa, dalam era mediasi tersebut, fungsi media massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters) pesan-pesan politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (senders) pesan politik yang dibuat (constructed) oleh wartawan kepada khalayak.  Artinya, secara teoritis, hubungan politisi dan media bisa berjalan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dari sekian banyak media massa yang dapat memediasi kegiatan politik, yang dianggap paling efektif adalah televisi. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan istilah tele-politics. Tele-politics adalah sebuah fenomena baru yang menandai bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media massa—terutama televisi—dalam menjangkau pemilih. Televisi muncul sebagai kekuatan baru yang lebih masif dalam menyampaikan informasi politik kepada masyarakat. Data survei menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia paling banyak mendapatkan informasi politik melalui televisi (87%). Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih. 
 
Di Indonesia, pengaruh televisi sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku. Karena hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu. Sementara untuk aktivitas literasi angkanya lebih kecil, yaitu 68 persen dari total jumlah penduduk usia tersebut yang membaca ragam sumber bacaan selama seminggu. Ragam bacaan yang ditekuni meliputi surat kabar, majalah, buku pelajaran, buku pengetahuan di luar buku pelajaran, dan buku cerita.  Masih menurut Panca, Gejala rendahnya minat terhadap buku dimulai ketika terjadi booming televisi swasta di Tanah Air pada awal 90-an. 

Ketika televisi swasta pertama Indonesia lahir saat itu, hampir tidak ada yang menyangka jika pada satu dekade berikutnya akan ada belasan bahkan puluhan stasiun televisi swasta lain seperti sekarang ini dengan berbagai variasi tayangan.

DAFTAR BACAAN

a. BUKU
Amal, Ichsanul, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, 1998
Ali, Fachri, dkk, Kalla dan Perdamaian Aceh, LSPEU Indonesia, 2008
Arifin, Anwar, Opini Publik, Pustaka Indonesia, 2008
Baran, Stanley J & Denni K Davis, Mass Communication Theory, Foundation, Ferment, dan Future, Wadsorth, 2000
Chafee, Steven H, Political Communication, Volume VII, Sage Publication, 1975
Corner, John & Pels, Dick, Media and the restyling of politics: consumerism, celebrity and cynicis, Sage Publication, 2003
Denton, Jr, Robert, E (ed), Political Communication Ethics, An Oxymoron?, Praeger Publisher, 2000
Franklin, Bob, Packaging Politics, First Publisher, Great Britain, Edawrd Arnold, 1994
Firmansyah, Marketing Politik, Yayasan Obor indoneisa, 2007
Griffin, EM, A First Look at Communication Theory, Fifth edition, New York, 2003
Harun, Rochajat, Sumarno, Komunikasi Politik, Suatu Pengantar, Mandarmaju, 2006
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Penerbit buku Kompas, 2003
Hamad, Ibnu, “Menggugat Pers dan Partai Politik dalam Panggung Wacana Politik Indonesia” dalam Mahrus Irsyam & Lili Romli (ed), Menggugat Partai Politik, Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, 2003
Hidayat, Dedy N, Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
____________, “Menjadi Presiden dalam Era Media Presidency”, dalam Rendro Dhani, Centang Perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megawati, LP3ES, Jakarta, 2004
JA, Denny, Melewati Perubahan Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia, LkiS, Yogyakarta, 2006
Jamieson, Kathleen Hall, Packaging Presidency, A History end Criticism of Presidential Campaign Advertising, Third edition, Oxford University Press, 1996
Kavanagh, Dennis, Ellection Campaigning: The New Marketing of Politics, United Kingdom, Blackwell, 1997
Lance, Bennet & Robert Entman (ed), Mediated Politics: Communication in the future of Demokrasi, Cambrige University Press, 2001
Lesmana, Tjipta, Dari Soekarno Sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, Gramedia, 2008
Littlejohn, Stephen W. & Foos, Karen A, Theories of Human Communication,  Thomson Wadsworth, Eight Edition, 2005
Lilleker, Darren G, & Less-Marshment, Jennifer. (ed), Political Marketing, A Comparative Perspective, Manchester University Press, 2005
Lichtenberg, Judith, Democracy and The Mass Media, Cambridge University Press, 1990
McNair, Brian, An Introduction to Political Communication, Routledge, 1995
McQuail, Denis, Mass Communication Theory, 2nd edition, SAGE, 1987
Newman, Bruce. I (ed), The Handbook of Political Marketing, Sage, 1999
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, Rosdakarya, 2006
Nursal, Ahmad, Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu: Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden, Gramedia, 2004
Pfetsch, Barbara and Esser Frank, (ed), Comparing Political Communication, Theories, Cases, and Challenges, Cambridge University Press, 2004
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi), Rosdakarya, 2005
Suwardi, Harsono, dalam kata pengantar, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Hamad, Ibnu, Granit, 2004
_______________, et.all, Politik, Demorasi dan Manajemen Komunikasi, Galang Press, Yogyakarta, 2002
Suyanto & Sutinah (ed.), Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, 2005

b. JURNAL/MAKALAH
Chaffee, Steven, Studying the New Communication of Politics, Political Communication Journal, 2001
Dahlan, M. Alwi, Perkembangan Komunikasi Politik Sebagai Bidang Kajian, dalam Jurnal Ilmu Politik, Universitas  Indonesia,1989
Gazali, Effendi, Hand Book Mata Kuliah Persuasi dan Manajemen Pencitraan. Mkompol UI,  2007
    -------------------Hand Book mata kuliah Komunikasi Politik. Mkompol UI, 2006
Ryfe, David Michael, History and Political Communication; An Introduction, Political Communication Journal. 2001

c. TESIS/DISERTASI
Agung, Tri Soekarno, Komunikasi Politik Kepersidenan, Studi Pembentukan Citra Politik Persiden Susilo Bambang Yudhoyono, Tesis Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2007
Gazali, Effendi, Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study of Media Performance, Responsibility and Accountability, Doctoral Thesis Radbound University Nijmegen, 2004
Utami, Budi, Politik Pencitraan Calon Persiden, Studi Pemanfaatan Media Massa untuk Membentuk Citra Politik Megawati Soekarno Putri dan Wiranto, Tesis Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2008

d. ARTIKEL/OPINI
Amir Piliang, Yasraf, Banalitas Citra Politik, Kompas, 25 Juni 2004
Geovanie, Jeffri, Persepsi Publik sebagai Panglima, Media Indonesia, 9 Oktober 2008
Haris, Syamsuddin, Parpol, Pemilu 2009 dan Efektivitas Presidensial, Media Indonesia, 5 Januari 2009
Katon A, Marbawi, Media Kampanye, Media Massa Kalahkan Mesin Partai, Media Indonesia, 8 November 2008
Muhammad, gunawan, Gerai, Majalah tempo, 27 Juli 2008
Muhtadi, Burhanuddin, Tele-politics, Iklan, dan Perilaku Pemilih, Media Indonesia, 14  Januari 2009
Panca Astuti, Palupi, Saat Literasi Dibenamkan Televisi, Kompas, Sabtu, 3 Januari 2009

e. BERITA SURAT KABAR/MAJALAH
Amien Tolak Boediono, Pikiran Rakyat, 13 Mei 2009
Elektabilitas JK-Wiranto Diperkirakan Naik, Media Indonesia, 21 Mei 2009
Golkar Bisa Wafat Sebelum Pilpres, Rakyat Merdeka, 30 Desember 2008
Gus Dur sebut Boediono IMF, Indopos, 18 Mei 2009
Kalla: Koalisi Kebangsaan Adalah Masa Lalu, Tempo Interaktif, 19 Desember 2004
JK Sidak Sepatu Para Menteri, Rakyat Merdeka, 10 Januari 2009
JK Capres yang Sederhana, Majalah Tokoh Indonesia, Edisi 09, November /2008
Megawati Dkk Menilai Pemerintah, KPU tidak Netral, Media Indonesia, 15 April 2009
Pemilu 2009 Terancam, Kompas, 15 April 2009
Perseorangan Tak Bisa Jadi Calon Presiden, Kompas, 18 Februari 2009
Pilpres Lebih Semarak dan Ketat, Media Indonesia, 15 Mei 2009
Saya bukan Orang Jawa, Rakyat Merdeka, 16 November 2006

Gambar Profil: Google.com

Tulisan pernah dipublikasikan pada Jurnal Dinamika Fisip Universitas Baturaja, Palembang, Sumsel, Oktober 2010.
Comments