Jumat, 05 November 2010

REINTEGRASI DAN SPIRIT JANDA KONFLIK ACEH


Saya tidak sanggup membayangkan, mengapa dunia tempat kita berpijak ini senantiasa dipenuhi oleh hujan air mata, bermandikan darah, penuh dengan nyayian kepedihan, teriakan kesakitan, jeritan minta tolong dan jeritan kematian. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan secara individu maupun kolektif seolah menjadi tradisi baru, tradisi yang keluar atmosfir ketidakpastian dalam banyak hal di negari ini. Perang dan konflik, yang salah satunya disebabkan oleh rangsangan pemikiran, telah menjadi ruang efektif untuk menghabiskan atau meminimalisir kuantitas dan kualitas manusia. Lihatlah kekerasan yang dipamerkan manusia abad ini, mulai dari sudut Balkan sampai ke wilayah tanduk Afrika, dari negara-negara latin seperti Kolumbia, sampai ke Fasifik seperti Fiji atau daratan Aborijin Australia. Dari Asia Selatan seperti Srilangka hingga ke ke Chechnya di kawasan Kaukasus. Tetangga kita Thailand, Myanmar, Malaysia, Filipina dan dari Aceh, Jakarta  sampai ke Papua. Kekerasan, tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong kita pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban bangsa.
Kita memang dipaksakan untuk menyaksikan berbagai kekejaman dan ketidakbenaran ini. Ketidakbeneran ini mesti dilawan sekuat tenaga oleh masing-masing generasi. Generasi yang cinta akan perdamaian. Aceh damai, Indonesia damai dan dunia juga damai, mengutip Karl May Dan Damai di Bumi: ”bawalah warta gembira ke seantero dunia, tetapi tanpa mengangkat pedang dan tombak, dan jika engkau bertemu rumah ibadah, jadikanlah ia perlambang damai antarumat”.
 Dan Aceh menjadi salah satunya, yang telah ratusan tahun menjadi ladang subur eksperimen para aktor tangan besi yang haus darah. Berbagai data diperlihatkan bahwa perempuan menjadi komunitas paling dirugikan ketikan perang dan konflik berkecamuk. Wajar ketika dikatakan bahwa wajah kemanusiaa Aceh mengalami keretakan hebat; perempuan kehilangan suami, kemiskinan, anak-anak tanpa orang tua, kekerasan, pembunuhan menjadi bahasa verbal dan non verbal keseharian. Perempuan dan dara-dara rupawan terpaksa melawan dan bahkan mengangkat senjata dalam pasukan atau armada Inong Balee.
 Pasukan yang asal mulanya di bentuk Oleh Srikandi Aceh Laksamana Keumalahayati saat perang dan konflik dengan Portugis pada masa pemerintahan Sultan Alaidin RiayatsyahAl-Mukammil, kalau tidak keliru antara tahun 1589-1604. Keumalahati telah membuktikan ketangguhan perempuan dalam berbagai bidang tak kecuali bidang kemiliteran. Perempuan menjadi pasukan perang sudah biasa terjadi di bumi Aceh dalam mengkonstruksi realitas sejarahnya masing-masing. Mungkin bagi srikandi ini, kemungkinan untuk hidup di dalam rumah dan di luar rumah sama saja. ”Tak ada hormat terhadap jiwa manusia dan tak ada empati untuk menjaga manusia secara manusiawi”, ungkap Sulaiman Tripa suatu ketika di Banda Aceh.
Azhari, sastrawan Aceh yang menerima hadiah Free World Award pada bulan Mei 2005 lalu, menulis: ”Dan saya sebagai si terkutuk dilahirkan dan tumbuh di tanah yang buruk itu, namun saya begitu mencintai Aceh dengan segala alamnya yang elok dan masyarakat yang ramah untuk menyambung hikayat lama dan menyampaikan kepada dunia!”. Bagaimanapun kondisi dan situasi Aceh, yang jelas mereka telah mampu mengukir sejarah dalam mempertahankan identitas kebangsaan dan keagamaannya.
Saya berani mengatakan bahwa, dalam percaturan sejarah Aceh memberikan relatif banyak cerita khas tentang perempuan. Terutama tentang keterlibatan perempuan dalam aktifitas politik praktis dalam pemerintahan dan peperangan dalam mempertahan identitasnya. Aceh telah melahirkan perempuan-perempuan tangguh dan utama. Keberanian dan kesatriaan perempuan Aceh melebihi segala perempuan yang lain dalam mempertahankan kebangsaan dan keagamaan.
Kalau kita baca buku sejarah Aceh, salah satunya buku Wanita utama Nusantara dalam lintasan sejarah tahun 1994, Misalnya menyebutkan Ratu  Pasai Malikah Nur Ilah yang mangkat tahun 1380, tidak saja menjadi raja Pasai tapi juga Kedah diseberang selat Malaka. Sekitar 585 tahun silam hidup seorang ratu penguasa tertinggi kerajaan Pasai, yaitu Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih dari 20 tahun, dengan monumen makam terindah di asia tenggara yang terdapat di Aceh Utara tepatnya Geudong Samudera Pasai sekarang. Kemudian seorang perempuan yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam lebih dari 35 tahun Tajul alam Safiatuddin Syah dari tahun 1641-1675 M. Setalah mangkat Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah pada hari Rabu 23 Oktober 1675, bukan kedudukan perempuan sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Aceh berakhir. Masih terdapat tiga perempuan lagi yang menjadi sultanah. Yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688) dan Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Kalau kita menelusuri sejarah perlawanan Aceh terhadap kolonialisme dan imperialisme yang melibatkan banyak srikandi Aceh dalam bahasa Zengraaff menyebutkan ”Grandes Dames” (wanita-wanita besar) ketika melawan kolonialis Belanda antara tahun 1873-1942. Seperti Cut Nyak Dhien atau Cut Nyak Him yang bergelar Teuku di Bitai, kuburan beliau terdapat di Sumedang Jawa Barat,  Cut Nyak Meutia Aceh Utara, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Bagaimana Putro Phang mampu menginisiatifkan struktur lembaga perwakilan di Aceh yang mewajibkan penglibatan perempuan dan masih banyak terdapat perempuan-perempuan utama di Aceh yang terkadang tidak tercatat dalam sejarah di negeri ini.   
Perempuan Aceh menjadi fenomenal. Perempuan Aceh dalam masyarakatnya sejak masa kerajaan Aceh Darussalam, dimasa perang, konflik atau damai, hingga sebelum dan sesudah tsunami adalah fenomena unik yang nyaris tak ada padanannya di tempat lain. Dalam sejarah dunia Islam, bahkan sejarah dunia secara umum, hanya di Aceh lah perempuan bisa berperan utama hingga menjadi sultan, legislator, panglima perang, dan admiral disamping terkenal lewat peran tradisionalnya. Dalam sejarah Aceh kontemporer, perempuan menjadi pivot keberlanjutan komunitasnya dalam masa perang dan konflik serta bertahannya komunitas. Dan meraka mampu bertahan sampai saat ini, trend feminisme dan gender mereka kunyah dengan landasan akidah dan agamanya.  Mereka tidak terjebak dalam kapitalisme libidonomi yang membabi buta, seperti yang terlihat saat ini yang melanda hampir seluruh negeri.
Sebagai ilustrasi saja, untuk kita renungi bersama; nilai keperempuanan yang pernah di wujudkan oleh perempuan-perempuan Aceh dari masa kesultanan sampai saat ini. Sudah mulai terkikis oleh ekploitasi libidonomi kapitalisme. Bayangkan  tubuh perempuan akan bernilai ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat berbagai bahasa tanda (bodily sign), yang dapat menyertai tawaran sebuah komuniti – mobil, motor, lemari es, makanan, sepatu, baju dll. Semakin seksi dan berani cover girl  dalam sebuah iklan misalnya, maka nilai tukarnyapun tinggi  dalam pasar libido secara ekonomis dengan prinsip capital.
Yang terjadi adalah budaya ketelanjangan, tubuh menjadi obyektifitas ektrem yang meninggalkan batasan moral, batasan social, batasan spiritual. Tidak ada lagi nilai subyektifitas, seperti privasi, rahasia, rasa malu, tabu, risih atau rasa berdosa. Batas-batas antara ruang privat dan ruang public yang selama ini membatasi, kini telah didekonstruksi. Domain privat seperti aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks kini dipertontonkan sebagai domain public dan menjadi milik public, jadilah kita sebagai masyarakat cabul – society of the obscene. Richard Harland menyebutnya antisocial yaitu tidak bertanggungjawab secara social.
Celakanya, budaya posmodernisme dekonstruksi mendapat respon yang antusias dari berbagai kalangan dinegeri ini; anak muda (youth culture), dengan seks bebas, pesta seks ABG, seks sekolahan, pelacuran diberbagai sudut kota, narkotika menjadi pelampiasan. Para pengusaha (kapitalis) menggunakan untuk mengikatkan daya tarik komoditi; gadis iklan, foto model, gadis pajangan, prostitusi, gadis pangilan, pantipijat plus-plus.
Media mengunakan untuk meningkatkan daya tarik dan rating. Bahwa sesungguhnya ada berbagai dimensi yang hilang dalam masyarakat kita; dimensi rahasia, rasa malu, tabu, norma, adat, rasa berdosa, dan dimensi spiritual. Digantikan dengan dimensi ketelanjangan, ketidakacuhan, sekularitas, materialistis, individualistis.
Meminjam pendapat Idi Subandi Ibrahim dalam sebuah buku Hegemoni Budaya 1997, bahwa dari berbagai peristiwa  yang kita saksikan  lewat prisma berita global, ternyata dunia  yang kita bayangkan  bukanlah wajah dunia  yang penuh kedamaian  dan tanpa kegelisahan. Tapi, malah kejutan-kejutan yang kita dapatkan.
 Fenomena seksualitas, misalnya dalam budaya media merupakan penanda dari kreativitas dekonstruktif pekerja media untuk membentuk citra sosial. Bahwa seksualitas adalah energi tanpa batas dari media yang menutup rasa kebosanan. Dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas adalah energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan.
Pilliang dalam Postrealitas 2004, mengungkapkan bahwa fenomena pornogafi, mistik-klenik dan kekerasan dalam prisma kaca televise kita, semakin meluas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana berbagai prinsip, konsep, pandangan dunia (world view), makna dan nilai-nilai yang berasal dari filsafat modernisme bahkan postmodernisme memberi bentuk pada media. Sehingga ia melampaui (hyper)- melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama.
Penggunaan tubuh perempuan juga tidak bisa terlepas dari kapitalisme-sebagai sebuah ideology ekonomi, kearah apa yang disebut sebagai libidonomi, yaitu system ekonomi yang didalamnya terjadi eksploitasi secara ekstrim segala potensi libido sebagai komunity, dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme menjadikan tubuh dan segala potensi libido-nya- sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan capital. Bahwa ada sebuah efek sinergis yang kuat antara kapitalisme sebagai system ekonomi politik dan postmodernisme  sebagai sebuah system pemikiran budaya menjadi sebuah elemen yang sentral dalam produksi benda-benda komoditi dalam media.
Tubuh perempuan khususnya tidak saja dijadikan komoditi, akan tetapi juga sebagai metakomoditi yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi lainnya. Dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksploitasi nilai gunanya (use vilue)-pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange vilue) seperti gadis model, gadis peraga, hostess, dan juga nilai tandanya (sign vilue) seperti erotic magazine, erotic art, erotic video, erotic photogafi, erotic film, erotic vcd, majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porno dan lainnya. Eksploitasi tersebut berlansung mengikuti model-model pembiakan atau pelipatgandaan secara cepat, baik dalam cara, bentuk, varian, teknik, maupun medianya.
Identitas perempuan di negeri ini, mulai runtuh pelan-pelan ketika, yan menjadi figur-figur atau tokoh-tokoh yang dibanggakan adalah tokoh kapitalis; yang dapat merusak nilai-nilai dan tatanan sosial cuktural perempuan. Kembali pada figur perempuan Aceh, ada yang berpendapat bahwa, walaupun peran perempuan Aceh sangat pivotal, tingkat peran, domain dan sasaran peran itu sendiri naik-turun, berbeda dan berubah dari masa ke masa dan antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Suatu kali perempuan Aceh bisa terlihat dominan di bidang hukum atau politik, di waktu lainnya, perempuan Aceh lebih menonjol peran sosialnya. Ini menjelaskan bahwa perempuan Aceh sangat menyatu dan berkembang dengan lingkungannya. Perempuan Aceh tidak hidup dalam ruang kosong tanpa dimensi.
Demikian uniknya posisi perempuan dalam masyarakat Aceh sehingga telah menjadi bahan debat yang bersemangat antara feminis-liberal yang keblinger disatu pihak, dan kalangan konservatif-dogmatif dipihak lainnya. Ironisnya, pelaku dan asal ide pada dua ujung paling ekstrem ini biasanya adalah non-lokal. Perempuan Aceh sendiri jalan terus dengan kiprahnya. Perempuan Aceh sepertinya enggan bermain di tingkat isu, tapi terus berjuang pada aras aksi. Jika melakukan advokasi pun seringkali yang dipilih adalah moderasi.
Perempuan Aceh telah mencoba menghilangkan mitos bahwa wilayah politik dan militer hanya milik laki-laki. Mereka telah membuktikan kepada generasi saat ini, bagimana mereka yang pergi meninggalkan ”rumah yang damai“, untuk berperang  dengan mengembara di hutan-hutang yang sunyi, yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk sebuah perjuangan yang hasilnya waktu itu tak pernah pasti.
Mereka inilah yang mempertahankan identitas ke Acehan berupa Islam dan meraka telah menjadi motivator, dan spirit perempuan Aceh sampai dengan saat ini. Ya, memang ketika perang berkecamuk dan konflik menjadi hiasan hidup, Aceh selalu melahirkan perempuan-perempuan tangguh.
Semuanya perang dan konflik yang melanda Aceh ber abad-abad lamanya, boleh dikatakan upaya mempertahankan identitas ke Acehan atau kebangsaan dan keagamaan. Sekali lagi, secara periodic akar masalah dari konflik Aceh adalah karena tidak teraktualisasikannya identitas keacehan dalam wadah nation state yang dijalankan dengan system politik yang mendominasi, sentralistik, militeristik dan otoriter oleh pemerintah pusat. Dapat dimaklumi juga bahwa mengapa ultimatum perang pemerintah Hindia Belanda pada 26 Maret 1873 disambut dengan perlawanan yang gigih oleh seluruh konponen masyarakat Aceh saat itu. Selama berpuluh-puluh tahun mereka sanggup berperang. Tujuannya amat jelas untuk mempertahankan identitas keacehan yaitu Islam.
Munculnya gerakan bersenjata Teungku Daud Beureueh periode 1953-1959, juga ditandai dengan menghilangkan identitas keacehan oleh Soekarno berupa janji penerapan syariat Islam yang tidak ditepati. Bahkan mencabut status propinsi Aceh dan menggabungkannya dengan Sumatera Utara. Yang kemudian memunculkan protes. Dalam konteks itu pemerintah malah melakukan tindakan militerisasi.
Pemberontakan Hasan Tiro/GAM sejak tahun 1976, tidak semata-mata masalah syariat Islam dalam pengertian ritual belaka tapi menyentuh aspek politik, ekonomi social dan budaya. Dalam pandangan GAM proses aktualisasi identitas keacehan tidak mungkin bias terwujut dalam sebuah Negara yang dari segi ideology dan system pemerintahannya dianggab salah. Identitas Aceh dan daerah lain dari dulunya sudah terbentuk dan masing-masing memiliki definisi dan karakteristik sendiri-sendiri. Hanya mungkin teraktualisasi jika ideology Indonesia bukan pancasila dan system negaranya adalah federasi. Pemberlakuan UU No.5 Thn. 1974 tentang pemerintahan daerah, UU No. 5 Thn. 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan yang dilahirkan Orde Baru adalah bukti kuat adanya politik dominasi/sentralistik. Yang dipraktekan dengan melakukan tekanan  ekonomi terhadap daerah lewat kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Kehadiran industri-industri besar di Aceh, bukan malah terberdayanya masyarakat. Yang terjadi justru memunculkan kantong-kantong kemiskinan, kesenjangan antara penduduk local dengan pendatang, Bahkan tertutupnya partisipatif politik local yang menyebabkan institusi, aturan, norma dan masyarakat local terpinggirkan termasuk elit-elit lokal.
Munculnya berbagai gerakan protes sipil sejak periode 1989-1999 adalah juga akibat langsung dari system tersebut. Dengan dalih menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pemerintah sejak tahun 1989 menjadikan Aceh  sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)  khususnya untuk tiga daerah utama yang dianggab basis GAM daerah ini juga tempat beroperasinya mesin-mesin ekonomi pemerintah bersama mitranya  yaitu Aceh Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur.  Dalam cacatan investigasi masa DOM inilah berbagai praktek tindak kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) bahkan terjadi pembunuhan besar-besaran (the crime of genocide). dilakukan oleh militer di sepanjang Operasi Jaring Merah I hingga VIII. Akibat praktek pelanggaran HAM ini telah menimbulkan berbagai efek. Efek psikologis misalnya terjadi perubahan kepribadian (tidak ada harga diri, tidak percaya orang lain, merasa tidak berarti dan hilang tujuan hidup). Gangguan kognitif seperti gangguan pikiran, intelegensia, hilangnya konsentrasi, bingung, disorientasi atau kesukaran memori. Efek lain adalah terjadinya perubahan afektif berupa panik, cemas, takut, depresi, iritabbe dan problem kehidupan lainnya.
Bahkan setelah DOM ditarik rupanya tidak hanya tiga wilayah tersebut eskalasi kekerasan meningkat tapi wilayah Aceh selatan, Aceh Barat, Bireun, Aceh besar dan Aceh Tengah. Adanya tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlansung secara terus menerus baik masa DOM maupun pasca DOM inilah yang menjadi akar dari munculnya konflik baru antara gerakan sipil dengan pemerintah pusat dan daerah. Walaupun ketiga bentuk perlawanan rakyat ini memiliki latarbelakang dan akar masalah yang berbeda tapi tetap dalam kerangka identitas keacehan. Identitas disini lebih dipahami dalam konsepsi psikologik yaitu system kehidupan orang Aceh, seperti cara pandang, cara bersikap, cara bertindak, dan cara menjalankan kehidupannya.
Saya melihat identitas keacehan lebih kepada membentuk citra diri; sebagai sitem social, budaya, agama, politik dan ekonomi. Juga bentuk harga diri; lebih kepada cara masyarakat Aceh dalam melihat harkat dan martabatnya. Seperti sebutan masyarakat yang religius, pantang menyerah, kritis, atau berani.
Kita juga mesti melihat,  suatu identitas politik, sosial budaya dan ekonomi sudah lama terbentuk sejak awal abab ke XVI (1520 M). Yang ditandai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah.  Dua pilar yang mendasari dan mewarnai identitas masyarakat Aceh adalah Islam dan perdagangan. Menurut J.C.Van Leur, melihat masyarakat Aceh yang egaliter termasuk masyarakat ideal maritim yang tentunya amat berbeda dari ideal type masyarakat agraris.
Apapun alasannya, perang dan konflik yang terjadi di Aceh dalam berbagai masa, senantiasa menyingkirkan hakikat dan martabat kemanusiaan. Rekayasa sosial lewat perang dan konflik telah membunuh karakter kemanusiaan dan manusia itu sendiri sebagai khalifah di muka bumi. Itulah bahasa kemanusiaan dipertontonkan pada setiap generasi. Thomas Hobbes dan Machiavelli, relevan ketika mengatakan hakikat kehidupan manusia memang perang, walau punya keinginan damai. Eksperimen rekayasa sosial lewat perang dan konflik terus berlangsung di negara ini. Cukup sudah eksperimen rekayasa sosial ini dipraktekan oleh Vladimir Ilyic Lenin dalam Revolusi Oktober 1917 dengan catak biru Marxisme-Leninisme. Mereka tidak memperdulikan hakikat kemanusiaan bahkan tidak menghitung jutaan manusia mati sia-sia; tangan besi terkadang apa yang dilakukan sering tak lebih dari kepentingan dan klaim kebenaran ideologi; kapitalis, komunis, liberalis dan sebagainya, ya.. sekali lagi kepentingan ideologi. Padahal, dalam Al Quran- kitab suci umat Islam. Allah SWT berulangkali menegaskan: Bahwa segala kerusakan bumi, disebabkan oleh tanga-tangan manusia. Manusialah yang memanisfestasikan keraguan Malaikat ketika Tuhan menegaskan akan menciptakan manusia.
Atau lebih jauh, dalam Kitab umat Islam Al Quran surat Al-Ahzab:58 dan An-Nisa’:93 Allah berfirman: “orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kedustaan dan dosa yang nyata.”  Dan ayat berikutnya Allah mengatakan: ”Dan barang siapa yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya ialah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah itu murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
Kekecewaan peradaban kemanusiaan di ungkapkan oleh Kahlil Gibran dalam salah satu bukunya, ”Aku mencari kesunyian, pengasingan dan kesendirian karena aku benci akan istana yang besar dan hebat yang disebut peradaban, karena bangunan dan arsitakturnya yang bagus dan berdiri tegak diatas bukit tengkorak manusia”. Ya, itulah noda hitam dalam sejarah kemanusiaan terus berlalu dengan alasan kemanusiaan pula, tak mudah dihapuskan. Paling tidak, segala kekejaman manusia kepada manusia yang terjadi dalam setiap peradaban, menjadi catatan sejarah kelam. ”Memang dalam Millenium ini, yang paling berbahaya adalah perilaku (destruktif) manusia”, ungkap Dino Patti Djalal dalam suatu diskusi di tahun 1999.
Atau simaklah bait-bait syair dalam lagu Ebit G. Ade; ”bila masih mungkin kita menolehkan batin, atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas. Mungpun masih ada kesempatan buat kita mungumpulkan bekal perjalan abadi. Kita mesti ingat tragedi yang memilukan. Kenapa harus mereka, yang terpilih menghadang, tentu ada hikmah, yang  harus petik. Atas nama jiwa, mari heningkan cipta. kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu entah sampai kapan, tak ada yang bakal dapat menghitung. Hanya atas kasih-nya, hanya atas kehendak-nya kita masih bertemu matahari. Maka yang terbaik hanyalah segeralah bersujud mumpung kita masih diberi waktu”.
Mungkin, makna-makna yang tersimpan dalam syair lagu ini bisa mengetuk ketulusan dan keihklasan hati kita dalam melihat masa depan Aceh yang damai. Aceh yang memiliki identitas dan kekhasan tersendiri.
Kita patut bersyukur perjanjian Damai Pemerintah RI dan GAM (MoU) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinky (Finlandia), merupakan momentum mengakhiri kekerasan selamanya dari bumi Iskandar Muda. Semoga ini menjadi akhir dari sebuah sejarah kekerasan (the end of violence history) yang ada dimuka bumi. Akhir dari sebuah sejarah, walau dalam bentuk berbeda bagian dari tesis The end of history Fukuyama. Kalau di Aceh, berakhirnya sebuah sejarah melahirkan kedamaian sebagai pemenangnya. Sedangkan Fukuyama, akhir sebuah sejarah ditandai dengan munculnya kapitalisme sebagai pemenang. Namun satu hal yang pasti, ada impian banyak orang di Aceh yang sudah lama terpendam, bahwa bangun besok pagi tidak ada lagi berita surat kabar tentang kematian yang tak wajar, tak ada lagi ribuan nyawa terkubur sia-sia, tak ada lagi anak-anak sekolah ditengah tembak menembak, tak ada lagi bangkai manusia berceceran di pinggir jalan, tak ada lagi pemerkosaan secara bergilir, tak ada lagi pelecehan dan penghinaan yang menisbikan hakikat kemanusiaan.
Perjanjian dan kesepakatan akan terselamatkan bila melihat keberadaan manusia sebagai  tujuan. Sudah lama Aceh mengiginkan damai. Damai yang itu bukan sekedar selera, tapi kebutuhan. Kalau damai sudah menjadi kebutuhan, maka implementasi dan praktek di lapangan juga sesuai dengan MoU yang sudah disepakati. Maka untuk mengkoordinir perencanaan dan pelaksanaan proses reintegrasi ini, berdasarkan instruksi pemerintah  No. 15 Tahun 2005, maka pada  pada Februari 2006 melalui SK Gubernur No. 330/213/2006 dibentuklah Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang kemudian berubah nama menjadi  Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). BRA mengemban misi antara lain: mengakomodir perencanaan dan pelaksanaan antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah, baik domestik maupun asing untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi dalam rangka reintegrasi Aceh, sesuai dengan MoU Helsinki; melaksanakan program dan kegiatan yang berkaitan  dengan reintegrasi Aceh  menuju perdamaian  yang berkelanjutan  di Aceh; mengakomodir dan memantau pelaksanaan pemberdayaan di kabupaten/kota agar realisasi program sejalan  dengan upaya pemenuhan kesepakatan MoU; memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang telah disepakati; dan mengkompilasi dan mendistribusikan laporan atas realisasi program yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga pelaksana kepada institusi terkait. Badan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu Badan Pelaksana (Bapel), Forum bersama (Forbes) dan Badan pengawas. Jelas, misi yang di emban oleh BRA sangat kompleks dan berat.
Dalam sebuah Lokakarya Nasional untuk menyusun Rencana Strategis BRDA tahun 2008-20010, di Jakarta pada 3 Oktober 2008, salah satu isu penting adalah belum tuntasnya penanganan terhadap perempuan korban konflik, Inong Balee dan anak-anak korban konflik. Sebelumnya diskusi terbatas  yang diprakarsai oleh Ma’arif Institut – UNDP September 2007 di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, sempat saya usulkan untuk mendesak semua stakeholders yang terlibat dalam damai Aceh lebih memperhatikan janda korban konflik dan inong balee. Seminar dan dialog di Banda Aceh september lalu, juga sempat dimunculkan wacana untuk dibahas kembali tentang rekomendasi dari Duek Pakat Inong Balee (DPIA I dan II).
Kita tahu, bahwa dalam perang dan konflik Aceh perempuan yang mengalami dampak paling berat. Musibah tsunamipun mayoritas korban meninggal adalah perempuan. World Vision memperkirakan 60% dari korban meninggal adalah perempuan, sementara rasio yang selamat adalah 1:3 antara perempuan dan laki-laki. Penelitian yang dilakukan Flower Aceh juga menunjukkan bahwa 75 % dari pengungsi yang ada di beberapa barak adalah laki-laki.
Dalam sebuah seminar “Perempuan dalam perdamaian Aceh“ Banda Aceh 16 Agustus 2006, Syarifah Rahmatillah salah seorang perempuan Aceh yang aktif memperjuangkan gender mengatakan; “adalah merupakan suatu kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan masyarakat jika mereka mengabaikan peran dan suara perempuan dengan menutup kesempatan dan tidak memaksimalkan peran perempuan dalam proses perdamaian di Aceh“.  Tabrani Yunis mengatakan “saat ini, tidak ada lagi alasan untuk tidak melibatkan perempuan dalam segala proses pembuatan kebijakan. Panggung perpolitikan sebetulnya tidak elok dan ideal ketika hanya laki-laki yang mendominasi. Harus ada perempuan yang berperan penting. Jika kita mau kita dapat melakukannya. Tidak ada demokrasi apabila perempuan tidak sepenuhnya dilibatkan”.
Banyak organisasi perempuan yang berjuang semasa konflik sampai pasca tsunami, sebut saja RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), Flower, KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh), Solidaritas Perempuan, MISPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia), ‘Aisyiah Muhammadyah, Perempuan Islam adalah LSM dan ormas perempuan Aceh yang sangat aktif sejak masa darurat. Sebagian besar aktifis garis depan People Crisis Center (PCC) adalah perempuan, demikian juga dengan Yayasan Matahari. Dua lembaga ini termasuk yang paling aktif dalam misi kemanusiaan pada masa darurat di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Yayasan An-Nisa adalah LSM perempuan yang aktif di Aceh Barat bersama Meulaboh Crisis Center (MCC), yang meski bukan organisasi perempuan tapi sangat sensitif terhadap perspektif gender. Di Aceh Utara terdapat LBH-APIK yang aktif dengan advokasi kasus perempuan dan Yayasan Hati Nurani di Lhoksukon yang aktif dengan kegiatan livelihood untuk perempuan korban konflik. Di Pidie ada PASKA pimpinan Faridah Hariani, pemenang Yap Thian Him Award karena kerjanya mendampingi perempuan korban konflik, yang kini sibuk dengan kegiatan membantu korban tsunami bersama CHSE (Center for Humanitarian and Economic Empowerment) .
Terdapat juga aktifis perempuan yang handal di Forum LSM Aceh, HMI dengan Kohati-nya, serta lembaga-lembaga nasional dan internasional lainnya. Dalam kapasitas yang lebih terbatas, Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pusat Studi Perempuan Universitas Syiah Kuala,  IAIN Ar-Raniry  Unimal juga ikut berkiprah lewat mesin birokrasinya.  Perempuan Aceh menjadi staf-staf tangguh di berbagai LSM lokal, nasional maupun internasional. Mereka mengepalai kantor, menangani teknologi informasi, logistik dan pendistribusian bantuan kemanusiaan. Perempuan Aceh bisa memimpin rapat-rapat penting, membuat keputusan-keputusan strategis, mengepalai gudang bahan bantuan, menjadi car dispatcher, sampai menjadi tenaga evakuasi manyat.
Masih ingat “Bukit Janda?, itulah lokasi yang identik dengan Farida, korban konflik dan tokoh perempuan Aceh sampai saat ini masih aktif membantu janda-janda korban konflik. Terus terang saya angkat salud sepuluh jari diatas kepala. Perempuan pemberani yang tak kenal takut dan lelah. Kisahnya pernah dimuat oleh Kompas 21 Agustus 1998. Farida berjuang untuk pemulihan nasib kaum perempuan yang kehilangan suami, diperkosa, serta anak-anak yatim piatu yang kehilangan orangtuanya akibat tindak kekerasan di Aceh pada kurun waktu 1990-1998.
Perempuann tidak selamanya makhluk lemah. Setidaknya telah dibuktikan oleh Farida Ariani. Dari misi sosial-ekonomi untuk pemulihan para janda dan anak-anak korban kekerasan di Bukit Janda ini, Farida pun bergabung dengan Forum Peduli HAM Banda Aceh yang jangkauannya mencakup masalah pelanggaran HAM terhadap orang-orang sipil yang terjadi di Propinsi Aceh. Di Forum Peduli HAM ini Farida menunjukkan keberaniannya melakukan investigasi, konseling, perlindungan dan pendampingan terhadap korban yang dilakukannya sendirian meski ada puluhan relawan mahasiswa-mahasiswi Aceh yang siap membantu. Ia menghabiskan waktu berhari-hari masuk ke desa terpencil. Sifat kewanitaannya dengan segera membuat wanita-wanita desa korban berbagai bentuk tindak kekerasan termasuk penyiksaan dan pemerkosaan, membuka semua pengalaman buruk yang menimpa mereka.
Farida pula yang membawa ke Jakarta tiga wanita korban kekerasan yang diperkosa dan suaminya dibunuh atau hilang untuk mengadukan kekejaman oknum aparat kepada Ketua DPA, Komnas HAM, Kontras, dan Mabes POM ABRI di Jakarta. Ia tak peduli lagi pada teror lewat telepon setelah mengungkapkan kasus-kasus itu.
Siapa yang tidak terenyuh ketika ketika seorang gadis remaja menceritakan bagaimana oknum pemeriksa menelanjanginya secara paksa dan kemudian memasukkan pisang ke dalam alat vitalnya. "Bukankah itu peristiwa paling keji? Itulah yang dialami oleh puluhan wanita di Aceh,". Berapa jumlah korban tindak kekerasan terhadap wanita di Aceh? Yang terliput baru belasan kasus. Namun saya yakin, jumlah korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan di Aceh, jumlahnya ratusan.  Ya, semoga tidak akan pernah terulang lagi perbuatan biadab di bumi Serambi Mekkah. Seorang Farida dan ratusan Farida-farrida lain akan muncul menyuawarakan kebenaran dan berjuang demi hak asasi manusia.
Ketangguhan perempuan Aceh juga dapat direkam dalam beberapa acara; masih ingat, acara “Duek Pakat Inong Aceh” (DPIA) tahun 2000 lalu. Para aktifis perempuan dari Jakarta sekalipun angkat salut melihat proses-proses pengorganisasian yang dilakukan perempuan Aceh. Debra Yatim, tokoh perempuan dan media nasional, menyatakan tak ada pertemuan sebesar dan se-egaliter yang dilakukan perempuan Aceh yang pernah dihadirinya di tempat lain.
DPIA pertama tahun 2000, meskipun diwarnai usaha memblokir isu referendum yang diusung oleh sejumlah kalangan perempuan Aceh, telah menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis. Salah satunya adalah permintaan agar 30% anggota legislatif berasal dari kalangan perempuan. Rekomendasi ini telah menjadi semacam kebijakan nasional di Indonesia dan secara normatif diperjuangkan oleh semua partai politik.
Betul memang kampanye 30% anggota legislatif perempuan belum sepenuhnya berhasil. Hanya PKS, menariknya, partai politik berbasis Islam, yang menuhi janjinya tentang quota ini.  Tapi perempuan Aceh telah sekali lagi membuktikan pentingya Aceh sebagai “modal” bagi perkembangan Indonesia.  Aktifnya peran perempuan dalam ranah politik ditabalkan sekali lagi dari negeri Serambi Mekkah ini.
Menyadari strategisnya peran perempuan Aceh sebagai tulang punggung komunitasnya, UNIFEM, United Nations Development Fund for Women  atau Badan Dana Pembangunaan PBB untuk Perempuan, tak ragu mendukung pra dan pelaksanaan DPIA II 16-19 Juni 2005. Didahului Pertemuan Konsultasi, 3-5 April 2005 yang sepenuhnya didukung UNIFEM, DPIA II telah merumuskan 36 rekomendasi penting dalam 6 bidang penting, mulai dari masalah hukum Islam sampai masalah politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Salah satu rekomendasi terpenting kongres perempuan Aceh tersebut adalah perlu diaktifkannya kembali dan pendirian ulang balai-balai perempuan Aceh (balee ureung inong) di setiap kampung. Balee ini masih dijumpai di sejumlah gampong di Aceh, tapi telah banyak berkurang selama konflik dan hancur di daerah yang tersapu tsunami.
Perempuan Aceh menjadikan balai-balai tersebut tempat untuk mengaji, berdiskusi, berbagi informasi dan saling membantu sebagai bagian dari komunitas kampung. Balee inong adalah pusat kegiatan perempuan yang telah ada bahkan sebelum aktifis gerakan perempuan modern bicara tentang balai PKK, women center  atau  women crisis center. Adalah sangat tepat jika konsep balee inong ini diadopsi kembali sebagai bagian rekonstruksi setiap kampung pasca konflik dan tsunami. Perempuan Aceh dapat menjadikan balai-balai mereka sebagai focal point untuk meningkatkan kontribusi peran dan memastikan hak-hak mereka dalam proses perdamaian yang sedang bergulir dan rekonstruksi Aceh yang akan menentukan wajah Aceh ke depan.
Perempuan Aceh menyuarakan aspirasinya untuk perdamaian dan Aceh yang lebih baik di masa depan tanpa harus khawatir tentang ruangnya. Perempuan Aceh semakin piawai berpolitik di tengah usaha politisasi dan depolitisasi, semakin baik keber-agama-annya justru ditengah himpitan dua kutub pandangan yang bertolak belakang. Pemain isu dan agen-agen kepentingan, masih tetap orang-orang non-lokal, boleh kecewa karena tak pernah mendapat tempat dalam gerakan perempuan Aceh.  Perempuan Aceh terus aktif dengan kerja nyatanya.
Namun sungguh disayang, dalam proses Kesepahaman antara Perintah Republik dan GAM, perempuan tidak dilibatkan secara formal. Hal ini berlanjut dalam implementasi perjanjian damai tersebut. Salah satu pelaksanaan dari kesepahaman tersebut yang juga diamanatkan dalam UU no. 11 tahun 2006, adalah pembentukan Komisi Rekonsiliasi. Pembentukan Komisi ini seharusnya membuka peluang keterlibatan perempuan di dalamnya, tetapi sampai saat ini masih terhambat. Reintegrasi sendiri masih dipahami dalam konteks pemberian kompensasi dana semata, sementara pemberian dana saja tidak cukup untuk memulihkan trauma korban kekerasan. Sampai saat ini, menunjukkan adanya pengabaian tehadap perempuan korban kekerasan dalam konflik sebagaimana yang terdokumensikan oleh KOMNAS Perempuan (2007).
Baik di BRA maupun KPA, tidak ada satu perempuanpun yang dilibatkan dalam tingkatan pengambilan keputusan. Ini merupakan salah satu sebab terjadinya distorsi peran perempuan. Distorsi lainnya adalah kurangnya pengakuan terhadap Inong balee sebagai bagian dari Teuntra Nanggroe Atjeh (TNA), seperti tidak ada nama perempuan inong balee sebagai bagian dari TNA yang menerima kompensasi.
Padahal dalam berbagai publikasi, GAM selalu mengakui bahwa mereka mempunyai pasukan perempuan yang bukan hanya bekerja di garis belakang namun juga ikut berperang bersama laki-laki lain. Ada anggota Inong balee yang selama berada di hutan tidak bisa menjaga higienisasi saat menstruasi menyebabkan terganggunya kesehatan reproduksinya. Tidak adanya data perempuan kombatan pada 3.000 nama yang terdaftar merupakan tanda bahwa sensitifitas berbagai pihak terhadap perempuan masih minim. Namun perempuan Aceh tidak berhenti karena tidak punya posisi. Perempuan Aceh terus berperan di berbagai bidang tanpa khawatir akan ada tidaknya pengakuan. Seperti nyak-nyak pedagang kecil di berbagai pasar yang tak pernah minta perhatian meskipun harus berjuang sampai di usia tuanya. Perempuan Aceh yang lebih muda terus mengorganisir diri dan berjaringan.
Informasi yang kita dapat bahwa baru awal tahun 2007 pihak KPA mengajukan data tambahan sebanyak 6200 orang lagi, dimana sekitar 30 % adalah untuk Inoeng balee atau setara dengan 1680 orang. Beberapa permasalahan lain dalam kerja BRA adalah tidak adanya data terpilah dan indikator jender. Masyarakat sulit mendapat informasi bagaimana kelompok rentan seperti perempuan, anak, orang tua dan orang cacat dapat menerima manfaat dari proses reintegrasi. Selain itu, pemulihan nama baik dan pemulihan trauma yang merupakan salah satu hal penting bagi anak dan perempuan, masih diabaikan.
Saya ambil contoh seorang perempuan di Aceh Timur, menyampaikan bahwa dengan tidak dianggap sebagai anggota GAM, maka tidak ada akses bagi mereka menceritakan keluhan-keluhan mereka, sementara penyembuhan trauma adalah sesuatu yang sangat mereka butuhkan, begitu juga penyembuhan fisik akibat kekerasan yang mereka alami. Hal lain yang terbaikan adalah pendidikan dan pemulihan ekonomi bagi perempuan. Selama ini, perempuan hanya akan mendapatkan kompensasi atau akan mendapat dukungan dari pemerintah jika mereka kehilangan suaminya atau keluarga lainnya akibat konflik.
Atau kisah memilukan yang dimuat oleh Ceuremen   Senin, 12 Maret 2007 Air Mata Janda di Tumpukan Dana Reintegrasi. Cut Masna, 40 tahun, yang duduk termenung di sebuah kuburan. Matanya tertuju pada batu nisan yang bertuliskan M. Dahan. Sebuah Al-Quran kecil bersampul biru ada di tangannya, tangannya yang lain kerap singgah di pipinya yang sudah basah dengan air mata. Ada seorang anak kecil di sampingnya, Siti, 10 tahun. Tangan mungilya sibuk mencabut rumput-rumput yang tumbuh di sekitar nisan. Baju dan celananya terlihat bersih dan rapi, beda dengan ibunya yang kelihatan lusuh. “Ini kuburan ayah, sekarang kami tinggal sama mama,” ucap Siti terbata-bata. Kuburan yang diziarahi Masna dan anaknya pada awal Maret itu adalah kuburan M. Dahan, ayah Siti. Dahlan meninggal saat konflik dua tahun lalu. ”Suami saya dijemput oleh orang bersenjata selesai shalat magrib, esoknya ditemukan jadi manyat di pinggir sungai, suami saya ditembak,” kata Cut Masna. ”Ini anak saya yang bungsu,” tambah Masna sambil membelai rambut gadis kecil yang duduk disampingnya.
Setelah dua tahun ditinggal suami, Masna harus berjuang keras untuk menutupi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan dua anaknya yang masih sekolah. ”Anak saya semua enam orang, dua sudah berkeluarga, dua lagi sudah bekerja, penghasilannya hanya cukup untuk mereka masing-masing,” ucapnya dengan isak tertahan. Desa Mangeu Kemukiman Lamkabeu Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, itulah nama desa tempat tinggal wanita janda itu bersama dua sibuah hati, Mereka tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari kayu berdinding papan yang sudah lapuk, dan beratap anyaman daun rumbia yang sudah mulai kelihatan bocoran-boran kecil.
Saban hari ibu enam anak ini harus bekerja keras menanami sayur diladang satu-satunya peninggalan mendiang suami. Selain bekerja diladang sendiri, kadang-kadang dia juga bekerja untuk orang lain dengan imbalan Rp.25ribu per hari, itu pun tidak setiap hari diperolehnya, buat Masna, uang senilai 25 ribu rupiah, cukup untuk makan sehari-hari dan jajan dua anak nya di sekolah.
Ada satu hal yang patut dipertanyakan disini, mengapa Cut Masna harus menghadapi nasib seperti ini? Bukankah Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sudah mengucurkan dana ratusan milyar rupiah untuk korban konflik?
Meskipun tanpa didukung oleh dana reintegrasi, semangat hidup Masna sepertinya tidak pernah pudar. Buktinya tiap hari masna tetap beraktifitas untuk mencari nafkah untuk anak-anaknya. Berteman dengan cangkul dan bakur sudah menjadi bahagian dari kehidupan Cut Masna setelah ditinggal suaminya.
Kisah serupa juga di muat oleh acehmagazine.com pada Kamis, 12 April 2007, Hampir sama dengan kisah Cut Masna, seoarng janda korban konflik Nurul Latifah (25), warga Desa Krueng Batee, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya. Masih terngiang jelas di kepala ibu seorang anak ini akan kenangan pahit yang dialaminya dua tahun silam. “Konflik telah merenggut kebahagiaan saya, suami saya, dan juga masa depan saya,”. Kenangan pahit dua tahun silam tak akan bisa dimaafkan Nurul, walau pemerintah telah berjanji memberikan kompensasi kepada janda korban konflik, namun bukan itu yang diinginkannya. “Tuntutan saya hanya satu, usut dan tangkap orang yang telah membunuh suami saya,” katanya.
Tidak hanya Nurul, masih banyak janda korban konflik yang bernasib sama bahkan lebih buruk darinya. Uang tidak bisa mengembalikan suami mereka, permintaan maaf tidak akan cukup hanya untuk diucapkan. “Keadilan harus ditegakkan. Janji pemerintah harus dilunasi, jangan hanya janji-janji saja, ini semua agar damai tetap terus bersemi,” pinta Nurul.
Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka  masih merasa tak memiliki siapapun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri dan keinginannya. Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina yang terkenal. “Orang selalu bertanya, “Mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh?, “Karena luka yang ditutup sembarangan akan memburuk. Infeksinya akan membahayakan. Jika tidak disembuhkan, luka lama itu akan menganga dengan sendirinya” (Priscillia B. Hayner, Unspeakable Truth).
Maka wajar, sebelum kita melangkah lebih jauh dalam proses reintegrasi. Kita pahami dulu masyarakatnya secara menyeluruh  yang akan diintegrasikan. Teuku Kemal Fasya dalam sebuah kesempatan menulis; bahwa kritik terhadap masyarakat yang tak berdaya harus melihat kembali seluruh peta kegagapan linguistik atau – mengambil istilah Habermas yang berasal dari Freud: linguisticalization of unconsciousness yang terhadap sejarah perkembangan kognitif masyarakat itu, memilah dan memilih strategi penguatan komunikasi manakah yang akan didahului.
Dalam hal ini benar kritikan A. Elliot dalam Social Theory and Psychoanalysis in Transition (1992) terhadap gagasan Habermas bahwa memang harus dilihat secara jernih konteks teori psikoanalisis terlebih dahulu atas masalah kenaifan masyarakat tak berdaya ini, dan bukan langsung mempersiapkan strategi komunikasi yang tepat untuk mengonsolidasikan kekuatannya. Harus dilihat kembali impian dan imajinasi sosial yang lenyap atau disenyapkan. Permasalahan terletak pada ketidaksadaran dan bukan pada strategi komunikasi. Penguatan ini tentu saja mempertimbangkan faktor budaya dan sejarah lokal sebagai sumbu nyalanya.
Masyarakat yang telah lama tertindas harus dikembalikan harga dirinya dengan membuka eksemplar sejarah dan kebudayaan yang pernah dimilikinya dahulu: bahwa mereka adalah keturunan pejuang yang melawan dengan gigih penjajahan kolonial asing. Mereka harus dikembalikan kesadarannya bahwa yang ditulis Paul van’t Veer tentang “penaklukan paling berdarah dan paling lama” itu bukanlah cerita kosong. Sekaligus mereka harus dijauhi dari  fiksasi subjektif bahwa menuntut hak bukanlah dosa. Dosa ketika membiarkan kebohongan berubah menjadi kebenaran. Dosa adalah melihat kezaliman berlaku seperti kesalehan, diulang-ulang dan dipuja di atas altar, dsb.
Kritik kedua yang perlu mendapat perhatian adalah pada peran negara. Memang seperti melukis di atas air kalau mengharapkan negara langsung memiliki wajah demokratis dan etis dalam memperlakukan masyarakat. Sampai sekarang di Aceh terbaca bahwa derita yang bertumpuk sekarang bukanlah akibat tsunami itu sendiri, tapi setelah itu: proses yang salah dan tidak bermoral dalam menangani bencana dan korbannya. Negara sampai sekarang masih menjadi pemain paling licin agenda liberalisme dan kepentingan global. Salah satu yang memperkuat perannya ke arah itu adalah mengoptimalkan seluruh potensi regulatornya, termasuk menjalankan peran  surveillance dengan kekuatan militer dan sipil. Dalam tubuh BRA misalnya telah terjadi tolak tarik kepentingan.
 Dalam tubuh BRA terlihat jelas adanya kepentingan Jakarta dalam unsur pelaksana. Katakanlah keterlibatan milisi yang akhirnya membuat kerja BRA tidak lagi kohesif dan sulit. Keluarnya wakil GAM dan LSM dari tubuh BRA membenarkan adanya tolak tarik kepentingan di dalam internal BRA. Padahal, BRA yang dibentuk oleh pemerintah melalui Keputusan Gubernur karena adanya consensus dengan GAM dalam bentuk MoU Helsinki, yang tujuannya untuk memberdayakan mantan kombatan dan korban konflik. Nyatanya,  begitu GAM dan LSM tarik, terjadi kevakuman kerja di BRA. Sementara ada sekitar 40 ribu masyarakat korban konflik dan mantan kombatan sampai sekarang belum mendapatkan apa-apa. Banyak kepentingan militer yang bermain dalam tubuh BRA. Padahal dana BRA itu tak hanya dari RI saja, melainkan dari lembaga asing, yang dikelola untuk membantu korban konflik.
Di sini negara mesti memperhatikan diri sebagai bagian organisme yang mungkin berubah dan bukan hanya menjadi agen kepentingan internasional. Seperti yang dikatakan Pierre Bourdieu (dalam Bonnewitz, 1998) bahwa akibat modernisasi negara tak dipungkiri telah menjelma menjadi kelas bahkan budaya dominan. Eksistensinya sebagai budaya dominan telah mengalami  proses legitimasi yang panjang. Namun, demi kebaikan dan lahirnya habitus demokrasi dari rahimnya, ia harus melupakan kesewenangan-wenangan yang ada pada saat kebudayaan itu dibangun.
Legitimasi negara memang mengarahkan pada lahirnya sistem pengetahuan yang permanen dan cenderung stabil mengatur dan mengevaluasi dirinya. Namun dengan sebuah proses untuk membuka diri dan menyediakan partisipasi yang bebas dan menentukan antarseluruh unit sosial dan kekuasaan yang dimilikinya, negara tentu akan tertolong lebih sehat dan tidak mudah sakit. Masyarakat yang hidup dalam wilayahnya menjadi masyarakat yang kreatif dan berani mengemukakan pendapat untuk mengatasi persoalaannya secara ilmiah dan “rasional”. Harus disadari, makin lama peran negara di era post-modernisme akan makin sulit mendeteksi keinginan, impian, dan hasrat warganya yang makin tak terbatas dan tak terprediksikan. Keran untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan itu adalah jika hadir banyak ruang publik yang mengisi kekosongan dan mengingatkan kealpaan negara akan tindakan-tindakannya.
Saya belum mengetahui formulasi apa yang tepat untuk mengoptimalikan lahirnya ruang-ruang publik termasuk kepada manta combatan dan korban konflik seperti kaum perempuan yang komunikatif sekaligus bermatabat tersebut. Namun perlu diingat bahwa masyarakat punya alat untuk membuat mekanisme koherensinya secara alamiah dan kuat jika ia memang diberi wadah untuk itu. Tawaran-tawaran kepada emansipasi dan partisipasilah yang memungkinkan mereka membuat lingkaran-lingkaran comradeship baru. Bisa saja terjadi pemuaian atau pengerucutan asosiasi-asosiasi sosio-kultural namun itu bukanlah masalah.
Interaksi antar-blok publik akhirnya yang akan menjadi pemenang karena mampu mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral. Kekuatan antar-blok merupakan kesempatan kunci pada lahirnya proses demokrasi baru. Beberapa unit sosial di Aceh sedang melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya dan identitas, difasilitasi oleh mereka sendiri atau kelompok-kelompok masyarakat di luar Aceh dan LSM. Ada tawaran; bersediakah negara, dalam hal ini pemerintah SBY-Kalla, militer, dan budaya patriakhis nasional, atau siappun yang akan menjadi pemimpin dalam pemilu 2009 nanti,  memberi kesempatan lahirnya kekuatan mandiri di Aceh dan mempertahankan damai Aceh terus bersemi? Kalau jawabannya bersedia. Maka proses reintegrasi akan berhasil dan tentu kedamaian yang dicita-citakan akan bersemi selama di Aceh.

Tulisan pernah dimuat di Majalah Srinthil Desantara Institute for Cultural Studies Jakarta

gambar profil oleh SafarManaf