Rabu, 29 September 2010

KOMUNIKASI POLITIK TANPA ETIKA POLITIK

Sebagai proses politik, komunikasi berperan menghubungkan bagian-bagian dari sistem politik. Gabriel Almond (dalam Alfian, 1994) mengibaratkan komunikasi sebagai “aliran darah” yang mengalirkan pesan-pesan politik yang berupa tuntutan, protes, dukungan ke jantung pemrosesan sistem politik. Proses komunikasi politik yang kita saksikan setiap hari secara langsung maupun memalui media massa elektronik maupun cetak, senantiasa disuguhkan fenomena yang cenderung tanpa etika, keras bahkan menjurus brutal. Sidang-sidang wakil rakyat (legeslatif), rapat-rapat eksekutif mulai dari pusat sampai daerah juga penuh kekerasan dan berulang kali berubah wujud jadi ajang debat kusir tidak berkesudahan. Hal ini menjadi pendidikan politik yang samasekali tidak mendidik bagi masyarakat Indonesia. Perilaku politisi yang tidak beretika, naik kursi saat sidang, jotos-jotosan,  berprilaku tidak selayaknya wakil rakyat. Itulah potret komunikasi politik di Indonesia belakangan ini.

Komunikator politik, khalayak komunikasi politik, massage politik yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui saluran media  massa menghasilakan efek dan umpan balik yang meresahkan masyarakat. Media massa sebagai salah satu saluran komunikasi politik sangat berperan dalam memberi warna terhadap komunikasi politik di Indonesia. Apakah ingin memposisikan diri sebagai penyejuk atau sebaliknya justru memposisikan diri sebagai pembakar atau menjadikan komunikasi politik itu makin sarat aroma kekerasan. Mungkin lantaran sistem politik sudah berubah total, perilaku saling menghujat tampaknya bukan hal yang tabu lagi. Semua merasa pendapat diri mereka yang paling benar, sehingga tidak mau lagi mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Prof. Tjipta Lesmana, menyebutkan fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya belum siap melaksanakan demokrasi liberal. Demokrasi itu diinterpretasikan sebagai kebebasan berbicara dan kebebasan menyatakan pendapat yang sebebas-bebasnya tanpa batas.

Padahal, demokrasi itu memiliki banyak pilar di mana salah satu dari pilar itu adalah penegakan hukum. Bicara demokrasi dengan sendirinya harus bicara hukum. Fenomena yang berkembang saat ini cenderung mengadopsi hukum rimba dan hukum kekerasan, sehingga pihak yang kuat secara otomatis akan menang. Apabila fenomena kekerasan itu berlangsung terus, Indonesia akan sangat kacau.
Disisi lain, proses komunikasi politik dengan proses pencitraan yang kurang mendidik, menjadi fenomena dewasa ini. Politik salon (meminjam istilah budayawan M. Sobary) merupakan salah satu bentuk ganjalan atas proses konsolidasi demokrasi kita. Rakyat kembali diakali sebagian elit pemburu kekuasaan, dengan usaha-usaha yang cenderung machiavelistik atau menghalalkan segala cara.

Politik salon merupakan usaha meraih kekuasaan mengandalkan pencitr aan politik untuk mempengaruhi atau tepatnya membentuk opini tertentu sesuai keinginan sang politisi atau partai. Israr Iskandar (Padang Express, 1792008) mengatakan masalahnya bukan saja soal pencitraan berlebih-lebihan, tetapi kecenderungan manipulasi politik yang menyertainya. Ada tendensi, pencitraan politik yang dibangun bertentangan dengan realitas sesungguhnya. Pencitraan politik memungkinkan elit yang masa lalunya kelam menjadi abu-abu atau terang. Tokoh yang menjual agama untuk kepentingan kekuasaan bisa dicitrakan politisi religius. Sosok sektarian bisa ditampilkan pluralis. Figur otoriter bisa seolah-seolah demokratis.  Kalau dilanjutkan, tokoh yang menindas rakyat bisa diopinikan tegas dalam implementasi kebijakan. Pejabat publik yang tak mengerjakan apa-apa untuk kesejahteraan rakyat semasa memangku amanah publik bisa diopinikan berhasil. Caleg yang tidak jelas track recordnya dan tidak kenal daerah pemilihannya bisa dicitrakan putra daerah dermawan dan peduli kampung halaman.

Goenawan Muhammad membuat kesimpulan menyindir, yang lebih penting; kemasan! Menurutnya, kehidupan politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Dan penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah. Di berbagai negara, kemasan atau kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam banyak pemilihan umum. Misalnya di Jerman, tahun 1998, Gerhard Schroeder yang begitu keras menentang penyatuan Jerman dan tidak pernah melakukan keputusan-keputusan politik yang berani, mengalahkan Helmut Kohl yang telah memimpin negara itu sebagai kanselir selama empat dekade, dengan segudang prestasi dalam membangun Jerman dan Uni-Eropa. Kekalahan Kohl karena citranya tidak tepat untuk political picture abad-21 yang pro-keharmonisan dan keindahan. Sebaliknya, Schroder tampil penuh keanggunan dan senyuman, memiliki daya tarik seksual (sex appeal) dan karakter yang halus (smooth).

Barack Obama di Amerika Serikat (2008), berhasil menambah referensi sekaligus sejarah politik dunia; orang berkulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat. Ini terjadi di negara yang selama ratusan tahun menjadikan kulit hitam sebagai budak. Kemungkinan besar karena citra Obama sebagai pribadi yang merakyat, merangkul, jujur, pintar, dan berkeinginan kuat merubah peta politik Amerika Serikat, sehingga berhasil merebut faktor keterkesanan atau impression pemilih, dibandingkan citra MC. Cain, pesaingnya dari Partai Republik. Daya pengaruh pencitraan politik  ini, juga bermunculan di berbagai belahan negara.

Di Inggris, Franklin (1994) menulis hasil kajiannya dalam buku In Packaging Politics. Di Perancis, Lindon (1976) menulis Marketing Politique et Sosial. Namun, perlu dipahami, sekalipun memiliki daya pengaruh yang luar biasa, aktifitas politik yang hanya mengedepankan pencitraan politik, tanpa dibarengi kualitas diri politik, pada akhirnya hanya meretas nihilisme. Corner dan Pels, menyebutnya cynicism. Di tengah megap-megap kehidupan rakyat dan lemahnya kekuatan masyarakat sipil,  gejala  politik salon yang mengutakan kemasan sangat merisaukan.  Masyarakat yang secara psikologis stagnan juga bisa terpukau dengan segala muslihat politik yang kini berlangsung.

Dalam konteks politik sekarang ini, mungkin sedang berlaku adagium, orang pintar tidak hanya memakan orang bodoh, tetapi juga orang stagnan. Jangan heran, publik cenderung kompromistis dengan realitas hasil pencitraan itu. Akhirnya semakin banyak seorang politikus tampil di ruang-ruang publik, dengan citra tertentu, semakin terbentuklah citra yang diinginkannya. Bagi politisi ini, popularitas dadakan yang diraih lewat hegemoni modal tentu sangat berguna, karena saat pencobolosan publik tidak punya banyak pilihan lain.

Proses komunikasi dan pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual, semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi diantaranya; Pertama, pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Pada umumnya, Partai maupun kandidat, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (1993) sebagai “diri politik” sang politisi. Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial, berpartisipasi dalam pertandingan olahraga di sebuah daerah dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity yakni memanfaatkan extra ordinary news (kejadian sangat luat biasa). Misalnya peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi didalamnya sangat menguntungkan. Keempat, paid publicity yakni cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dll. Seiring dengan itu, lembaga konsultan politikagen pencitraan, yang melayani proyek pencitraan dari hulu sampai hilir, mulai dari pemetaan kelemahan dan kekuatan klien, survei opini publik, perumusan konsep iklan, pembuatan tagline (slogan), materi iklan, penempatan iklan di media, manajemen isu, hingga pengaturan acara klien, tumbuh bak jamur di musim hujan. Diantaranya, Fox Indonesia, Hotline Advertising, PT. Lingkaran Survei Indonesia, Finalpoint, dll.

Bentuk  pencitraan politik  yang dilakukan terbelah dalam dua strategi, yaitu Incumbent Vs Challenger. Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk dilanjutkan. Adapun yang kedua menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk  digantikan secara konstitusional. Dalam strategi itulah, pencitraan politik dilakukan untuk meraih simpati dan kepercayaan publik, melalui aneka ragam aksi sosial.

Berkembangnya politik model ini pertama-tama karena absennya etika politik di level elit. Padahal, di samping norma (hukum), demokrasi juga menghendaki berlakunya fatsun politik. Maraknya politisi “salonkemasan” sejatinya juga cermin dari kerja-kerja sistem kapitalisme yang memang sejalan dengan demokrasi liberal. Celakanya, sistem “demokrasi-kapitalistik” di negeri ini berjalan di tengah nihilnya pelaksanaan etika dan norma. Maka jangan heran, apabila kemudian kuasa modal sangat digdaya mengintrerupsi dunia politik. Pilar-pilar demokrasi, seperti parpol, didominasi para penguasa modal. Jabatan politik pun akhirnya lebih banyak sebagai transaksi ekonomi politik belaka. Politisi “salonkemasan” jelas menganut paham “pragmatisme oportunistik”.

Dengan mengandalkan modal, sistem korup, dan masyarakat yang sedang stagnan, mereka melakukan berbagai cara membentuk pencitraan politik sesuai dikehendakinya. Mereka akhirnya tidak hanya melanggar batas etika politik, tetapi juga melecehkan akal sehat publik. Kalau gejala ini tidak dicermati dengan seksama, maka publik akan dibuat kecewa untuk kesekian kalinya. Kebijakan publik yang kelak lahir tidak akan berhubungan langsung dengan peningkatan kehidupan masyarakat, bahkan bisa sebaliknya. Memang masih terdapat lapisan politisi progresif (lama maupun baru), dengan bekal idealisme dan pengetahuan cukup, hendak mewakili kepentingan masyarakat daerah. Harapan tercurah kepada mereka, tidak hanya untuk mendobrak stagnasi politik, tetapi mendorong kembali gagasan-gagasan kemajuan dan implementasinya di daerah. Mereka diharapkan menjalin sinergi dengan elemen masyarakat sipil yang masih tersisa, sekalipun mereka minoritas di tengah sistem politik dan realitas sosiologis kita cenderung mematikan idealisme dan model politik yang bertanggung jawab, mudah-mudahan saja!!.