Minggu, 23 Januari 2011

OBYEKTIFITAS MEDIA DALAM PILKADASUNG ACEH

 
(dalam Forum Diskusi Pasca Sarjana FISIP Komunikasi UI, 2008)

W.T.Anderson dalam sebuah tulisanya menyebutkan, Media mengambil bahan baku dari pengalaman dan mengemasnya dalam bentuk cerita; ia menceritakan kembali cerita itu kepada kita, dan kita menyebutnya realitas. Dalam konteks masyarakat kita secara umum  masih awam terhadap proses sebuah berita. Maka pertanyaan benarkah media memiliki kekuatan  yang mampu mempersuasi dan mengajak kelompok  masyarakat untuk bertindak? Tindakan macam apa yang dapat dilakukan pembaca sebuah media yang penuh  dengan informasi bias dan terkadang semu? Juga bagaimana media memainkan peran dalam ‘menyejukkan’ masyarakat yang sedang mengalami multikrisis.
Lemahnya pemahaman tentang conten analisis isi media, menyebabkan masyarakat kita menerima secara “mentah” sebuah pemberitaan. Masyarakat Aceh juga mengalami hal serupa. Ketika media tidak mampu mengemas sebuah realitas secara obyektif, dikhawatirkan terjadi konflik berlanjut di Aceh.  Seawam-awamnya masyarakat kita pasti tahu bahwa media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik informasi yang disampaikan. Dalam perkembangan muthakhirnya minimal  media memiliki tiga kepentingan utama; kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan kekuasaan (power interest).dan kepentingan public. 
Kepentingan public inilah sebenarnya yang mendasar, dan media menjadi ruang public/public sphere yang obyektif. Ironinya public sphere malah sering terabaikan yang diakibatkan oleh kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Kuatnya kepentingan inilah sesungguhnya membuat media tidak obyektif/netral, jujur, adil dan terbuka. Yang pada akhirnya menimbulkan persoalan obyektivitas pengetahuan.Yasraf Amir Pilliang dalam post realitas menyebutkan, kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan menentukan apakah informasi yang disampaikan mengandung kebenaran (truth), atau kebenaran palsu (psedo-truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merefresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau menyimulasi realitas.  Masyarakat umumya berada diantara dua kepentingan utama media, yang menjadikan masyarakat mayoritas diam, tidak memiliki kekuatan/kekuasaan  dalam membangun dan menentukan informasi milik mereka sendiri. Hegemoni dan politik media inilah yang mesti diseimbangkan dengan kepentingan public, yang pada dasarnya pemilik informasi.  Media berkewajiban  untuk menyajikan liputan secara berimbang (cover both side), check and recheck serta balancing reporting. Artinya masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jujur dan benar.
Harus diakui bahwa media memiliki kekuatan  mulai dari proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan angle, penambahan atau pengurangan foto dan gambar serta lainnya. Dengan demikian sebenarnya media punya potensi untuk jadi peredam, pencerahan atau pun pendorong munculnya konflik.  Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya. Mengaburkan dan mengeleminirnya.  Media bisa merekonstruksi realitas , tapi juga bisa  menghadirkan hiperrealitas atau realitas semu yang dapat membingungkan masyarakat. Sebagai contoh Kaidah media “big name big news, no name no news”, dalam paradigma wacana media, khususnya yang menyangkut calon pejabat atau pejabat  adalah mesin produksi berbagai anti –realitas. 
Ada tiga posisi media dalam memberitakan sebuah realitas atau isu yang dapat mendatangkan konflik dalam masyarakat, yaitu sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Dengan posisi sebagai intersifier, media mem-blow up realitas yang jadi isu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan. Sebagai  conflict diminisher,  yakni media menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, bisa kepentingan ideologis atau prakmatis. Selain itu juga media dapat memposisikan diri sebagai conflict resolution, yaitu media menjadi mediator dan fasilitator dengan menampilkan isu  dari berbagai perspektif serta  mengarahkan para pihak pada penyelesaian dan berita yang seimbang. Untuk menjadi media yang obyektif dan dapat menjadi Conflict resolution, media mesti menerapkan pola penyelidikan (investigation) dan pola ini masih belum mampu diterapkan oleh media  kita. Artinya pola investigasi baru sebagai wacana bagi sejumlah wartawan kita dalam meliput berbagai isu atau punca konflik diberbagai pelosok tanah air. Media kita juga sama sekali belum mengenal  provetic journalism sebagaimana diterapkan oleh media Negara maju.  Yang sering terjadi adalah  posisi media sebagai memunculkan isu/konflik dan mempertajamnya sebagai comunity kepentingan. Pencampuradukan perekayaan antara kepalsuan dan realitas ini (simulacra) atau hiper-realitas mengakibatkan konflik tidak akan pernah selesai, tentu  dalam wajah dan bentuk baru. Lihat saja, bagaimana media mempraktekkan jurnalisme omongan/talking journalism,  merupakan kutipan atas pernyataan  seorang pejabat atau calon pejabat serta diikuti oleh counter  dari pakar atas pernyataan tersebut  atau sebaliknya.  Terkadang untuk mengeliminir kebohongan dari sumber resmi, umumnya media kita  mencari suara lain dari kalangan akademisi atau pakar. Celakanya, tak jarang kondisi obyektifnya  bukan hanya tak menguasai data tapi juga tak menguasai persoalan. Maka sekali seorang jurnalis terlibat dalam pekerjaan pembelaan terhadap salah satu pihak/kelompok, maka sesungguhnya ia telah menjalankan aksi propaganda. 
Harus diakui memang, kebanyakan media kita tergolong masih merupakan  industri kecil yang miskin., yang tidak bisa mendanai para wartawanya untuk turun lansung ke lapangan.  Banyak diantara laporan yang diturunkan media kita lebih merupakan kompilasi berita. Keadaan ini ditambah dengan kenyataan selama 33 tahun kita menerima kenenaran palsu. Memang dalam masyarkat yang majemuk  dan Negara – bangsa yang tengah dilanda multikrisis, bisa-bisa masalah structural (vertical) yang menyangkut masalah penghasilan (ekonomi), kedudukan social politik, pendidikan dan lain-lain bisa tiba-tiba meledak dan berkembang menjadi masalah (horizontal) kelompok, sikap perilaku, dan sebagainya. Media dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjaga ketentraman masyarfakat termasuk memulihkan keadaan. Jangan malah, menyiramkan bensin dalam kobaran api.  Saya kira salah satu komponen keberhasilan Pilkasung secara demokratis di Aceh juga keterlibatan media secara obyektif, menjaga netralitas dan memfungsikan diri sebagai ruang public dan conflict resolution.

******